Thursday, August 26, 2010

KONSEP TAUHID MENURUT ABDULLAH GYMNASTIAR

MANAJEMEN Qalbu (MQ) merupakan konsep pedoman hidup Islami yang dicetuskan Pimpinan Pesantren Daarut Tauhiid Bandung, Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), yang mengajarkan sebuah konsep baru Syiar Islam. MQ menawarkan untuk mengajak orang memahami hati atau qalbu, diri sendiri, agar mau dan mampu mengendalikan diri setelah memahami benar siapa dirinya sendiri. Jadi konsep MQ ini merupakan sebuah penyadaran yang dimunculkan atas kesadaran dirinya sendiri untuk menjadikan hidupnya lebih baik dan senantiasa berada dalam ridha Allah.
Menurut Aa Gym, orang sering lupa terhadap diri sendiri. Bahkan, orang selalu menyalahkan orang lain jika terjadi sesuatu pada dirinya. Sebaiknya setiap orang harus sadar, bahwa semua yang terjadi dan bakal terjadi bermula dari dirinya sendiri. Jika ingin jadi baik, tentu dia harus berbuat baik. Jadi, harus lebih dulu mengenali dan memahami diri sendiri.
Namun semua itu memusat pada qalbu. Rasulullah saw dalam sebuah hadits, menyebutkan bahwa dalam diri manusia itu terdapat suatu organ. Kalau organ itu baik, baik jugalah seluruh manusia itu. Tetapi, kalau ia busuk, busuk pulalah seluruh manusia itu. Organ itu adalah qalbu (hati).
Dalam menjalani hidup ini, kata Aa Gym, modal dasar untuk membentuk jiwa yang tangguh, penuh dedikasi, dan disiplin dalam menjalankan kerja sehari-hari adalah dengan qalbu yang bersih dan suci.
Pada konsep MQ, semuanya dimulai dari hati kita sendiri. Maka agar menjadi manusia yang baik dan solih, hatinya harus bersih dari berbagai penyakit hati. Karena itu, seorang muslim harus sangat mementingkan pembenahan hati, atau yang sering disebut metode Manajemen Qalbu (MQ).
MQ dalah upaya untuk mengatur dan memelihara kebeningan hati dengan cara mengenal Allah. Salah satu caranya dengan berzikir. Selanjutnya, hati yang damai itu diisi dengan nilai-nilai rohani Islam seperti sabar, rida, tawakal, ikhlas, jujur, dan disertai dengan ikhtiar. Bila sudah memiliki itu, maka apa yang disampaikan (dengan hati yang tulus) itu akan menyentuh relung hati orang banyak.
Menurut Aa Gym, agama pasti mampu menyelesaikan berbagai masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Hanya, masalahnya, mengamalkan agama dan menyosialisasikannya harus dilakukan terus-menerus, lebih inovatif, dan kreatif. Jadi, bisa diterima masyarakat yang terus mengalami perubahan. Namun yang terpenting, kata Aa Gym, bagaimana kita mengaktualisasikan pemahaman agama itu dengan benar dan konsisten. Dengan begitu, masyarakat bisa menerima agama sebagai suatu solusi. Jangan hanya mengaku beragama, tetapi tindakan dan perilakunya justru jauh dari agama itu. Kondisinya saat ini kan seperti itu. Banyak masyarakat yang tidak konsisten dengan agamanya.
MENGENAL POTENSI DIRI
Dalam khazanah keilmuan Islam, kita mengenal tiga potensi dasar yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia, yaitu akal, nafsu, dan hati (qalbu). Potensi dasar manusia yang pertama adalah akal. Allah menciptakan manusia dengan amat sempurna (Q.S.at-Tiin [95]: 1-4). Tak ada satu makhluk pun yang bisa menandingi. Dari segi fisik manusia tampak lebih anggun, cantik atau tampan, gagah dan menawan. Terlebih lagi manusia memiliki satu aset yang tidak dimiliki oleh lainnya, yaitu potensi akal.
Dengan akal manusia bisa berkreasi, berkarya hingga mampu merubah wajah dunia menjadi serba semraut dan berbagai macam lahirnya penemuan dan teknologi mutakhir saat ini. Dengan akal pula manusia bisa menolong jutaan manusia lainnya, ia mampu menciptakan alat telekomunikasi hingga bisa berbicara dalam jarak yang cukup jauh. Ia ciptakan alat transportasi hingga tidak terlalu menguras tenaga untuk menuju tempat yang dimaksud. Ia menemukan komputer sehingga mempermudah pekerjaan manual dengan kecepatannya yang sangat tinggi.
Secara sadar atau tidak manusia juga memiliki kekurangan yang tidak sedikit. Ia bisa tetanus hanya disebabkan oleh duri kecil. Ia bisa terluka hanya oleh goresan pisau, bahkan ia bisa bunuh diri hanya disebabkan problem pribadi. Ia tak mampu menahan jerawat yang mulai tumbuh sebagai tanda bahwa ia sudah dewasa—sekalipun di wajahnya sendiri. Dan ia akan merasa kebingungan manakala tidak ada toilet di saat akan membuang penyakit (baca: buang air besar).
Dengan akal ini sebenarnya, bila dilihat dari ayat-ayat Quran, dimaksudkan supaya berpikir dan merenungkan ciptaan dan kekuasaan Allah di semesta raya ini. Artinya, potensi akal ini merupakan pendorong manusia agar lebih dekat kepada Allah dan mengetahui peran dan tugas manusia di muka bumi ini.
Potensi dasar kedua yang diberikan Allah ini adalah nafsu. Nafsu ini berkaitan dengan kecenderungan manusia yang seringkali egoistik, mementingkan diri sendiri. Dalam bahasa agama Islam, egoisme ini dinamai hawa nafsu. Perkataan hawa nafsu berasal dari kata Arab. Hawa berarti keinginan dan al-nafs berarti diri manusia atau kecenderungan dalam diri manusia. Jadi, hawa nafsu berarti kecenderungan dalam diri manusia untuk selalu mengikuti hal-hal yang buruk.
Oleh karena itu, manusia disuruh melawan dan mengendalikan hawa nafsu. Usaha manusia dalam perjuangan melawan hawa nafsu ini tentu bertingkat-tingkat, tergantung pada kemampuan dan kekuatan imannya. Dalam buku Mizan al-’Amal, Imam Ghazali menyebutkan tiga tingkatan manusia dalam masalah ini.
Pertama, orang yang sepenuhnya dikuasai oleh hawa nafsunya dan tidak dapat melawannya sama sekali. Ini merupakan keadaan manusia pada umumnya. Dengan begitu, ia sungguh telah mempertuhankan hawa nafsunya seperti dimaksud ayat ini, ”Maka, pernahkah kamu melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya” (QS.Al-Jatsiyah: 23).
Kedua, orang yang senantiasa dalam pertarungan melawan hawa nafsu. Pada suatu kali ia menangtu demi a kali yang lain ia kalah. Kalau maut merenggutnya dalam pertarungan ini, maka ia tergolong mati syahid. Dikatakan demikian, karena ia sedang dalam perjuangan melawan hawa nafsu sesuai perintah Nabi Muhammad saw, ”berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.”
Ketiga, orang yang sepenuhnya dapat menguasai dan mengendalikan hawa nafsunya. Inilah orang yang mendapat rahmat Allah, sehingga terjaga dan terpelihara dari dosa-dosa dan maksiat. Menurut Imam Ghazali, ini merupakan tingkatan para nabi dan wali-wali Allah. Dalam perjuangan melawan hawa nafsu, menurut Ghazali, manusia dituntut ekstra hati-hati dan waspada secara terus-menerus, supaya ia jangan tertipu (ghurur). Banyak orang merasa telah bekerja dan berjuang untuk agama, nusa, dan bangsa, padahal sesungguhnya ia bekerja hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan untuk memuaskan egonya. Inilah bentuk keterjebakkan setan.
Dalam situasi demikian, Ghazali menganjurkan agar kita berpihak dan memilih sesuatu yang menyusahkan daripada yang menyenangkan. Alasannya, kebaikan pada umumnya menuntut kerja keras dan pengorbanan, sehingga terkesan menyusahkan. Allah berfirman, “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS 91:7-10).
Ini juga disabdakan Rasulullah saw, “cobaan akan dibentangkan kepada manusia laksana tikar, satu demi satu. Ketika hati dipengaruhinya, satu titik hitam tercatatlah dalam hati. Ketika hati mengingkarinya, satu titik putih tercatatlah dalam hati sehingga hati menjadi satu dari dua jenis: yang putih seperti batu putih yang lulus dari cobaan, atau yang gelap hitam karena tidak mengenal ma’ruf (kebaikan) atau mengingkari kemungkaran” (HR.Muslim).
Potensi yang ketiga adalah qalbu (hati). Fungsi qalbu biasanya lebih dittikberatkan untuk mengawal aktivitas ruhaniah dan meraih kebahagiaan hidup. Dalam khazanah ilmu tasawuf, qalbu bagi tiga bagian. Pertama, qolbun salim (hati yang sehat). Hati yang sehat adalah hati yang selamat. Pada hari kiamat nanti, barangsiapa menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa membawa hati yang sehat tidak akan selamat. Allah berfirman, “adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat” (Asy-Syu’ara : 88-89).
Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja’nya, dan amalnya, semuanya karenaNya. Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah.
Kedua, adalah qolbun mayyit (hati yang mati). Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya. Ia tidak beribadah kepadaNya dengan menjalankan perintahNya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridlaiNya. Hati model ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai-Nya. Ia tidak peduli dengan keridlaan atau kemurkaan-Nya. Baginya, yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsu. Ia menghamba kepada selain-Nya. Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai daripada keridlaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Kebodohan adalah sopirnya, dan kelalaian adalah kendaraan baginya. Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi.
Yang ketiga, adalah qolbun married (hati yang sakit). Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada ‘kehidupan’, dan kadang-kadang pula cenderung kepada ‘penyakit’. Padanya ada kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepadaAllah, yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad, kibr, dan sifat ujub, yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Model muslim seperti ini ada di antara dua penyeru; penyeru kepada Allah dan Rasulullah saw serta hari akhir, dan juga cenderung kuat pada kehidupan duniawi. Mana seruan yang disambutnya, tentu yang disambutnya adalah yang paling dekat, paling akrab atau tidak memberatkannya.
Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu’, tawadlu’, lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati, Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.

PENYAKIT QALBU DAN TERAPINYA
Ada beberapa penyakit qalbu yang kadang terus hinggapi dan gugurkan amaliyah ibadah seorang Muslim. Menurut Imam al-Ghazali, bahwa penyakit qalbu bermuara pada hasad (iri), riya’ dan ‘ujub atau takabbur. Ketiga penyakit ini merupakan induk dari semua penyakit qalbu lainnya.
Penyakit hasad atau dengki adalah sikap tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat dan mengharapkan nikmat itu lenyap darinya. Sedangkan kibr atau sombong merupakan penyakit qalbu, yang pelakunya kadang menganggap remeh orang lain. Rasulullah bersabda, “kibr itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain” (HR.Muslim). Ada pun penyakit riya ini berkaitan dengan keinginan untuk menanpakkan diri sekaligus ingin dianggap yang paling wah-hebat atau lainnya di hadapan orang lain.
Jika kita cermati ketiga jenis penyakit kronis ini, bahkan penyakit-penyakit qalbu lainnya serta kerusakan yang ditimbulkannya sejatinya berpangkal dari ‘virus’ cinta dunia (hubb al-dunya) yang berlebihan.
Akibat terlalu cinta dunia, rasa iri terhadap nikmat yang dimiliki orang lain akan mulai menyelinap dalam qalbu-nya. Lalu muncul sifat sombong, karena telah merasa memiliki segalanya, kemudian bersemi keinginan untuk memamerkan apa yang telah diperolehnya. Dari sini kemudian tumbuh sikap menghalalkan segala cara asal tujuan dapat tercapai. Yang penting hasil. Tak peduli bagaimana proses yang dilaluinya.
Adapun terapi atau pengobatan yang ditawarkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, untuk menangani berbagai penyakit qalbu di atas adalah;
1. Memaksakan dirinya selalu mendekatkan diri kepada Allah di mana pun berada. Bila seluruh hidupnya sudah diarahkan pada Allah, maka qalbunya akan selalu mengajak dan mendorong pemiliknya untuk menemukan ketenangan dan ketentraman bersama Allah. Sehingga tatkala itulah ruh benar-benar merasakan kehidupan, kenikmatan dan menjadikan hidup lain daripada yang lain, bukan kehidupan yang penuh kelalaian dan berpaling dari tujuan penciptaan manusia.
2. Tidak bosan berdzikir. Di antara sebagian tanda sehatnya qalbu adalah tidak pernah bosan untuk berdzikir mengingat Allah. Tidak pernah merasa jemu untuk mengabdi kepada-Nya, tidak terlena dan asyik dengan selain-Nya, kecuali kepada orang yang menunjukkan ke jalan-Nya, orang yang mengingatkan dia kepada Allah atau saling mengingatkan dalam kerangka berdzikir kepada-Nya.
3. Menyesal jika luput dari berdzikir. Qalbu yang sehat di antara tandanya adalah, jika luput dan ketinggalan dari dzikir dan wirid, maka dia sangat menyesal, merasa sedih dan sakit melebihi sedihnya seorang bakhil yang kehilangan hartanya.
4. Rindu beribadah. Qalbu yang sehat selalu rindu untuk menghamba dan mengabdi kepada Allah, sebagaimana rindunya seorang yang kelaparan terhadap makanan dan minuman.
5. Khusyu` dalam shalat. Qalbu yang sehat adalah jika dia sedang melakukan shalat, maka dia tinggalkan segala keinginan dan sesuatu yang bersifat keduniaan. Sangat memperhatikan masalah shalat dan bersegera melakukannya, serta mendapati ketenangan dan kenikmatan di dalam shalat tersebut. Baginya shalat merupakan kebahagiaan dan penyejuk hati dan jiwa.
6. Selalu introspeksi dan meperbaiki diri. Qalbu yang sehat senantiasa menaruh perhatian yang besar untuk terus memperbaiki amal, melebihi perhatian terhadap amal itu sendiri. Dia terus bersemangat untuk meningkat kan keikhlasan dalam beramal, mengharap nasihat, mutaba’ah (mengontrol) dan ihsan (seakan-akan melihat Allah) dalam beribadah, atau selalu merasa dilihat Allah). Bersamaan dengan itu dia selalu memperhatikan pemberian dan nikmat dari Allah serta kekurangan dirinya di dalam memenuhi hak-hak-Nya.

RUMUS MQ
Berikut ini beberapa rumus atau konsep manajemen qalbu (MQ) yang dicetuskan oleh Abdullah Gymnastiar.
Seni Bergaul
a. Aku aman bagimu
b. Aku menyenangkan bagimu
c. Aku bermanfaat bagimu
Konsep Dasar MQ
a. Ma’rifatulloh
b. Manajemen Diri
c. Kepemimpinan (Leadership)
d. Wirausaha (entrepeuneur)
Konsep Perubahan
a. Suri Tauladan
b. Pendidikan,pelatihan dan pembinaan yang sistematis
berkesinambungan.
c. Sistem yang kondusif
d. Kekuatan do’a / ruhiyah
Meredam Penyakit Hati (TENGIL)
a. Takabur
b. Egois
c. Norak / Pamer
d. Galak
e. Iri dengki
f. Licik
5. Kiat Praktis Mengatasi Persoalan Hidup
a. Siap sebelum terjadi
b. Ridho bila sudah terjadi
c. Jangan mempersulit diri
d. Evaluasi Diri
e. Jadikan hanya Alloh tempat bergantung
Budaya Kerja MQ ( 5 as )
a. Bekerja keras
b. Bekerja cerdas
c. Bekerja berkualitas
d. Bekerja tuntas
e. Bekerja Ikhlas
Budaya Tertib (PATUH )
a. Pahami aturan dan resiko sebelum berbuat
b. Adakan perencanaan yang matang
c. Tidak berbuat sebelum check dan rechek
d. Untuk aman dan sukses,selalu lakukan sesuai prosedur
dan aturan
e. Hindari pelanggaran sekecil apapun
Kiat membentuk Pribadi Sukses ( 7 T )
a. Tenang
b. Terencana
c. Terampil
d. Tertib
e. Tekun
f. Tegar
g. Tawadhu
Prinsip Kerjasama
a. Adil
b. Transparan
c. Saling Menguntungkan
Kiat pribadi simpatik ( 5 S )
a. Senyum
b. Salam
c. Sapa
d. Sopan
e. Santun
Budaya Kepemilikan (4 B + RS)
a. Bersih dan Halal
b. Barokah
c. Bersahaja
d. Bermanfaat
e. Rapih
f. Serasi
Manajemen Konflik (3 S)
a. Semangat bersaudara
b. Semangat mencari solusi
c. Semangat sukses bersama
Seni Merubah Bangsa (3M)
a. Mulai dari diri sendiri
b. Mulai dari hal yang kecil
c. Mulai saat ini
5 Pantangan DT
a. Pantang sia-sia
b. Pantang mengeluh
c. Pantang menjadi beban
d. Pantang berkhianat
e. Pantang kotor hati
Kiat Membangun Kredibilitas
a. Jujur,tepercaya,terbukti dan teruji
b. Cakap memuaskan
c. Kreatif dan inovatif
d. Istiqomah / konsisten
Rumus Kebersihan (TSP)
a. Tahan tidak buang sampah sembarangan
b. Simpan sampah pada tempatnya
c. Pungut sampah Insya Alloh sedekah
Kiat Sukses ( 7 B )
a. Beribadah dengan benar & istiqomah
b. Berakhlak terpuji
c. Belajar dan berlatih terus menerus
d. Bekerja dengan cerdas dan ikhlas
e. Bersahaja dalam hidup
f. Bantu sesama
g. Bersihkan hati selalu.
Konsep Untung
a. Bila menjadi amal sholeh
b. Bila menjadi ilmu
c. Bila bermanfaat
d. Bila menambah silaturahmi
e. Bila menguntungkan orang lain
BEBASKOMIBA
a. Berantakan Rapihkan
b. Basah Keringkan
c. Kotor Bersihkan
d. Miring luruskan
e. Bahaya Amankan
Demikian makalah pengantar akhlak MQ ini saya buat, semoga bermanfaat dan berbuah pahala.

Saturday, August 21, 2010

Fatwa Kontemporer Yusuf Qordowi 1,2 dan 3

Fatwa Kontemporer Yusuf Qordowi 3
https://docs.google.com/leaf?id=0ByWIS-XPpZGwYTQ1MjQwODEtZDE0NS00YWEzLTk0ODgtNWRhNTg3NTdmZWQ2&sort=name&layout=list&num=50

Qordowi 2
https://docs.google.com/leaf?id=0ByWIS-XPpZGwZTc0ODk0OTEtYTRmNS00ZGNlLWJlOWMtNjY1MWNmMTYzZmFh&sort=name&layout=list&num=50

Qordowi 1
https://docs.google.com/leaf?id=0ByWIS-XPpZGwNDdiNjI4MmEtOWFmYi00OWRmLTg5NmMtOTc0MmJmNjllYjUz&sort=name&layout=list&num=50

Tuesday, May 18, 2010

Meluruskan Makna Jihad dan Teroris

PEMIKIRAN TENTANG JIHAD DAN TERORISME

( Tinjauan Terhadap Makna dan Aplikasinya )

Oleh : Asrowi, MA.

A. Pendahuluan

Jihad merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat penting. Jihad dalam berbagai bentuknya merupakan bagian tak terpisahkan dari iman. Kuat atau lemahnya iman seseorang salah satunyan diukur dari keberanian dan kesabarannya berjihad di jalan Allah. Iman yang kuat akan senantiasa menggelorakan semangat seorang mukmin untuk berjihad. Sebaliknya, iman yang lemah membuat seorang mukmin takut berjihad karena kesulitan dan tantangan yang sangat berat. Bagi mukmin yang beriman dan berjihad dijanjikan oleh Allah pahala surga, kehidupan yang mulia dan kedudukan yang terhormat di sisi-Nya.

Sejarah gemilang perjuangan umat Islam dalam membina dan membangun masyarakat muslim terkait erat dengan jihad Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah Muhammad SAW beserta para sahabatnya menjadikan jihad sebagai spirit menegakkan syariat Islam. Para pejuang kemerdekaan di negara-negara muslim mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan yang bertentangan dengan tauhid, tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan. Dengan semangat jihad, para pahlawan kemerdeka-an Indonesia yang mayoritas adalah para ulama dan tokoh muslim telah melawan penjajahan yang menimbulkan penderitaan, kebodohan dan kemiskinan rakyat.

Naif sekali, jihad sebagai ajaran Islam yang suci telah mengalami pergeseran makna dan pengamalannya. Beberapa kelompok muslim menyalah-gunakan jihad sebagai dalih untuk melakukan tindakan kekerasan, terorisme dan perbuatan makar. Dalam beberapa dasa warsa terakhir jihad secara sangat efektif dipergunakan oleh kelompok-kelompok muslim ekstrim untuk melegal-kan bom bunuh diri.

Pemahaman jihad yang keliru sudah terbukti menodai kesucian jihad dan mencoreng wajah Islam yang damai. Sehubungan dengan aksi-aksi yang mengatasnamakan jihad yang keliru tersebut, lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah dan pesantren disorot tajam, bahkan dituduh sebagai sarang teroris. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat merugikan citra Islam.

B. Jihad dalam Islam

Jihad[1] adalah bagian dari ajaran Islam, sedangkan teroris[2] bukanlah berjihad. Jihad bahkan termasuk di antara kewajiban dalam Islam yang sangat agung, yang menjadi mercusuar Islam. Secara bahasa, jihad bermakna: mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Secara bahasa, jihad juga bisa berarti: mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan

Adapun dalam pengertian syar’i (syariat), para ahli fikih (fuqaha) mendefinisikan (lebih lanjut lihat pada catatan kaki di atas) jihad sebagai upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah secara langsung maupun memberikan bantuan keuangan, pendapat, atau perbanyakan logistik, dan lain-lain (untuk memenangkan pertempuran). Karena itu, perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah itulah yang disebut dengan jihad.

Di dalam al-Quran, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata. Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ 4]: 95); QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS ash-Shaf [61]: 4). Bahkan jihad (perang) di jalan Allah merupakan amalan utama dan agung yang pelakunya akan meraih surga dan kenikmatan yang abadi di akhirat. (Lihat, misalnya: QS an-Nisaa’ [4]: 95; QS an-Nisa’ [4]: 95; QS at-Taubah [9]: 111; QS al-Anfal [8]: 74; QS al-Maidah [5]: 35; QS al-Hujurat [49]: 15; QS as-Shaff [61]: 11-12. Sebaliknya, Allah telah mencela dan mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang) di jalan Allah (Lihat, misalnya: QS at-Taubah [9]: 38-39; QS al-Anfal [8]: 15-16; QS at-Taubah [9]: 24).

Pertanyaannya, kapan dan dimana jihad dalam pengertian perang itu dilakukan? Pertama: manakala kaum Muslim atau negeri mereka diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah dalam kasus Afganistan dan Irak yang diserang dan diduduki AS sampai sekarang, juga dalam kasus Palestina yang dijajah Israel. Inilah yang disebut dengan jihad defensif (difâ’î). Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membalas tindakan penyerang dan mengusirnya dari tanah kaum Muslim:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS al-Baqarah [2]: 190).

Kedua: manakala ada sekelompok komunitas Muslim yang diperangi oleh orang-orang atau negara kafir. Kaum Muslim wajib menolong mereka. Sebab, kaum Muslim itu bersaudara, laksana satu tubuh. Karena itu, serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu pula, upaya membela kaum Muslim di Afganistan, Irak, atau Palestina, misalnya, merupakan kewajiban kaum Muslim di seluruh dunia. Allah SWT berfirman:

وَإِنْ اسْتَنْصُرُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمْ النَّصْرُ

Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan agama ini maka kalian wajib menolong mereka. (QS al-Anfal [8]: 72).

Ketiga: manakala dakwah Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam (Khilafah) dihadang oleh penguasa kafir dengan kekuatan fisik mereka. Dakwah adalah seruan pemikiran, non fisik. Manakala dihalangi secara fisik, wajib kaum Muslim berjihad untuk melindungi dakwah dan menghilangkan halangan-halangan fisik yang ada di hadapannya dibawah pimpinan khalifah. Inilah yang disebut dengan jihad ofensif (hujûmî). Inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka tidak pernah berhenti berjihad (berperang) dalam rangka menghilangkan halangan-halangan fisik demi tersebarluaskannya dakwah Islam dan demi tegaknya kalimat-kalimat Allah. Dengan jihad ofensif itulah Islam tersebar ke seluruh dunia dan wilayah kekuasaan Islam pun semakin meluas, menguasai berbagai belahan dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Bahkan jihad (perang) merupakan metode Islam dalam penyebaran dakwah Islam oleh negara (Daulah Islam). Allah SWT berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاََ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ ِللهِ

Perangilah oleh kalian mereka (orang-orang kafir) hingga tidak ada lagi fitnah (kekufuran) dan agama ini (Islam) hanya milik Allah. (QS al-Baqarah [2]: 193).

C. Terorisme Bukan Jihad

Dari definisi dan konteks jihad di atas, jelas sekali bahwa tindakan terorisme (dalam arti melakukan berbagai peledakan bom ataupun bom bunuh diri bukan dalam wilayah perang, seperti di Indonesia) bukanlah termasuk jihad fi sabilillah. Sebab, tindakan tersebut nyata-nyata telah mengorbankan banyak orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh. Tindakan ini haram dan termasuk dosa besar berdasarkan firman Allah SWT:

وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ

Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang haq. (QS al-Isra’ [17]: 33).

Allah SWT juga berfirman:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Siapa saja yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam; ia kekal di dalamnya; Allah pun murka kepadanya, mengutukinya, dan menyediakan baginya azab yang besar. (QS. an-Nisa’ [4]: 93).

Apalagi Allah SWT pun telah berfirman:

وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Pengasih kepada kalian. (QS an-Nisa’ [4]: 29).l

Keagungan Jihad Tak Boleh Dinodai, hal ini sebagaimana telah dijelaskan di awal, jihad adalah amal yang agung. Imam an-Nawawi, dalam Riyâdh ash-Shâlihîn, membuat bab khusus tentang jihad. Beliau antara lain mengutip sabda Nabi saw., sebagaimana yang dituturkan oleh Abu Hurairah:

سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ، قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُوْرٌ

Rasulullah saw. pernah ditanya, “Amal apakah yang paling utama?” Jawab Nabi, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau diitanya lagi, “Kemudian apa?” Jawab Nabi, “Perang di jalan Allah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa?” Jawab Nabi, “Haji mabrur.” (HR al-Bukhar dan Muslim).

Imam Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa dalam hadis tersebut (atau yang serupa) perang di jalan Allah (jihad fi sabilillah) adalah amal yang paling utama setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, sudah selayaknya kaum Muslim menjaga keagungan jihad ini dari siapapun yang berusaha menodai dan merendahkannya, baik karena ketadaktahuannya, ataupun karena kedengkiannya (seperti yang dilakukan Barat kafir penjajah) terhadap aktivitas jihad. Sebab, di samping makna jihad telah diterapkan dengan kurang tepat, keagungan jihad juga telah sengaja direndahkan oleh Barat kafir imperialis. Barat, misalnya, telah lama menyebut Islam sebagai agama ‘barbarian’ hanya karena mengajarkan jihad. Presiden Bush bahkan menyebut Islam sebagai agama radikal dan fasis, sementara PM Inggris Blair menjuluki Islam sebagai ‘ideologi Iblis’; juga antara lain karena faktor jihad. Colin Powell saat menjadi menteri luar negeri AS juga pernah mengatakan, “Jika mereka hanya mengirim generasi muda ke madrasah, sekolah itu tidak melakukan apa-apa, tetapi mengindoktrinasi mereka dalam aspek-aspek buruk. Mengajarkan kebencian tidak akan membawa perdamaian bagi kita semua di kawasan ini.”

Mengapa demikian? Semua itu tidak lain sebagai bentuk propaganda mereka agar kaum Muslim menjauhi aktivitas jihad. Sebab, bagaimanapun Barat menyadari bahwa jihad adalah ancaman tersebar bagi keberlangsungan mereka atas Dunia Islam. Karena itu, Barat bahkan berusaha agar jihad dihilangkan dari ajaran Islam. Hal itu antara lain diwujudkan dengan upaya Barat untuk memaksakan kurikulum ke madrasah-madrasah, pesantren-pesantren, atau lembaga-lembaga pendidikan Islam karena dianggap mengajarkan kekerasan dan memproduksi ‘para teroris’.

Walhasil, di satu sisi kita jelas tidak setuju jika peledakan bom terhadap masyarakat (termasuk Muslim) bukan dalam kondisi perang dikategorikan sebagai jihad. Sebaliknya, di sisi lain, kita pun harus mewaspadai setiap upaya dari Barat kafir penjajah yang berusaha memanipulasi bahkan menghapuskan ajaran dan hukum jihad dari Islam demi kepentingan politik mereka.

D. Pembenahan Makna Jihad

Banyak orang menafsirkan makna jihad fi sabilillah dengan berbagai macam penafsiran. Mana makna jihad yang benar menurut kaca mata syariat Islam? Dan peperangan seperti apa saja yang dapat dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah? Ada upaya baru yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam, yakni meminggirkan dan menghilangkan makna serta pengaruh istilah-istilah Islam di tengah-tengah kaum Muslim. Salah satu istilah yang berusaha mereka eliminir dan kaburkan adalah istilah jihad. Hal itu dilakukan bukan saja dengan menciptakan stereotipe negatif tentang jihad, mujahid dan syahid, tetapi juga dengan mengalihkan makna jihad secara syar’i ke pengertian jihad secara bahasa (lughawi) yang bersifat lebih umum.

Tidak dipungkiri, kata jihad memiliki pengaruh yang amat luas, dan masih memiliki greget yang mendalam di kalangan kaum Muslim. Gaung jihad akan segera menghentakkan kaum Muslim, yang sehari-harinya biasa-biasa saja. Seketika kita berubah wujud menjadi luar biasa. Fenomena semacam ini amat dipahami, baik oleh musuh-musuh Islam maupun kalangan Muslim sendiri. Tidak aneh jika kata jihad sering dipelintir maknanya untuk kepentingan politik negara-negara besar maupun kalangan-kalangan tertentu.

Negara Barat kafir seperti AS, hingga kini tetap giat mempropagandakan pandangan bahwa jihad sama dengan teror, mujahidin sama dengan teroris atau ekstremis yang harus dimusuhi, dilawan, dan dibinasakan. Mereka khawatir dengan bangkitnya semangat kaum Muslim melawan hegemoni sistem kufur yang dipelopori AS. Kaum orientalis dan para pengikutnya mengarahkan makna jihad dalam pengertian yang lebih luas, mencakup jihad pembangunan, jihad menuntut ilmu, jihad mencari nafkah, jihad ekonomi, jihad politik dan sejenisnya. Semua itu mengaburkan makna jihad yang sebenarnya. Dalam skala yang lebih sempit lagi, kata jihad ternyata juga sengaja dipelintir dan dipolitisasi untuk menghadang atau melawan kelompok tertentu yang bertentangan dengan kelompok mereka. Inilah yang sekarang terjadi di negeri ini.

Untuk meluruskan persepsi keliru tentang makna jihad agar tidak digunakan untuk kepentingan politik tertentu, yang dengan gampang mengangkat perkara ini guna menghadang pihak lain yang menghalang-halangi atau mengganggu eksistensi dan kepentingan kelompok mereka, sangatlah penting menjelaskan hakikat jihad yang sebenarnya kepeda seluruh kaum Muslim.

Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd. Artinya adalah saling mencurahkan usaha. Lebih jauh lagi Imam an-Naisaburi dalam kitab tafsirnya menjelaskan arti kata jihad menurut bahasa, yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk memperoleh maksud tertentu.

Al-Quran menggunakan arti kata jihad seperti diatas dalam beberapa ayatnya, seperti ayat berikut:

(وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا)

Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dalam hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (TQS. Luqman [31]: 15)

Makna jihad menurut bahasa (lughawi) adalah kemampuan yang dicurahkan semaksimal mungkin; kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik menggunakan senjata atau tidak; kadang-kadang dengan menggunakan harta benda dan kata-kata; kadang-kadang berupa dorongan sekuat tenaga untuk meraih target tertentu; dan sejenisnya. Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu kerja keras.

Al-Quran telah mengarahkan makna jihad pada arti yang lebih spesifik, yaitu: Mencurahkan segenap tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik langsung maupun dengan cara mengeluarkan harta benda, pendapat, memperbanyak logistik, dan lain-lain. Pengertian semacam ini tampak dalam kata jihad yang ada dalam ayat-ayat Madaniyah. Maknanya berbeda dengan kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat Makkiyah. Kata jihad mengandung makna bahasa yang bersifat umum, sebagaimana pengertian yang tampak dalam al-Quran surat al-Ankabut [29]: ayat 6 dan 8 serta surat Luqman [31]: ayat 15. Tidak kurang dari 26 kata jihad digunakan dalam ayat-ayat Madaniyah. Semuanya mengindikasikan bahwa jihad disini mengandung muatan makna perang menentang orang-orang kafir dan keutamaan orang yang pergi berperang dibandingkan dengan orang yang berdiam diri saja. Pengertian semacam ini diwakili oleh firman Allah Swt:

Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 41)

Jihad dengan makna mengerahkan segenap kekuatan untuk berperang di jalan Allah juga digunakan oleh para fuqaha. menurut mazhab Hanafi, jihad adalah mencurahkan pengorbanan dan kekuatan untuk berjuang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta benda, lisan dan sebagainya4. Menurut mazhab Maliki, jihad berarti peperangan kaum Muslim melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah hingga menjadi kalimat yang paling tinggi. Para ulama mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa jihad berarti perang di jalan Allah.

Sekalipun kata jihad menurut bahasa memliki arti mencurahkan segenap tenaga, kerja keras, dan sejenisnya, tetapi syariat Islam lebih sering menggunakan kata tersebut dengan maksud tertentu, yaitu berperang di jalan Allah. Artinya, penggunaan kata jihad dalam pengertian berperang di jalan Allah lebih tepat digunakan ketimbang dalam pengertian bahasa. Hal ini sesuai dengan kaidah yang sering digunakan para ahli ushul fiqih: Makna syariat lebih utama dibandingkan dengan makna bahasa maupun makna istilah (urf). Dengan demikian, makna jihad yang lebih tepat diambil oleh kaum Muslim adalah berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Allah.

Pengaburan makna jihad dalam pengertian syariat ini, dengan cara mengalihkannya ke pengertian yang lebih umum, seperti jihad pembangunan, menuntut ilmu, mencari nafkah, berpikir keras mencari penyelesaian, dan sejenisnya yang dianggap sebagai aktivitas jihad merupakan upaya untuk menghilangkan makna jihad dalam pengertian al-qitâl, al-harb, atau al-ghazwu, yaitu berperang (di jalan Allah).

Untuk menentukan bahwa suatu pertempuran itu tergolong jihad fi sabilillah (sesuai dengan definisi diatas) atau termasuk perang saja, maka kita perlu mencermati fakta tentang jenis-jenis peperangan yang dikenal dalam khasanah Islam. Di dalam Islam terdapat kurang lebih 12 jenis peperangan, yaitu:

1. Perang melawan orang-orang murtad.

2. Perang melawan para pengikut bughât.

3. Perang melawan kelompok pengacau (al-hirabah atau quthâ at-thuruq) dari kalangan perompak dan sejenisnya.

4. Perang mempertahankan kehormatan secara khusus (jiwa, harta benda dan kehormatan).

5. Perang mempertahankan kehormatan secara umum (yang menjadi hak Allah atau hak masyarakat).

6. Perang menentang penyelewengan penguasa.

7. Perang fitnah (perang saudara).

8. Perang melawan perampas kekuasaan.

9. Perang melawan ahlu dzimmah.

10. Perang ofensif untuk merampas harta benda musuh.

11. Perang untuk menegakkan Daulah Islam.

12. Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam.

Perang melawan orang-orang murtad menurut Imam Nawawi, adalah orang yang keluar dari agama Islam, mengeluarkan kata-kata atau tindakan kekufuran, dengan disertai niat, baik niatnya mencela, karena kebencian, atau pun berdasarkan keyakinan. Orang yang murtad di beri batas waktu, bisa tiga hari atau pun lebih untuk bertobat. Jika jangka waktu yang diberikan berakhir, sementara yang bersangkutan tetap tidak berubah, maka ia wajib dibunuh. Jika yang murtad itu merupakan satu komunitas, baik didukung oleh negara kafir atau pun berdiri sendiri, hukumnya juga sama, yaitu wajib diperangi sebagaimana halnya memerangi musuh, bukan seperti memerangi bughât.

Adapun perang melawan para pengikut bughat adalah mereka yang memiliki kekuatan, kemudian menyatakan keluar atau memisahkan diri dari Daulah Islamiyah, melepaskan ketaatannya kepada negara (Khalifah), mengangkat senjata, dan mengumumkan perang terhadap negara. Tidak dibedakan lagi apakah mereka memisahkan diri dari Khalifah yang adil atau zhalim; baik mereka memisahkan diri karena adanya perbedaan (penafsiran) dalam agama atau mungkin ada motivasi dunia. Semuanya tergolong bughat selama mereka mengangkat senajata atau pedang terhadap kekuasaan Islam.

Jika ada kelompok orang semacam ini, menurut Imam Nawawi, yang harus dilakukan oleh kepala negara adalah memberinya nasehat agar mereka kembali dan bertobat. Jika tidak kembali mereka harus diperangi agar jera. Dalam perkara ini, peperangan yang dimaksud adalah peperangan untuk mendidik mereka, bukan perang untuk membinasakan mereka. Alasannya, mereka adalah kaum Muslim yang tidak sadar, dan kesadarannya harus dikembalikan. Oleh karena itu, perang melawan bughat tidak tergolong ke dalam aktivitas jihad fi sabilillah. Ada dua alasan penting: Pertama, yang diperangi adalah kaum Muslim; Kedua, korban yang terbunuh dalam peperangan ini tidak termasuk syahid.

Adapun Perang melawan kelompok pengacau. Kelompok pengacau adalah mereka yang melakukan tindak kriminal dalam wujud sekumpulan orang bersenjata dan memiliki kekuatan. Tujuannya adalah merampok, menyamun, membunuh, menebar teror atau ketakutan terhadap masyarakat umum. Para pelakunya bisa terdiri dari empat jenis: orang-orang murtad, orang kafir ahlu dzimmah, orang-orang kafir musta’man, orang Islam. Jika di dalam Daulah Islamiyah muncul kelompok semacam ini, mereka wajib diperintahkan untuk meletakkan senjata dan menyerahkan diri, setelah sebelumnya diberikan nasehat. Apabila mereka tidak mengindahkan seruan negara, maka mereka wajib diperangi. Daulah Islamiyah wajib melenyapkan ancaman mereka atas kaum Muslim. Perang melawan mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan jihad fi sabilillah, jika sasarannya adalah orang-orang murtad, ahlu dzimmah dan orang-orang kafir musta’man. Sebaliknya, jika sasarannya adalah kaum Muslim yang melakukan kekacauan, peperangan melawan mereka tidak tergolong sebagai jihad fi sabilillah.

Perang mempertahankan kehormatan pribadi. Para fuqaha memberinya istilah lain dalam peperangan jenis ini, yaitu as-siyâl. As-Siyâl adalah tindakan ancaman atas harta benda, jiwa dan kehormatan. Ketiga perkara tersebut merupakan perkara-perkara yang harus dijaga. Hukum mempertahankan ketiga jenis perkara tersebut disyariatkan oleh Islam. Jika pihak yang merampas kehormatan, harta benda, atau pun jiwa itu adalah orang-orang kafir, maka peperangan melawan mereka dimasukkan sebagai jihad fi sabilillah. Akan tetapi jika pihak yang mertampas kehormatan, jiwa dan harta benda kaum Muslim adalah juga dari kaum Muslim, maka jenis peperangan melawan mereka tidak digolongkan sebagai jihad.

Perang mempertahankan kehormatan secara umum. Sekalipun obyeknya sama dengan jenis peperangan sebelumnya, yaitu mencakup kehormatan, harta benda dan jiwa, akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar dalam perkara ini. Perang dalam rangka mempertahankan kehormatan secara umum, ditujukan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran atas kehormatan, harta benda dan jiwa, yang dimilikinya sendiri. Misalnya, sekelompok orang yang melacurkan diri, mengambil harta orang lain secara sukarela untuk berjudi, atau sekelompok orang yang bermaksud membunuh diri mereka sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pelanggaran terhadap hak-hak Allah dan hak-hak masyarakat, karena dapat merusak kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat. Berperang untuk mengikis habis pelanggaran hak Allah dan hak masyarakat ini, di dalam fiqih Islam lebih dikenal dengan taghyir al-munkar. Negara wajib memelihara kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat dengan memerangi mereka yang akan membinasakan kehormatan, harta benda dan jiwa mereka sendiri. Perang dalam rangka ini tidak termasuk ke dalam aktivitas jihad.

Perang menentang penguasa yang menyimpang. Peperangan jenis ini, dalam fiqih Islam dikenal dengan beberapa istilah, seperti al-khurûj (pemisahan diri), ats-tsaurah (pemberontakan atau kudeta), an-nuhûdl (kebangkitan), al-fitnah (fitnah), qitâl azh-zhulmah (memerangi kezhaliman), qitâl al-umarâ (memerangi penguasa), inqilâb (revolusi), harakat tahririyah li tashîh al-auda (gerakan pembebasan untuk perbaikan), harb ahliyah (perang saudara), dan lain-lain.

Yang perlu diingat, peperangan jenis ini berada dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah, yakni tatkala di dalamnya tampak penyelewengan penguasa dalam:

1. Meninggalkan shalat, puasa, atau rukun Islam lainnya.

2. Tidak menegakkan rukun Islam di tengah-tengah masyarakat.

3. Melakukan kemaksiatan secara terang-terangan.

4. Melakukan kekufuran secara terang-terangan.

Peperangan jenis ini memerlukan burhân (bukti) yang pasti bahwa Khalifah benar-benar telah menyimpang dari hukum Islam yang qath’i dengan menjalankan kekufuran. Dalam kondisi semacam ini, seorang Khalifah harus dilengserkan dan dianggap murtad. Jika ia melawan, maka perang melawannya dapat dikategorikan sebagai jihad. Jika Khalifah hanya melakukan penyelewengan saja, tidak sampai melakukan kekufuran secara terang-terangan tetapi mengharuskan dirinya dilengserkan dari kedudukannya sebagai Khalifah, sementara ia tidak bersedia diturunkan, maka perang melawannya sama dengan melawan bughât, tidak dikategorikan sebagai jihad.

Perang fitnah (perang saudara). Perang saudara disini maksudnya adalah perang antara dua pihak atau lebih yang melibatkan kaum Muslim yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Contoh yang paling mudah untuk perang saudara ini adalah apa yang terjadi dan dialami oleh kaum Muslim di Afghanistan (pada masa pemerintahan Thaliban). Perang saudara semacam ini tidak digolongkan sebagai jihad fi sabilillah. Bahkan, banyak hadits yang melarangnya, sementara para pelakunya diancam akan dimasukkan ke dalam neraka.

Perang melawan perampas kekuasaan, kekuasaan itu ada di tangan rakyat (umat). Demikian kesimpulan dari berbagai hadits yang menyangkut bai’at. Bai’at berasal dari umat yang diberikan kepada Rasulullah saw, atau para Khalifah setelah beliau. Artinya, orang yang memperoleh kekuasaan bukan melalui tangan umat atau melalui paksaan dianggap sebagai pihak yang merampas kekuasaan.

Perang melawan pihak yang merampas kekuasaan tidak digolongkan sebagai jihad. Meskipun demikian, dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yang berbeda di kalangan sahabat. Ali bin Abi Thalib ra menganggapnya sebagai jihad. Sikap beliau diwujudkan dalam tindakannya, yakni tidak memandikan jenazah para sahabatnya yang gugur dalam perang Shiffin. Sebaliknya adalah pendapat Asma binti Abubakar. Ia memandikan anaknya, yakni Abdullah bin Zubair tatkala berperang melawan pihak yang merampas kekuasan, yaitu Marwan bin Hakam.

Perang melawan ahlu dzimmah, ahlu dzimmah adalah setiap orang non muslim yang menjadi rakyat (warga negara) Daulah Islamiyah dan dibiarkan memeluk agamanya. Ahlu dzimmah adalah orang yang terikat perjanjian dengan Daulah Islamiyah serta memperoleh dzimmah (jaminan) dari negara atas jiwa, kehormatan dan harta bendanya. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dapat menggugurkan status dzimmah mereka.

Pelanggaran tersebut mencakup setiap perkara yang mengganggu atau menghilangkan harta benda, jiwa dan kehormatan kaum Muslim, seperti (1) membantu menyerang kaum Muslim, (2) membunuh kaum Muslim, (3) merampok harta benda kaum Muslim, (4) menjadi perusuh, (5) membocorkan rahasia kaum Muslim kepada musuh, (6) menodai kehormatan wanita muslimah, (7) mempengaruhi kaum Muslim agar memeluk agama mereka yang kafir.

Berbagai pelanggaran ini jika dilakukan oleh ahlu dzimmah dapat menggugurkan dzimmah (jaminan) negara atas keselamatan harta benda, kehormatan dan jiwa mereka. Perang melawan ahlu dzimmah semacam ini termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya, status mereka pada kondisi demikian telah berubah menjadi kafir harbi, karena mereka telah kehilangan dzimmahnya. Kasus semacam ini akan dihadapi jika mereka benar-benar melakukan konspirasi bersama dengan orang-orang kafir harbi untuk menyerang kaum Muslim.

Perang untuk menegakkan Daulah Islamiyah. Untuk mengetahui apakah perang jenis ini temasuk jihad fi sabilillah atau bukan, harus dicermati dulu faktanya. Pertama, jika sasaran perang dalam rangka menegakkan Daulah Islamiyah itu berasal dari kalangan kaum Muslim yang tidak setuju dengan tegaknya Daulah Islamiyah, maka perang jenis ini dimasukkan ke dalam perang melawan bughat. Kedua, perang melawan ahlu dzimmah yang tidak mau tunduk kepada Daulah Islamiyah yang baru berdiri, maka peperangannya dianggap sebagai jihad melawan orang-orang kafir harbi. Ketiga, perang melawan negeri-negeri Islam yang tidak mau bergabung dalam naungan Daulah Islamiyah. Perang jenis ini dimasukkan sebagai perang melawan bughât. Keempat, perang melawan penjajah atau negara-negara kafir yang tidak ingin melihat berdirinya Daulah islamiyah. Perang jenis ini digolongkan sebagai jihad fi sabilillah.

Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam. Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam pada dasarnya tergolong perang untuk menegakkan kalimat Allah. Meskipun demikian, perlu dicermati sasarannya. Jika yang diperangi adalah orang-orang kafir atau ahlu dzimmah yang telah mencampakkan perjanjiannya, maka melawan mereka dikategorikan sebagai jihad. Akan tetapi, jika yang diperangi adalah sesama kaum Muslim yang teguh pada nasionalisme atau kebangsaannya, sementara mereka dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk melawan sesama kaum Muslim, maka perang melawan mereka tidak dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah.

Berdasarkan uraian singkat ini, kaum Muslim bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi provokasi, ajakan, maupun seruan-seruan jihad yang disalahgunakan oleh banyak pihak yang didasarkan pada kepentingan politik tertentu. Alih-alih mengharapkan mati syahid, yang diperoleh ternyata mati konyol. Na’udzi billahi min dzalika.

E. Bom Bunuh Diri Bukan Jihad

Kata syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah ayat al-Qur’an. Di antaranya firman Allah yang menyatakan: “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itu teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa [4] : 69).

Menurut Tafsar al-Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang memberi kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik dengan argumen atau penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang terbunuh di jalan Allah disebut dengan syahid. Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama Allah itulah yang benar. Lain dari itu adalah batil.

Dalam ungkapan yang lain, penulis at-Tafsir al-Wadhih menerangkan, bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan ke-benaran dengan alasan dan bukti serta berperang di jalan Allah dengan pedang dan tombak hingga ia terbunuh. Dalam pandangan kedua mufasir itu, senjata yang diguna-kan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang digunakan pada masa aI-Qur'an diturunkan.

Menurut penulis Tafsir Majma' al-Bayan, syuhada adalah orang-orang terbunuh di jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang muslim sangat dianjur-kan untuk mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh mendambakan di-bunuh orang kafir sebab perbuaatan itu adalah maksiat. yang terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam menegakkan kebenaran karena Allah, mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh karena itu Syuhada adalah predikat terpuji. Orang boleh mendambakan predikat itu, tetapi orang tidak boleh mendambakan dibunuh oleh orang kafir, sebab perbuatan itu adalah maksiat.

Penegasan yang hampir sama dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar mati terbunuh di tangan orang kafir tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu adalah suatu bentuk kekafiran. Berkaitan dengan itu, Rasulullah SAW. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan: "Barang siapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya sampai pada derajat kesyahidan, meskipun ia mati di atas tempat tidurnya" Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang lainnya Rasulullah SAW. mengatakan: Barang siapa mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur sebagai syahid”

Berdasarkan kedua hadis di atas, dapat dipahami bahwa kesyahidan dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang dimaksud harus dengan jalan yang benar. Selain itu, derajat kesyahidan dapat diperoleh meskipun orang yang bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain, derajat kesyahidan terletak pada nilai perbuat-an seorang muslim yang telah turut serta berperang di jalan Allah. Menurut al-Jurjawi, Allah SWT. memberi keutamaan kepada orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: "Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh" (Qs. at-Taubah [9]: 111).

Itu tidaklah dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian. Namun, maksudnya adalah mereka berperang baik mereka terbunuh atau tidak terbunuh. Jika mereka terbunuh, maka hal itu adalah sesuatu yang jelas dan dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti keluarga, harta benda dan anak-anak.

Syuhada dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang Badar. Ketika itu tentara muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy. Dari kaum muslimin gugur sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70 orang. Tentara muslim yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan oleh pihak kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan keberhasilan mereka menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan menghalau pasukan musuh.

Perang Badar terjadi pada tahun kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW. bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah untuk menghindari ganggu-an dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin pada periode Mekkah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi pada periode Madinah, maka perang antara kedua belah pihak tak dapat dielakkan. Fakta sejarah tersebut, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan: "Janganlah kalian mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah keadaan yang sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan mereka, maka tegarlah. Muttafaqun 'alaih.

Tentara muslim yang mengikuti peperangan di jalan Allah terikat dengan sejumlah ketentuan. Syarat-syarat untuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2) Islam, 3) Sehat jasmani dan rohani, dan 4) Keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang peperangan, terampil menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak pengecut.

Hampir senada dengan penjelasan di atas, ulama fiqih menyebutkan bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas beberapa ketentuan, yakni: muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki bekal yang cukup baginya dan keluarganya hingga jihad selesai. Ulama fiqih merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang mencerminkan belas kasih (rahmah) yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan bahwa kalaupun Islam membolehkan perang sebagai salah satu tuntutan darurat, maka Islam memberinya batasan tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah peperangan tidak boleh dibunuh, orang yang menjauhi perang tidak halal dibunuh atau ditawan. Islam juga mengharamkan untuk membunuh wanita, anak-anak, orang sakit, orang tua jompo, rahib, al-ubbad (ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga mengharamkan al-mutslah (penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air, mencemari sumur dan menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang yang ter-luka, mengejar orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan karena perang itu laksana tindakan operasi bedah, tidak boleh me-lampaui tempat penyakit itu berada.

Ketentuan yang disebutkan di atas merujuk pada sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW. Di antaranya: Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwasanya Nabi SAW. bersabda:\"Berangkatlah kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah, sesuai tuntunan agama (yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh orang tua jompo, anak yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian, dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (H.R. Abu Daud).

Orang jompo dan wanita yang dikecualikan untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi pertimbangan kepada pasukan musuh. Menurut Tafsir Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan akhirat. Istilah syahid akhirat digunakan terhadap: a) orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya. Pembagian syahid semacam ini dikemukakan pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as-Sunnah.

Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang memuji orang-orang yang mati syahid, di antaranya: “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya"(QS al-Baqarah-12: 154). “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur\'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka ber-gembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (Qs. at-Taubah- 9:111).

Tindakan bom bunuh diri saat ini, banyak dilakukan di berbagai tempat, biasanya sebagai salah satu bentuk perlawanan pihak yang lemah terhadap pihak yang lebih kuat. Tindakan bom bunuh diri biasanya dilakukan terhadap sasaran yang tidak jelas. Tindakan ini tidak hanya menyebabkan pelakunya meninggal dunia, tetapi biasanya juga menyebabkan kematian banyak orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang menjadi korban sering tidak mempunyai kaitan dengan pihak yang dimusuhi atau memusuhi pihak pelaku bom bunuh diri.Pelaku bom bunuh diri atau pendukungnya merujuk kepada hadis-hadis yang menceritakan tentang tindakan tentara muslim yang menerobos pihak lawan untuk melakukan penyerangan hingga akhirnya ia mati terbunuh. Tindakan semacam ini disebut inghimas (jibaku).

Ada sejumlah hadits yang melukiskan tindakan inghimas. Di antaranya:
Dari Abu Bakr bin Abu Musa al-Asy'ari, ia berkata: "Saya mendengar ayahku radhiyyalhu 'anhu, selagi ia sedang menghadapi pasukan musuh, berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda: 'Sesungguhnya pintu-pintu surga berada di bawah bayang-bayang pedang.' Seorang laki- laki yang usang pakaiannya lalu berdiri dan berkata: "Wahai Abu Musa, apakah engkau mendengarkan Rasulullah SAW. mengatakan yang demikian ini?" Abu Musa menjawab: "Ya". Abu Musa berkata: "Orang itu lalu kembali ke kawan-kawannya seraya berkata: 'Saya mengucapkan salam kepada kalian.' Ia kemudian memecahkan sarung pedangnya lalu mencampa-kkannya. Selanjutnya, ia berjalan sambil membawa pedangnya ke arah musuh dan menyerang dengan pedangnya itu hingga ia terbunuh. (H.R. Muslim)

Hadis di atas berisi motivasi kepada tentara muslim yang sedang berhadapan dengan tentara musuh di medan perang. Imbalan berupa surga yang dijanjikan kepada mereka yang mati dalam perang, membuat anggota pasukan berani menghadapi musuh tanpa menghitung resiko yang bakal dialaminya, baik yang berupa cacat fisik maupun kematian. Kandungan hadits di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.

Tindakan bom bunuh diri mempunyai karakteristik. Di antaranya: Pertama, perbuatan ini termasuk tindakan bunuh diri atau kematian yang direncanakan. Kedua, perbuatan ini menyebabkan orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan menyebabkan ketakutan orang banyak. Ketiga , Perbuatan ini mencerminkan sikap putus asa dan ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah. Keempat, perbuatan ini mempunyai tujuan yang tidak jelas dan sasaran yang tidak jelas pula. Kelima, pertimbangan subyektif sangat menonjol dalam suatu tindakan bunuh diri.

Seorang ulama terkenal pada zaman ini, Wahbah Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu dalam bab Qowaid al-Jihad menyatakan bahwa jihad hanya terjadi pada tiga hal, yaitu: Apabila perbuatan itu terjadi pada saat bertemunya dua pasukan yang sedang saling bertempur, yaitu pasukan Islam dan pasukan musuh. Apabila penduduk suatu negeri muslim diserang oleh musuh; Dan apabila Amirul Mukminin, pemimpin negeri muslim, itu memerintahkan warganya untuk pergi ke medan perang.

Kalau kita perhatikan, tampak beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits yang tidak membenarkan tindakan bom bunuh diri. Di antaranya adalah: Pertama, larangan Al-Qur’an untuk membunuh diri sendiri: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah (Qs. An-Nisa; [4] :29-30).

Kedua, larangan mencelakakan diri sendiri. Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Baqarah; 2:195).

Ketiga, larangan membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi" (Qs. Al-Maidah [5] : 32).

Keempat, larangan berputus asa dari rahmat Allah. “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf [12] :87).

Perbedaan antara mati syahid dengan bom bunuh diri, adalah Amaliyat al- isytisyhad berbeda dengan bom bunuh diri. Pertama, orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku amaliyat al-isytisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan ummatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimistis atas dirinya dan atas ketentuan Allah, sedangkan pelaku amaliyat al-isytisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah subhanahu wata’ala.

Kedua, bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan putus asa (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak al-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-shulh dar al-salam dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-harb). Ketiga, amaliyat al-isytisyhad (tindakan mencari kesyahidan) diperbolehkan karena merupakan bagian dari jihad bin nafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al-harb) dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri (Fatwa MUI tentang Terorisme).

Dalam konteks ini Indonesia bukanlah dar al-harb melainkan dar al-sulh dan dar al-mu’ahadah (negara dalam perjanjian). Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 mengikat semua kaum muslim dan non-muslim di Indonesia untuk mempertahankan kedamaian dan keutuhan negara. Semua umat beragama, termasuk umat Islam, memiliki kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya secara damai.

Aksi-aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerusak-an sarana fisik, tetapi juga rusaknya citra bangsa dan umat Islam Indonesia. Mereka yang tidak menyukai Islam semakin keras menyuarakan kebencian dan stigmatisasi bahwa Islam adalah agama teroris. Lebih dari itu, mereka yang tidak memahami Islam di Indonesia dengan mudah menuduh lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren dan madrasah sebagai sarang teroris.

Para pengamat barat menuding bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia digerakkan oleh jaringan terorisme al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) yang basisnya berada di pesantren tertentu di Indonesia. Beberapa pelaku yang terbukti terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam aksi-aksi terorisme memang pernah belajar di pesantren tertentu. Dengan dalih itulah, muncul kesimpulan yang bias, bahwa pesantren adalah sarang teroris. Pernyataan bahwa pesantren adalah sarang teroris jelas menunjukkan kurangnya pemahaman tentang Islam Indonesia dan lebih jauh lagi melukai perasaan seluruh umat Islam terutama kalangan pesantren.

Kekeliruan anggapan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa argumen. Pertama, secara kelembagaan pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang berada di bawah pengawasan dan pembinaan Departemen Agama. Pesantren dikelola oleh lembaga- lembaga keagamaan yang selama ini sangat mendukung tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Persis, PUI, dan lain-lain. Kedua, kurikulum dan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren berisi materi keagamaan yang menekankan ketaatan beribadah, muamalah dan akhlak al-karimah. Di dalam pesantren memang diajarkan tentang jihad sebagai bagian dari kajian kitab-kitab Fiqh.

Pengajaran materi jihad tiada lain karena jihad merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Pembelajaran tentang jihad, senantiasa disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keter-kaitan dengannya, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jadi, jihad yang dimaksud-kan adalah bagaimana seorang santri secara sungguh-sungguh mau berjuang di jalan Allah agar menemukan kebenaran dan kebahagiaan. Ketiga, adanya beberapa pelaku terorisme yang pernah belajar di pesantren tidak berarti pesantren mengajarkan terorisme. Tidak sedikit founding fathers (pendiri negara) Indonesia adalah alumni pesantren. Mereka adalah mujtahid (pemikir) dan mujahid (pejuang) yang ditempa dalam pendidikan pesantren. Dengan logika sederhana, misalnya, ketika ada seorang penjahat alumni sekolah atau univer- sitas, tidak berarti lembaga pendidikan tersebut mendidik siswa atau maha-siswanya menjadi penjahat. Karena itu, adanya beberapa alumni pesantren yang terlibat dalam aksi terorisme tidak berarti sama sekali bahwa pesantren adalah sarang teroris. Penelitian membuktikan bahwa para pelaku teroris justeru belajar merakit bom dan menjadi ekstrimis setelah mereka tidak lagi belajar di pesantren. Mereka menjadi teroris karena berbagai macam pengalaman hidup, ketidakadilan hukum, kemiskinan dan tekanan politik. Faktor psikologis, sosiologis, ekonomi dan politik inilah yang sering-kali tidak atau kurang disinggung sebagai sebab tindakan terorisme.

Maka, untuk memburu teroris dan memberantas terorisme di zaman seperti ini, penyelesaian masalah secara komprehensif haruslah dilakukan secara arif, teliti, dan cerdas. Stigmanisasi terhadap umat Islam pasca peristiwa 11 September 2001 yang menjadikannya sebagai tertuduh, bagi sebagian umat Islam yang lain tentu semakin membangkitkan gejala perlawanan terhadap semua tindakan dan kaki tangan barat. Begitu juga dengan gejala terorisme negara yang ditunjukkan oleh Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina, Libanon, Irak, dan Afganistan tentu semakin mengobarkan api peperangan bagi mereka yang sudah mempunyai potensi melawan barat. Oleh karenanya, pemberantasan teror hendaknya dilakukan dengan metode yang bersifat kom-prehensif, edukatif, dan jauh dari diskriminasi dan kekerasan. Jangan sampai pesantren menjadi korban dari tindakan yang kurang memahami akar masalah terorisme.

F. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan: Pertama, jihad tidak selamanya berarti perang, karena di dalam Islam jihad dapat berbentuk haji mabrur, keberanian menyampaikan kebenaran terhadap penguasa yang zalim, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan, dan kepedulian sosial. Kedua, obyek jihad adalah orang kafir yang memusuhi Islam, orang munafiq, hawa nafsu, kezaliman, kemunkaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Ketiga, jihad adalah salah satu asas iman, amal utama dan puncak amaliah tertinggi. Keempat, termasuk jihad adalah semua upaya sungguh-sungguh memperbaiki dan kualitas kehidupan muslim baik kualitas iman maupun kesejahteraan. Kelima, Indonesia bukanlah wilayah dar al-harb melainkan negara damai dan negara dalam perjanjian karena umat Islam memiliki kesempatan dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya.

Untuk menghilangkan bahkan mematikan benih-benih terorisme di belahan Indonesia ini, perlu adanya beberapa hal yang harus dilakukan bersama, yaitu : Pertama, pemerintah harus konsisten dalam menjalankan aturannya, maksudnya hukum di Indonesia tidak boleh pandang bulu, baik pejabat atau masyarakat biasa harus diberikan hak yang sama, tidak pilah-pilih dalam bertindak. Kedua, wakil rakyat tidak hanya berkomentar, akan tetapi lebih mengutamakan contoh dan aplikasi yang nyata. Ketiga, pendidikan pesantren (salafi atau modern) harus segera memberikan materi tentang pluralisme pemahamana agama tidak mengedepankan fantisme. Keempat, lembaga pendidikan formal harus menyiapkan para guru atau dosen yang memiliki kualitas ilmu dan mentalitas serta metodologi yang optimal. Kelima, masyarakat harus banyak menuntut ilmu, tidak hanya mengkritik. Kenam, keluarga harus membentengi diri dengan keyakinan yang sesuai denganaturan agama dan UUD 45 serta Pancasila, dan memiliki filter dari segala informasi media.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya

AI-Anshari, Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukaram, Lisan Al-Arab li Ibn Manzhur, t.tp, Dar Al-Mishriyah.

Enizar, Jihad Menurut Hadits, Disertasi pada Pps. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002

Hijazi, Muhammad Mahmud. at-Tafsir al-Wadhih, juz 5. Kairo: Mathba'at al-Istiqlal al-Kubra, 1968.

al-Isfahani, Al-Raghib, Mujam Mufradat al-Fadz Al-Qur’an, Beirut Dar al-Fikr, 1990

al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmat at-Tasyri' wa Falsafatuh. Beirut: Darul Fikri, 1997.

Khattab, Mahmud Syiyat. ar-Rasul al-Qaid. Beirut: Darul Fikri, 1989.

An-Nawawi, Yahya bin Syaraf, Riyadhush Shalihin, Beirut: Darul Fikri, 2005.

Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Terorisme, Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 2005.

Mudzhar, Atho, Jihad dalam Konteks Indonesia Kontemporer, Makalah, 2005

Samudra, Imam, Aku Melawan Teroris, Solo: Jazera, 2004.

ath-Thabarsi, al-Fadhl bin al-Hasan. Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,. Beirut: Darul Fikri, 1994, jilid 3

Zakariya, Ahmad Ibnu Faris, Mu jam Maqayis al-Lugah, Beirut : Dar al-Fikr. 1994

Rikard Bagun, “Indonesia di Peta Terorisme Global”, http://www.polarhome.com>, 17 November 2002.

Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001)

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 35.

Kunarto, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999),

Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002)

Imam Cahyono, “Terorisme dan Hegemoni Kesadaran”, http://mail2.factsoft.de/pipermail/national/ 2002>, 30 Oktober 2002.

Mohammad Mova Al’Afghani, “Kampanye Melawan Terorisme Telah Merusak Tatanan Hukumhttp://www.theceli.com, 6 Agustus 2003.

“Convention Against Terrorism”, <http://www.unodc.org

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/79/Button_reflink.png

http://www.terrorism.com/modules.php

“Definition of Terrorism”,< http://www.terrorismfiles.org> “Legal Definition of Terrorism”, <http://www.unamich.org/MUN/SEMMUNA/legal.htm

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 30.

Makalah Seminar Terorisme Suatu Tantangan bagi POLRI, oleh Tim Perumus Seminar, Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://buletinlitbang.dephan.go.id

A.C Manullang, Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei, Januari 2001) hal. 151.

Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 98.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 6.

Al-Qurtubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Bairut : Dar al-Fikr, 1998, t.cet.

Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir, Damaskus : Dar al-Fikr, 1991, cet ke-1

- - - - - - - -, al-fiqh al-Islami wa Adallatih, Bairut ; Dar al-Fikr, 2007, t.cet.

Ar-Razi, Mafatih al-Gaib, Bairut : Dar al-Fikr, 1990, t.cet.

Ash-Shiddiqqy, Tengku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’an Majid, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1995

At-Thabari, Ibnu Jarir, Jami’ al-Bayan, Bairut : Dar al-Fikr, 2001, t.cet.

Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘adzim, Kairo : Dar al-Hadis, 2002, t.cet.

Ad-Dhariri, Abu ‘Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dhukhak as-Syulaimi al-Bughi at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Bairut: Dar al-Fikr, 1994, t. Cet.

Al-Asqalani, Abu al-Fadhil Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali, Fathu al-Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Bairut: Dar al-Fikr, 1996, t. Cet.

Al-Bukhari, Abi ‘Abdillah, Bukhari bi al-Hasiyah as-Sindi, Bairut: Dar al-Fikr, 1995, t. Cet.

Al-Hasan, Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qasyiri an-Nisaburi, Shahih Muslim, Bairut: Dar al-Fikr, 1992, t.Cet.

An-Nasa’i, Abu ‘Abdu at-Tahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani, Sunan an-Nasa’, Bairut: Dar al-Fikr, 1995, t.Cet.

An-Nasa’i, Abu ‘Abdu at-Tahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani, Sunan an-Nasa’, bi Syarh al-Hafid al-Imam Jalal ad-Din as-Suyuti wa Hasyiyah al-Imam as-Sindi, Bairut: Dar al-Fikr, 1995) t.Cet.

An-Nawawi, Syarh Muslim, Bairut : Dar al-Fikr, 1998, t.cet.

Al-Hasyimi, Said al-Ahmad, Jawahir al-Balaghah, Bairut: Dar al-Fikr, 1995, t.cet

Ibn Mandhur, Lisan al-‘Arab, Kairo: Dar al-Hadis, 2003, t.cet

Wensinck, A.J., al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi al-Hadis an-Nabawi, (Leyden : Brill, 1985), t.Cet.

Atabik Ali dan Ahmad, Zuhdi Mukhdhor, Kamus Kontemporer, Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum, 1996

Syayid Sabiq, Fiqh al-Sunah, Bairut : Dar al-Fikr, 1983, cet. Ke-4

Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2005, cet. Ke-3, edisi III

Jihad (bekerja Keras)

Irhab (teroris)

Bughad (Pembakang)

Al-Ghazwu (peperangan tak langsung)

Al-Qital (perang)



[1] Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan, sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.

Menurut Madzhab Maliki, Adapun definisi jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.

Madzhab as Syaafi’i berpendapat sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”. Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.

Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.

Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.

Menurut Abu Ishaq, kata jihaad adalah mashdar dari kata jaahada, jihaadan, wa mujaahadatan. Sedangkan mujaahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam memerangi musuhnya, sesuai dengan kemampuan dan tenaganya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qathlu al-kufaar khaashshatan (memerangi kaum kafir pada khususnya).

Al-Bahuuthiy dalam kitab al-Raudl al-Marba’, menyatakan; secara literal, jihaad merupakan bentuk mashdar dari kata jaahada (bersungguh-sungguh) di dalam memerangi musuhnya. Secara syar’i, jihaad bermakna qitaal al-kufaar (memerangi kaum kafir).

Al-Dimyathiy di dalam I’aanat al-Thaalibin menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal fi sabiilillah; dan berasal dari kata al-mujaahadah. Imam Sarbiniy, di dalam kitab al-Iqnaa’ menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal fi sabiilillah wa ma yata’allaqu bi ba’dl ahkaamihi (berperang di jalan Allah dan semua hal yang berhubungan dengan hukum-hukumnya).

Di dalam kitab Durr al-Mukhtaar, dinyatakan; jihaad secara literal adalah mashdar dari kata jaahada fi sabilillah (bersungguh-sungguh di jalan Allah). Adapun secara syar’iy, jihaad bermakna al-du’aa` ila al-diin al-haqq wa qataala man lam yuqabbiluhujihaad dengan badzlu al-wus’iy fi al-qitaal fi sabiilillah mubasyaratan au mu’awanatan bi maal au ra’y au taktsiir yakhlu dzaalik (mencurahkan segenap tenaga di dalam perang di jalan Allah baik secara langsung atau memberikan bantuan yang berujud pendapat, harta, maupun akomodasi perang. (seruan menuju agama haq (Islam) dan memerangi orang yang tidak mau menerimanya). Sedangkan Ibnu Kamal mendefinisikan

Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy, dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’, menyatakan; secara literal, jihaad bermakna badzlu al-juhdi (dengan jim didlammah; yang artinya al-wus’u wa al-thaaqah (usaha dan tenaga) mencurahkan segenap usaha dan tenaga); atau ia adalah bentuk mubalaghah (hiperbolis) dari tenaga yang dicurahkan dalam suatu pekerjaan. Sedangkan menurut ‘uruf syara’ , kata jihaad digunakan untuk menggambarkan pencurahan usaha dan tenaga dalam perang di jalan Allah swt, baik dengan jiwa, harta, lisan (pendapat).

Abu al-Hasan al-Malikiy, dalam buku Kifaayat al-Thaalib, menuturkan; menurut pengertian bahasa, jihaad diambil dari kata al-jahd yang bermakna al-ta’ab wa al-masyaqqah (kesukaran dan kesulitan). Sedangkan menurut istilah, jihaad adalah berperangnya seorang Muslim yang bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah, atau hadir untuk memenuhi panggilan jihaad, atau terjun di tempat jihaad; dan ia memiliki sejumlah kewajiban yang wajib dipenuhi, yakni taat kepada imam, meninggalkan ghulul, menjaga keamanan, teguh dan tidak melarikan diri.

Imam Zarqaniy, di dalam kitab Syarah al-Zarqaniy menyatakan; makna asal dari kata jihaad (dengan huruf jim dikasrah) adalah al-masyaqqah (kesulitan). Jika dinyatakan jahadtu jihaadan, artinya adalah balaghtu al-masyaqqah (saya telah sampai pada taraf kesulitan). Sedangkan menurut pengertian syar’iy, jihaad bermakna badzlu al-juhdi fi qitaal al-kufaar (mencurahkan tenaga untuk memerangi kaum kufar).

[2] Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.

Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya.

Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut.

Menurut Black’s Law Dictionary, Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. mempengaruhi kebijakan pemerintah. c. mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan . Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain.

Menurut Webster’s New World College Dictionary (1996), definisi Terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate[6].” Doktrin membedakan Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen kekerasan atau tujuan politik (teror/intended audience).

Definisi akademis tentang Terorisme tidak dapat diselaraskan menjadi definisi yuridis. Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak act yang menyebut kata terrorism atau terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar definisi tentang Terorisme, baik secara akademis maupun yuridis. Sejauh ini, Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang berhubungan dengan Terorisme yaitu:

a. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (“Tokyo Convention”, 1963).

b. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague Convention”, 1970).

c. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (“Montreal Convention”, 1971).

d. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protecred Persons, 1973.

e. International Convention Against the Taking og Hostages (“Hostages Convention”, 1979).

f. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials Convention”, 1980).

g. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988.

h. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, 1988.

i. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, 1988.

j. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, 1991.

k. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997, United Nations General Assembly Resolution). International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.

Definisi yang dikemukakan oleh beberapa lembaga maupun penulis, antara lain:

Menurut Brian Jenkins, Terrorism is the use or threatened use of force designed to bring about political change. Menurut Walter Laqueur, Terrorism consitutes the illegitimate use of force to achieve a political objective when innocent people are targeted. Menurut James M. Poland. Terrorism is the premeditated, deliberate, systematic murder, mayhem and threatening of the innocent to create fear and intimidation, in order to gain a political or tactical advantage, usually to influence audience. Menurut Vice President’s Task Force, 1986. Terrorism is the unlawful use or threat of violence against persons or property to further political or social objectives. It is usually intended to intimidate or coerce a government, individuals or groups, or to modify their behavior or politics. Menurut US Central Intelligence Agency (CIA). Terorisme Internasional adalah Terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing . Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI). Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik . Menurut The U.S. by the Code of Federal Regulations, Terorisme adalah: "..the unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives." (28 C.F.R. Section 0.85) .

Academic Consensus Definition (1988) “Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby in contrast to assassination the direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threat and violence based communication processes between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience (s)), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought” (Schmid) . Tiga unsur definisi diatas, yaitu motif politik, rencana atau niat dan penggunaan kekerasan.

Selanjutnya menurut US Departements of State and Defense. Terorisme adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara . Menurut States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism. Terorisme meliputi:

a. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Hague, 16 Desember 1970.

b. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Montreal, 23 September 1970.

c. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-Orang yang secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-Agen Diplomatik”, ditandatangai di New York, 14 Desember 1973.

d. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negara-negara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan anggotanya untuk menuntut atau melakukan ekstradisi.

e. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta milik.

Menurut The Arab Convention on the Suppression of Terrorism, senada dengan Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional. Disebut juga bahwa tindak pidana terorisme adalah tindakan kejahatan dalam rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak atau melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya yang diancam hukuman dengan hukuman domestik. Tindak kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi sebagai berikut, kecuali yang belum diratifikasi oleh negara-negara yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan tersebut dikecualikan oleh perundang-undangan mereka. Juga dianggap sebagai tindak kejahatan teroris, adalah tindakan yang melanggar antara lain ke 12 konvensi multilateral yang telah disebutkan diatas.

Menurut Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan illegal yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau menteror penduduk dan mengambil bentuk:

a. Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum.

b. Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain.

c. Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat.

d. Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut.

e. Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara internasional.

f. Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme.

Menurut Konvensi ini, bahwa perjuangan dengan cara apapun juga untuk melawan pendudukan dan agresi asing untuk kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri, seduai dengan asas-asas hukum internasional, tidak merupakan Tindak Pidana Terorisme .

Menurut Organisation of African Unity (OAU), 1999. Tindakan teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana “negara anggota” dan bisa membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan atau menyebabkan luka serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau sekelompok orang, atau menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta, sumber alam atau lingkungan atau warisan budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau dimaksudkan untuk: mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan, atau mempengaruhi pemerintah, badan, institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat untuk melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan atau untuk mengadopsi atau meninggalkan pendirian tertentu atau untuk bertindak menurut prinsip-prinsip tertentu, atau mengganggu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial kepada publik atau untuk menciptakan darurat publik, atau menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara. Promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan, dorongan, usaha, ancaman, konspirasi, pengorganisasian atau perekrutan seseorang dengan niat untuk melakukan tindakan yang disebutkan di atas.

Sebagaimana The Arab Convention on the Suppression of Terrorism 1998 dan Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999, menurut Konvensi ini, perjuangan bersenjata melawan penduduk, agresi, kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dianggap sebagai kejahatan Terorisme .

Menurut Terrorism Act 2000, UK. Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut: aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan risiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik. Atau penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu publik. Dan penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi. Serta penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi 1) yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak.

Menurut European Convention on the Suppression of Terrorism, 1977.

a. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Pesawat Terbang, ditandatangani di Hague, Desember 1970.

b. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Montreal 23 September 1971.

c. Kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik dan kehidupan atau kebebasan orang-orang yang dilindungi secara internasional, termasuk agen-agen diplomatic.

d. Kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau penahanan berat yang tidak sah.

e. Kejahatan yang melibatkan penggunaan bom, granat, roket, senjata otomatis, atau surat atau paket bom jika penggunaannya membahayakan orang lain.

f. Usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseornag yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut.

g. Kejahatan serius yang melibatkan tindakan kekerasan, selain dari yang tercakup dalam poin 1 sampai 6 jika tindakan tersebut menimbulkan bahaya kolektif bagi orang lain.

h. Usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut.

Menurut konvensi ini, percobaan melakukan Terorisme disamakan dengan delik selesai dan pembantuan disamakan kualifikasinya dengan si pelaku . Menurut Muhammad Mustofa. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal . Menurut Charles Kegley dan Eugene Witkoff (The Global Agendas Issues and Perspectives), mengemukakan sebanyak 109 definisi tentang terorisme, namun para ahli setuju bahwa Terorisme adalah suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban sebanyak-banyaknya secara tidak beraturan. Menurut Conway Henderson (International Relations Cobflict and Cooperaion at the turn of 21th Century), menyatakan bahwa: Terorisme adalah suatu aksi kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau jaringan, dimaksudkan untuk menciptakan suasana atau keadaan berbahaya serta penuh ketakutan dan bisa muncul tanpa motif apapun .

Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas . Menurut US Department of Defense tahun 1990, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengan-dung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau ideologi . Menurut Hukum Amerika Serikat, rumusan terorisme dalam United States Code, Section 2656f(d): premeditated, politically motivated violence perpetuated against noncombatant targets, usually intended to influence an audience.

Definisi ini memberi tekanan pada motivasi politik, namun mengenai sasaran Terorisme, hanya memperhatikan sasaran sipil .

Menurut TNI - AD, berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror tahun 2000, terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan. Menurut A.C Manullang. Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme .

Menurut The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, Pasal 14 ayat 1 sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.”

Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Kegiatan Terorisme dilakukan umumnya dengan sasaran acak, bukan langsung kepada lawan, sehingga dengan dilakukan teror tersebut, diharapkan akan didapatkan perhatian dari pihak yang dituju.

Menurut Laqueur (1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme, menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam Terorisme sangant bervariasi, karena selain bermotif politis, Terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama .

Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika: Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6). Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).

Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

a. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.

b. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.

c. Menggunakan kekerasan.

d. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.

e. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.