Sunday, February 24, 2013

LOGIKA



( Di Tinjau dari Aspek Kawasan Filsafat dan Peranannya )

A.  Pendahuluan
Manusia hidup di atas bumi ini semua memiki akal[1], dengan akal pada hakekadnya manusia bisa membedakan anatara yang salah dan yang benar, itu idialnya dan itu juga yang menjadi tolak ukur manusia hidup.  Manusia secara khusus bisa disebut manusia jika mampu mempergunakan akalnya secara baik, benar dan bermanfaat.  Bagi manusia yang mempergunakan akalnya dengan sebaliknya tidak layak disebut manusia.  Oleh karena itu, supaya disebut manusia yang sebenarnya fungsikan akalnya untuk menalar kehidupan ini, agar benar-benar hidup dan sejalan dengan fitrahnya dalam perkembangan zaman ini. 
            Orang yang mempergunakan akalnya untuk berfikir dengan kritis[2], logis[3] sistematis[4] dan radikal[5] disebut orang yang berfikir filsafat[6].  Orang yang mampu berfikir secara filsafat, dia akan menemukan sebuah hakekat sebuah kebenaran[7]
            Suatau kebenaran dianggap benar oleh akal apabila dalam proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu.  Cara penarikan kesimpulan tersebut dinamakan logika. [8] Jadi logika merupakan metode berpikir untuk mencapai kebenaran.
            Oleh karena ini, berdasarkan beberapa keterangan dia atas, dapat dirumuskan beberapa masalah, di antaranya: 
1.      Betulkah logika murupakan bagian dan memiliki kedudukan penting dari filsafat ?
2.      Seberapa penting kedudukan logika  dalam kehidupan ilmu pengetahuan ?
            Dalam pembahasan ini, yang terangkum dari pokok bahasan sebagaimana tergambar di atas, diharapkan mampu membuat rumusan baru untuk membuktikan kebenaran lagika dalam filsafat, serta mampu medudukkan logika sebagai referensi penting dalam pemikiran filsafat.
            Dengan logika agar umat manusia mampu mendudukkan porsi logika dalam setiap melaksanakan kehidupannya, baik bersifat mikro maupun makro, supaya tercapai hajad hidup yang mereka cita-citakan, serta mampu memberikan konstribusi pemikiran kepada masyarakat yang lain agar tercipta kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia.

B.  Definisi Logika
Logika menurut bahasa Inggris disebut logic, Latin logica, Yunani logike atau lagikos (apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis, dapat dimengerti). [9] 
Teori mengenai syarat-syarat penalaran yang. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Alexander dari Aphrodisios pada abad ke 2 M.  tulisan-tulisan Aristoteles mengenai logika disebut Organon, atau instrument ilmu.  Penalaran bertolak dari satu atau lebih pernyataan yang disebut kesimpulan.  Bila kesimpulan berasal dari premis-premis secara niscaya, prose situ disebut deduksi (penalaran deduktif), logika deduktif.  Bila kesimpulan berasal dari premis-premis dengan derajat kemungkinan, proses itu disebut induksi (penalaran deduktif), logika deduktif. [10] 
Studi tentang aturan-aturan mengenai penalaran yang tepat, serta bentuk dan pola pemikiran masuk akal atau sah (valid ; sahih) logika juga dipandang sebagai studi dan penerapan aturan-aturan penarikan kesimpulan pada argument atau system pemikiran. [11]
Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjaabkan.  Karena itu, berpikir logos adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari pada satu.[12]

C.     Sejarah Perkembangan Logika
Perkembangan logika meliputi waktu 2500 tahun di barat dan sekitar itu pula di timur.  Di sini kita menggunakan pendekatan histories dan analisis.  Sejarah logika di Barat mulai dari yunani, logika bisa dikatakan berakar pada pembuktian-pembuktian geometri kaum Pythagorean, dialektika, Zeno dari Elea atau dialektika Plato.  Categories, Topics, On Interpretation, Prior Analytics, dan Posterior Analytics dari Aristoteles mengembangkan analisis proposisi-proposisi, interelasinya, kuantifikasinya, dan pengunaan dalam penalaran.  Meskipun beberapa inferensi jenis lain dikaji, puncak analisis Aristoteles adalah silogisme, dan leluasaan pengetahuan berkaitan agak erat dengan pencarian term-term tengah.
Bersamaan dengan perkembangan logika di Yunani, berkembang pula aliran logika Nyaya di India.  Silogisme Nyaya menuntut lima proposisi dan bukan tiga.  Aliran ini menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan klasifikasi kekeliruan-kekeliuran.  Kurun waktu perkembangan logika ini dalam banyak hal sejajar dengan perkembangan logika Aristoteles.
Madhab Peripatetik terus mengembangkan lagika Aristoteles. Madhab ini bersaing dengan madhab logika Megarion-Stoa.  Tradisi yang disebut terakhir ini, mungkin hubungannya dengan dialektika Zeno dari Elea, menaruh minat pada pengembangan sesuatu yang mirib dengan kalkulus proposisional.  Dengan berkonsentrasi “jika…maka” dan “atau….atau”, para anggota madhab Megarion-Stoa menggarap bentuk-bentuk penalaran yang sahih untuk hubungan-hubungan ini. [13]
Saingan lain dari madhab Peripatetik ialah logika Epikurean.  Menurut logika ini, semua koneksi lagis berawal secara empiris, dan dengan demikian berdasarkan induksi atau analogi.
Daya hidup aliran-aliran logika utama berlanjut terus sampai abad pertengahan.  Tulisan-tulisan Cicerio, Galen, Sextus Empiricus, Alexander dari Aprodisius, dan Porphyry merupakan bukti kenyataan ini.  Boethius kadang menyinggung kontroversi-kontroversi logis antara kaum Stoa dan kaum Aristotelian, sambil terus berpihak pada Aristoteles.  Adalah spekulasi Boethius tentang cara eksistensi spesies dan genus yang mewarnai diskusi tentang universalia (konsep-konsep universal) abad pertengahan.
Alcuin, John Scatus Erigena, dan Abelardus semua mempunyai hubungan dengan logika antara abad-8 dan ke-12 M.  Abelardus paling terkenal dari kelompok ini.  Ia menyusun empat risalah tentang logika.  Ia memandang verba “adalah” sebagai kopula setiap proposisi ketegoris (walaupun bukan dia yang pertama kali berpendapat demikian), dan beranggapan bahwa kopula prediket eksistensi.  Ia menyatakan bahwa suatu proposisi kategoris afirmatif baru berlaku bila gatra pangkal dan gatra sebutan mengantikan hal-hal sang sama, yang mengarah pada teori suppositio terminonorum.  Dia bergumul dengan problem negasi modalitas.[1]   Dia mengupas argumen yang menyangkut paradoks-paradoks implikasi dengan anggapan bahwa anteseden suatu pernyataan kondisional yang berarti mesti menuntut konsekuen yang sudah ada secara intrinsic, supaya menyingkirkan kebenaran pernyataan-pernyataan kondisional seperti “jika Socrates batu, maka ia seekor keledai.” Ke dalam kaidah-kaidah argumen yang sah ia memasukkan versi-versi awal modus ponendo ponens dan modus tollendo tollens, transivitas, negasi, dan interelasi pernyataan-pernyataan modal. Ia meninggalkan pandangan logikawan Stoa bahwa disjungsi harus ditafsirkan dengan tajam. [14]
Avicenna membedakan tanda-tanda alamiah pertama dari paham-paham abstrak pengertian kedua, dengan menganggap logika berurusan dengan tanda-tanda pengertian kedua. Ini rupanya merupakan awal diskusi mengenai intensi-intensi pertama dan kedua.
Pada abad ke-13 William dari Sherwood menghasilkan suatu manual logika. Dalam manual ini modus dan figure silogisme yang sah muncul dalam versi mnemonik (jembatan keledai) dengan nama-nama Barbara, Celarent, Cesare Felapton, etc. Dia mengkaji proposisi konjungtif, disjungtif, dan kondisional dengan istilah-istilah yang pada intinya modern. Dan sebuah karya tentang-yentang Syncategoremata, yang menganalisis “dan”, “atau”, “tidak”, “jika”, “setiap”, “kecuali”, “hanya”, dikaitkan dengan dia.
Pada awal yang sama Pertrus dari Spanyol (kemudian menjadi Paus Yohanes XXI) menyusun Summulae Logicales, sebuah buku pegangan logika yang digunakan secara luas pada penghujung Abad Pertengahan, dan hingga abad ke-17. 166 edisi buku teks ini dijelaskan dengan lebih baik oleh pengembangannya terhadap teknik versi-versi mnemonik dari pada analisis-analissnya tentang proposisi, predikabilia, katagori, silogisme, topik, kekeliruan, suposisi, relasi, ampliasi, apelasi, restriksi, dan distribusi. Sudut pandangannya mirip sekali dengan manual logika William dari Sherwood. [15]
Roger Bacon tidak sendirian dalam menekankan pentingnya prosedur-prosedur empiris dan riset eksperimental. Sebelum dia sudah ada Robert Grosseteste.
Raymond Lull pada periode yang swama mengembangkan ide untuk menggabungkan konsep-konsep secara mekanis untuk menyediakan daftar alternatif yang lengkap. Metode ini, yang dinamakan Ars Magna, mempengaruhi perkembangan logika.
William dari Ockham menghasilkan suatu studi sistematis tentang term, proposisi, dan argumen. Pandangan William yang disebut nominalisme berasal dari ajarannya bahwa semua tanda mewakili hal-hal  invidual, kendati beberapa tanda mewaliki  banyak hal individual. Apa yang menurutnya tidak terpercaya ialah keyakinan bahwa ada universalia (hal-hal universal) yang berada di dalam banyak individu sekaligus. Dan meskipun prinsip yang dikenal dengan nama pisau cukur Ockham (yakni : Entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem = entitas-entitas tidak dapat  dilipat gandakan melampaui keniscayaan) tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ockham, prinsip ini jelas tidak ada dalam karyanya yang diterbitkan.
Peter  Ramus melawan pengaruh Aristoteles, dan mencoba mentusun suatu logika jenis lain. Dia sedemikian popular, sehingga para penulis abad ke-17 membagi para logikawan Aristolean, Ramis, dan seni-Ramis.
Novum Organum Francis Bacon, yang diterbitkan tahun 1620, juga ditulis untuk melawan Aristoteles. Tetapi Bacon, tidak seperti Ramus, mempunyai alternatif asli. Dia berpendapat bahwa logika tradisional tidak bisa  menjadi alat untuk penemuan alamiah. Dan ia sendiri berusaha membangun alat seperti ini. Pengaruhnya luar biasa, tetapi tidak seberapa berhasil.
Antoine Arnauld dan Pierre Nicole menghasilkan buku  La Logique ou I’Art de penser. Buku ini menganggap logika sebagai seni mengolah atau mengatur akal seseorang. Dengan menolak baik logika Abad Pertengahan maupun logika Ramus, mereka menerima Aristoteles sebagian. Dalam pilihan antara Aristoteles dan ilmu baru, mereka lebih menyukai yang disebut belakangan. Sikap ini merupakan paduan sikap kesalehan dan perhatian terhadap ilmu modern. Namun sebagai pengikut Descartes pengertian mereka tentang metode ini berasal dari geometri. Induksi, misalnya, dianggap tak dapat diandlkan. Pembedaan mereka antara komprehensi (isi) dan ekstensi (luas) term-term umum sangat terkenal. Komprehensi adalah sehimpunan atribut yang tak bisa dihilangkan tanpa menghancurkan ide tersebut. Ekstensi merupakan sehimpunan hal yang kepadanya ide itu dapat diterapkan. [16]
Dalam semangat Descartes dan Pascal mereka menetapkan delapan kaidah metode: 
1.      Tidak boleh ada istilah yang tidak jelas atau tidak dikenal karena tidak ada definisinya
2.      Gunakan di dalam definisi hanya istilah yang sudah benar-bebar dikenal atau dijelaskan
3.      Gunakan sebagai aksioma-aksioma hanya hal-hal yang sungguh-sungguh eviden
4.      Terima sebagai eviden hanya apa yang mudah dikenal sebagai betul
5.      Buktikan semua proposisi yang tidak jelas dengan cara membuat definisi dulu; yang cocok dengan aksioma-aksioma dan proposisi-proposisi yang sudah dibuktikan
6.      Hilangkan ekuivokasi istilah-istilah dengan definisi-definisi restriktif
7.      Bertitik tolak sedapat mungkin dari yang paling umum dan simple, dari genus ke spesies
8.      bagikan tiap genus ke dalam semua spesiesnya, tiap keseluruhan ke dalam bagian-bagiannya, tiap masalah ke dalam kasus-kasusnya.
Leibniz pantas diakui sebagai logikawan hebat.  Sebab dia memberikan bebererapa penemuan di dalam kancah logika, ia mengatakan beberapa pernyataan yang selanjutnya penulis fahami sebagai berikut :
1.      Seraya menghormati Aristoteles, ia berpendapat bahwa tidak semua argumen dapat dimasukkan alam bentuk silogisme. Penghargaannya terhadap logika subyek-predikat, bagaimanapun juga, mendorongnya untuk menganggap enteng pernyataan-pernataan relasional, dan membangun semacam ontologi substansi-atribut. 
2.      Dia mengganggap ide Ars Combinatoria (“seni penemuan”) lebih funda mental daripada lagika biasa. 
3.      Characteristica Universalis (bahasa Universal), dengan tata bahasa dan aturang prosedurnya yang dibangun secara filosofis membuat orang sanggup bergerak leluasa ke seluruh bidang pengetahua.  
4.      Usaha Leibniz untuk membangun suatu kalkulus universal dimaksudakan untuk memperluas minat yang sudah disebutkan;  memang kalkulus itu masih terpenggal-penggal, akan tetapi  setidaknya suatu upaya sudah dilakukan untuk menghasilkan sebuah matematika abstrak. [17]
Pada abad ke-18 Leonhard Euler membantu mengarahkan perhatian para logikus pada interpretasi luas pernyataan-prnyataan umum. Alternatif ini kembangkan oleh Georgonne pada abad ke-19. Sir William Hamilton pada abad ke-19 memperkenalkan suatu pendekatan terhadap  logika di mana logika maupun subyek dikuantifikasikan. Tetapi modifikasi ini tidak mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting.  John Stuart Mill amat menarik perhatian, karena karyanya System of  Logic bertujuan jelas untuk mengembangkan suatu logika yang cocok dengan tradisi empiris filsafat Inggris. Dia memandang difinisi-definisi sebagia proposisiproposisi identik yang memberi informasi hanya penggunaan bahasa. Dengan demikan ia mendukung pandangan definisi-definisi nominal. Dengan lain pihak dia menganggap semua proposisi sebagai memenuhi pola memenuhi pola subyek-predikat. Namun juga beranggapan bahwa setiap silogisme memperlihatkan petitio principii. [18]
D.     Macam-Macam Logika
Pertama  Logika Deduktif,[19] yaitu:  Usaha sistematis yang berfungsi sebagai berikut :
a.       Untuk merumuskan aturan-aturan penarikan kesimpulan yang konsisten dan lengkap
b.      Untuk menerapkan pada argumen-argumen yang disajikan secara formal
c.       Untuk menentukan apakah kesimpulan-kesimpulannya dapat ditarik secara sah atau tidak sah dari premis-premis.  Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat niscaya dari pernyataan-pernyataan yang lebih dahulu diajukan.  Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang menarik. 
Kedua,  Logika Deontik yaitu: Logika yang berurusan dengan konsep-konsep seperti: kewajiban, permisibilitas dan nonpermisibilitas, keharusan, kepatutan, kelayakan, ke dalam suatu system koheren.  Beberapa prinsip dasarnya:”Jika sesuatu bersifat wajib, sesuatu itu dapat dilakukan.” “Jika sesuatu tidak diperbolehkan, maka itu tidak bersifat wajib.” “Jika sesuatu dibuat karena ia bersifat wajib, maka ia sendiri adalah sesuatu yang bersifat wajib agar hendaknya dilakukan.” “Tidak benar bahwa apa yang bersifat wajib, dilakukan secara niscaya.” “Tidak benar bahwa apa yang dilakukan, dapat diperbolehkan.” “Haruslah demikian, bahwa apa yang bersifat wajib, hendaknya dilakukan.” “Adalah hal sebenarnya bahwa agar sesuatu hal menjadi bersifat wajib, ia harus menjadikan mungkin agar ia dilakukan.”
Ketiga,  Logika Dialektis yaitu[20]:  Logika dialektis merupakan ajaran logika dari materialisme dialektis.  Ia merupakan ilmu tentang hokum-hukum dan bentuk-bentuk refleksi mental terhadap perkembangan dunia objektif.  Ia juga merupakan ilmu tentang hokum-hukum yang mengatur kognisi tentang kebenaran.  Dari sudut ilmu, logika dialektis timbul sebagai bagian dari filsafat Marxis.  Namun, unsure-unsur logika dialektis sudah ada dalam filsafat kuno, khususnya ajaran-ajaran dari Herakleitos, Plato, Aristoteles, dan lain-lain.  Tugas utama logika dialektis ialah meneliti bagaimana cara terbaik mengungkapkan dengan konsep-konsep operasi hokum-hukum dialektika dalam benda-benda, objek-objek, dan seterusnya.  Denagn ini tugas pokok dari logika dialektis bertalian, dengan penelitian terhadap perkembangan kognisi itu sendiri.  Logika dialektis mengidentifikasikan hokum-hukum dan bentuk-bentuk perkembangan pikiran dalam perkembangan kognisi dan praktik social histeris. 
Keempat Logika Formal yaitu:  Logika formal merupakan ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk pemikiran (konsep, putusan, kesimpulan dan pembuktian) berkenaan dengan struktur logisnya, yaitu dengan abstraksi isi konkret dari pikiran-pikiran dan menonjolkan hanya cara-cara umum yang olehnya memungkinkan bagian-bagian dari isi itu berubungan.  Tugas pokok logika formal ialah merumuskan hokum-hukum dan prinsip-prinsip. Ketaatan terhadap hukum-hukum dan prinsip-prinsip ini merupakan suatu syarat untuk mencapai hasil-hasil yang sahih dalam mengejar pengetahuan dengan deduksi. 
Kelima,  Logika Induktif  yaitu[21]:  Logika induktif merupakan usaha  yang berguna sebagai berikut :
a.       Untuk merumuskan aturan-aturan yang memungkinkan pernyataan-pernyataan dapat ditentukan sebagai kuat atau probablel secara empiris
b.      Untuk merumuskan prosedur-prosedur sistematis untuk mengemukakan penarikan-penarikan kesimpulan atau argumen-argumen nondeduktif
c.       Untuk menentukan derajat konfirmasi atau probabilitas bagi kesimpulan yang didasarkan atas derajat konfirmasi atau probabilitas yang mungkin untuk ditentukan bagi premis-premis
d.      Utuk menarik kesimpulan bukan dari pernyataan-pernyataan umum, melainkan dari hal-hal khusus. Kesimpulan hanya bersifat probabilitas berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah diajukan.
Kaum pendukung logika induktif tradisional,[22] misalnya, Mill melihat tugas logika induktif dalam analisis proses-proses mencapai pengetahuan teoretis general dari yang tunggal, yang empiris. Dalam sejarah logika, juga ada konsepsi lain tantang logika induktif, dengan membatasi tugas-tugasnya pada analisis kriteria logis untuk memverifikasi pernyataan-pernyataan ilmiah di dalam kerangkakerja metode hipotetis-eduktif.
Konsepsi ini dirumuskan dalam abad ke-19 orang oleh W. Whawell, seorang ahli logika. Dan konsepsi ini telah tersebar luas dalm logika ilmu modern. Konsepsi ini muncul karena tak memadainya metode-metode induktif untuk mencapai proposisi-proposisi teoretis. Metode-metode induktif menuntut identifikasi isi-pikiran yang baru formasi abstraksi-abstraksi ilmiah yang baru. Kekurangan konsepsi ini terletak pada penolakannya terhadap suatu studi logis yang tidak dibenarkan terhadap proses-proses untuk memperoleh pengetahuan ilmiah pada umumnya, yaitu analisisnya sebagai proses-proses yang niscaya secara social, yang tidak tergantung dari kesadaran individual. Dan konsepsi ini ditentukan oleh isi objektif proses-proses kognitif.[23] 
Logika induktif modern memperluas bidang penerapannya. Ia menguji bukan hanya kesimpulan-kesimpulan dari yang partikular ke yang general, melainkan semua hubungan0hubngan logis pada umumnya. Dan ini dikerjakan manakala nilai-kebenaran dari pengetahuan yang ingin kita verifikasikan tidak dapat dimapankan secara handal berdasarkan pengetahuan yang niali-kebenarannya  kita ketahui. Ini juga dikerjakan manakala kita dapat menentukan apakah kesimpulan ini dikonfirmasikan oleh pengetahuan yang disebutkan terakhir di atas. Dan jika demikian, lalu dipertanyakan, sejauh mana.
Oleh karena itu, salah satu kansep pokok logika induktif adalah derajat konfirmasi. Derajat konfirmasi ini lazimnya ditafsir sebagai probabilitas dari suatu hipotesis dengan pengetahuan empiris yang tersedia. Karenanya, logika induktif menggunakan metode-metode dari teori probabilitas dan diubah  menjadi logika probabilitas. 
Keenam,  Logika Informal yaitu :  Studi tentang penarikan kesimpulan yang didasari beberapa bentuk, di antaranya :
a.       Tidak mengikuti suatu bentuk logis past (dan kalau penarikan kesimpulan mengikuti bentuk logis itu, kebenarannya tidak tergantung pada bentuk semacam ini)
b.      Didasarkan atas arti-arti dan bukan keabsahan bentuk-bentuk yang ada dalam argumen itu
c.       Dapat betul atau tidak betul tergantung pada pertimbangan-pertimbangan (seperti evidensi empiris) yang lain daripada bentuk argumennya. [24] 
Ketujuh,  Logika Kategoris Tradisional yaitu:  Logika ini sering disebut Logika Aristotelian, Logika silogisme katagoris, Logika kelompok-kelompok, studi tentang aturan-aturab dan prosedur-prosedur yang menghubungkan istilah-istilah sebagai subjek dan predikat menuju kesimpulan-kesimpulan yang menyusul secara pasti. [25] 
Kedelapan,  Logika Kombinatorial yaitu:  Logika kombinatorial merupakan suatu aliran dalam logika matematik yang menganalisis konsep-konsep yang diterima tanpa studi lebih lanjut dalam kerngka logika matematik klasik.  Konsep-konsep seperti itu adalah konsep-konsep: variable dan fungsi. 
Kesembilan,  Logika Konstruktif yaitu:  Logika konstruktif merupakan suatu trend dalam logika matematis. Ini dididrikan oleh L. Brouwer, H. Weyl dan A. heyting. Pada dasarnya, ternd ini melarang penerapan kumpulan-kumpulan prinsip yang tidak terbatas yang benar pada kumpulan-kumpulan yang terbatas  (misalnya, dalil bahwa keseluruhan lebih besar dari pada suatu bagian. Lihat juga Hukum Tiada Jalan Tengah.)  Logika klasik dan logika konstruktif mempertahankan pandangan-pandangan yang berbeda atas konsep ketidakterbatasan. Yang pertama menganggap ketidakterbatasan bersifay aktual, sempurna. Sedangkan yang kedua melihatnya sebagai potensial, dalam keadaan menjadi. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip logika konstruktif, usaha-usaha dilakukan untuk merevisi hasil-hasil pokok logika mayematis dan matematyika modern. Sumbangan besar bagi perkembangan logika konstruktif telah dilakukan oleh para sarjana Soviet: A. N. Kolmogorow, A. A Markov, dan N. A. Shanin. [26] 
Kesepuluh, Logika Matematis atau Simbolis yaitu:  Logika matematis tampaknya merupakan hasil penerapan metode-metode matematika yang formal dalam bidang logika, penelitian logis terhadap penalaran dan bukti matematis. Logika matematis meneliti proses-proses logis melalui refleksinya dalam bahasa-bahasa yang diformalisasikan, atau kalkulus-kalkulus logis. 
Di samping studinya tentang struktur kalkulus-kalkulus logis yang formal logika matematis juga memeriksa hubungan antara kalkulus-kalkulus dan hubungan bidang-bidang substantif yang berguna sebagai interpretasi-interpretasi dan model-modelnya. Tugas ini menggambarkan problem-problem semantika logis. Sintaksis dan semantika logis termasuk metalogika.  Metalogika  merupakan teori tentang cara-cara penggambaran, premis-premis dan cir-ciri kalkalus logis. 
Logika matematis (atau logika logika simbolis) dapat ditafsirka secara sempit maupun secara luas.  Dalam arti sempit, ia mencakup kalkulusproposisionaldan kalkulus predikat. Dalam arti luas,yang kadang-kadang disebut “logistika” ia mencakup aneka-ragam system yang berhubungan. Masing-masing arti ini memerlukan penjelasan lebih lanjut.  Secara dangkal, ciri khas logika matematis (simbolis) ialah penggunaan notasi simbolis yang menyerupai aljabar. Secara lebih mendalam, ciri khasnya ialah struktur aksiomatiknya yang keabsahannya formal semata-mata. Yaitu, kesahihan itu tidak tergantung pada isi di mana hal itu bisa diterapkan. [27]
Logika, dalam arti formal ini tidak dapat dianggap sebagai aturan-aturan penalaran, kendati ia mudah digunakan sebagai alat penalaran. Kendati logika formal sebagiannya dimulai oleh Leibnizdan lain-lain, namun, sebenarnya perkembangan logika matematis mulai dengan karya A. de Morgan  (1806-1871), yang mendasarkan logika  pada inklusi kelimpok; dan G. Boole (1815-1864), yang mencoba menjadikan logika sebagai bagian dari matematika.
Tokoh-tokoh yang sangat penting dalam perkembangan logika kontemporer ialah:
1.      G. Frege (1848-1925) yang memperkenalkan kuantifikasidan formalisasi logika
2.      Whitehead dan B.Russel yang dalam Principia Mathematica, karya monumentalnya (1910-1913) berupaya mengasalkan semuamatematika dari logika itu sendiri
3.      K. Goedel, yang menetapkan batas-batas melekaqt yang pas bagi system luas mana saja. Logika formal yang lahir dari upaya-upaya ini dapat paling baik dipahami dalam kaitan dengan tingkat-tingkat.
Tingkat yang paling rendah ialah kalkulus proposisional (sentensial). Di sini, proposisi-proposisi diperlakukan sebagai unit-unit (satuan-satuan) yang tidak dapat direduksi lagi. Relasi-relasiyang mungkin ada antara proposisi-proposisi disistematisasi menurut kata-sambung logis, misalnya, “bukan”, tidak”, “dan”, “atau”,dan “berarti”.
Kata-kata sambung ini semata-mata bergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi tersebut, dan pada maknanya. Formalisasi tipikal logika ini mendalilkan tiga aksioma dan satu aturan penarikan kesimpulan yang memungkinkan seseorang bisa memperoleh semua kebenaran logis yang cocok dengan kombinasi proposisi yang mengandung fungsi kebenaran.
Kebenaran-kebenaran ini, yang dipandang dari dalam sistem tersebut, merupakan tautologi-tautologi. Hal-hal itu tidak memberikan informasi faktual tetapi bisa berfungsi sebagai sarana-sarana yang sah bagi kesimpulan. Perluasan longgar dari sistemini, yang didasarkan pada introduksi aksioma-aksioma lebih lanjut, menghasilkan kembali struktur formal logika Aristoteles.
Kalkulus predikat mengandaikan kalkulus proposisional tetapi menambahkan ide kuantifikasi. Itu berarti, kalkulus predikat dapat memperlakukan proposisi sebagai satuan yang rumit yang mempertalikan predikat pada subjek. Kalkulus predikat dikualifikasi dengan beberapa “beberapa” atau “semua”. Sistem ini dapat juga dikembangkan sedemikian rupa sehingga komplit dan konsisten.
Tahap perkembangan lebihlanjut, suatu tahap yang diperlukan untuk deduksi matematis memerlukan urutan kuantifikasi yang lebih tinggi. Ini melibatkan predikat dari predikat (atau kelas dari kelas-kelas) maupun predikat urutan pertama yang diterapkan pada subjek-subjek.Logika yang diperluas ini tidak dapat dikembangkan sekian rupa sehingga lengkap maupun konsisten.
Logika dalam arti lebih luas, yang kadang-kadang disebut “logistik”, mencakup perluasan logika klasik yang diringkaskan diatas maupun logika non-klasik. Perluasan logika yang sangat penting (semiotika) memperlakukan logika formal sebagai bahasa objek yang dibicarakan dalam pelbagai metabahasa.
Kalau bahasa objek dianggap sebagai serangkaian tanda yang tidak ditafsirkan, seorang bisa mengintrodusir tiga hal ini. [28]  
1.      Metabahasa sintaksis, menentukan aturan untuk merangkaian, membentuk dan mengubah tanda-tanda ini.  
2.      Metabahasa semantik, membicarakanarti dan penafsiran dari tanda-tanda ini.
3.      Metabahasa pragmatik, mencakup subjek yang menggunakan logika dan membicarakan pertanyaan-prtanyaan seperti itu sebagai bermanfaat dan dapat diterima. Seringkali ada pendapat- dan seringkali diperdebatkan- bahwa bahasa sehari-hari berfungsi  sebagai bahasa metabahasa tertinggi dalam menafsirkan logika formal.
Logika non-klasik mencakup baik sistem-sistem yang tidak berkesesuaian dengan beberapa dalil logika klasik maupun system-sistem yang berupaya memperluas teknik-teknik logika pada bidang-bidang baru. Yang terpenting di antaranya ada tiga hal, yaitu :
1.      Logika jamak-nilai (banyak-nilai). Ia menggantikan logika klasik yang atau “benar” atau  “salah” dengan tiga nilai atau lebih.
2.      Logika modal. Ia mencoba merumuskan logika yang cocok dengan proposisi-proposisi yang bersifat “niscaya” atau “mungkin”.
3.      Logika deotik. Ia mencoba merumuskan logika kewajiban, misalnya, dalam etika.
Keabsahan dari setiap system ini sudah diperdebatkan. Kendati peranan logika dalam penjelasan seringkali terlampau ditekankan, misalnya oleh kaum positivis logis, namun terhadap bbeberapa fakta berikut ini tidak terdapat keraguan rasional. Pertama, logika kontemporer, menyajikan kemajuan tersendiri bila dibandingkan dengan logika apa pun yang mendahuluinyan. Kedua, logika modern menyediakan perangkat yang berharga, seringkali sangat diperlukan bagi perkembangan sistem-sistem formal dari pemikiran. Dan ketiga, rumusun-rumusan teknis logika modern berfungsi menjelaskan banyak masalah filosofis. [29]
Hasil-hasil gemilang yang menentukan keadaan logika matematis sekarang ini diperoleh pada tahun 1930-an oleh goedel,Tarski, dan A. Churh. Pada masa sekarang logika matematis meneliti beranekajenis kakulus logis. Dan ia menaruh minat kepada problem-problem semantis dan metalogika pada umumnya. Logika matematis memberikan pengaruh besar pada matematika kontemporer. Ia diterapkan dalam rekayasa elektris (studi tentang kontak-kontak relay dan sistem-sistem elektronik ); dalam komputer-komputer (pemrograman); dalam kibernetika (teori tentang alat-alat otomatis); dalam neurofisiologi, dan linguistik (linguistik dansemiotika structural) modern berfungsi menjelaskan banyak masalah filosofis. 
Kesebelas, Logika Modal yaitu:  Logika modal merupakan suatu system logika. Ia mempelajari struktur proposisi-proposisi yang memuat modalitas-modalitas seperti “keniscayaan, kenyataan, kemungkinan,kebetulan”, dan negasi-negasinya. Usaha-usaha untuk membangun logika modal dikerjakan oleh Aristoteles, kaum Stoa, kaum Skolastik. Mereka merumuskan sejumlah definisi dan prinsipnya yang penting. Studi tentang modalitas-modalitas dengan mempergunakan logika matematis (sisbolis) dirintis oleh C. Lewis dan Lukasiewicz.  Sebagian prinsip dasarnya sebagai berikut : 
a.       Jika sesuatu itu niscaya, maka ia harus menjadi mungkin.” 
b.      “Jika sesuatu itu niscaya, maka ia tidak mustahil.” 
c.       Jika sesuatu itu mustahil, maka ia secara niscaya tidak betul (salah).” 
d.      “Jika sesuatu secara niscaya tidak betul, maka ia mustahil.”
e.       “Jika sesuatu diniscayakan oleh sesuatu yang secara niscaya betul, maka ia sendiri betul secara niscaya.” 
f.        “Apa yang niscaya sungguh-sungguh aktual maupun sungguh-sungguh mungkin.” 
Keduabelas,  Logika Probabilitas yaitu:  Logika probabilitas merupakan logika yang mempelajari pernyataan-pernyataan yang bersifat probabilistik. Dan tidak menjadi soal entah probabilitas itu dianggap sebagai suatu ciri dari suatu pernyataan individual  (dalam hal ini probabilitas diatributkan pada pernyataan individual itu sebagai suatu hal yang ada antara kebenaran dan kekeliruan) atau sebagai suatu penilaian terhadap hubungan antara sepasang pernyataan dua-digit (pernyataan dengan nilai kebenaran antara 0 dan 1 ) yang biasa.
Berbeda dari teori probabilitas, logika probabilitas tidak menuntut agar probabilitas diungkapkan dengan suatu angka yang persis. Kerangka logis yang dibangun atas dasar nilai ini digunakan untuk mencapai suatu putusan yang tepat mengenai hipotesis bukan dengan membandingkannya dengan kenyataan melainkan melalui pernyataan-pernyataan lain yang mengungkapkan pengetahuan yang tersedia.  Maka kita dapat menilai derajat probabilitas hipotesis “Besok hari akan hujan”  berdasarkan kesesuaian dengan ramalan cuaca.
Karena itu probabilitas suatu hipotesis merupakan fungsi dari dua argumen: hipotesis itu sendiri dan informasi yang tersedia. Probabilitas dari hipotesis-hipotesisi yang kompleks, apabila probabiliatas-probabilitas dari semua pernyataan yang termuat di dalamnya diketahui, dikalkulasikan dalam semua system logika probabilitas seturut aturan-aturan kakulasi probabilitas matematis. Karenanya, logika probabilitas merupakan salah satu interpretasi  terhadap kalkulasi ini. [30]   
Tampaknya penerapan yang paling berhasil dari logika  probabilitas terdapat dalam logika induktif. Referensi-referensi bagi logika probabilitas di buat oleh Aristoteles dan kaum skeptis dalam zaman kuno. Tetapi Leibniz merupakan filsuf pertama yang mempunyai gagasan serius tentang pokok ini. Pemisahan logika probabilitas dari teori probabilitas mulai pada pertengahan abad ke-19, manakala perhatian terhadap yang kedua dipusatkan pada peristiwa-peristiwa.   
Ketigabelas,  Logika Simbolik yaitu:  Logika yang disajikan dalam simbolisasi abstrak yang terdiri dari unsur-unsur yang didefinisikan dengan baik seperti: simbol-simbol, tanda-tanda, kata-kata sambung, aturan-aturan penggabungan symbol,  aturan-aturan substitusi, aturan-aturan penarikan kesimpulan (inferensi) dan aturan-aturan derivasi (mencari asal-usul kata).[31]






E.  Kesimpulan
            Logika merupakan komponen pemikiran dan premis-presis bagian dari kawasan filsafat, sebab banyak orang berkata berpikir dengan lagika adalah berfilsafat, baik disadari (dikenal) maupun tidak disadarai.  Kemampuan logika di dalam menyususn pola pemikiran filsafat merupakan suatu hal yang sudah lazim (limrah), karena jika orang tidak mampu berpikir secara logic mustahil dia mampu merumuskan pola pemikiran filsafat.  Jadi logika merupakan bagian dari filsafat.
            Logika di dalam masyarakat umum kurang dikenal pola premisnya, akan tetapi metode logika banyak kita jumpai di masyarakat umum.  Masyarakat pada umumnya memang menggunakan pola logika tradisional ( pola pemikiran warisan), akan tetapi tidak sedikit masyarakat awam menggunakan pola logika modern.  Sebagaimana telah disinggung di atas tentang keragaman logika jika kita telaah di masyarakat banyak digunakan, waulaupun tidak secara maksimal sebab masyarakat umum (awam) tidak mengenal pola pemikiran yang sistematis, mereka hanya berpikir prakmatis.  Pola memikiran logika secara umum hanya digunakan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi.  Jadi, logika secara umum merupakan bagian dari pola hidup masyarakat untuk mencapai hajat hidup mereka untuk mencapai kesuksesan.






















DAFTAR PUSTAKA



Ali, S.A.,  The Spirit of Islam,  London, Christopher,  1985
Bakhtiar, Amsal,  Filsafat Ilmu, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2007,  cet., ke-5
Bagus,  Lorens,  Kamus Filsafat,  Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002,  cet.   ke-3
Bahesty dan Bahonar,  Philosopi of Islam,  terjemah,  Jakarta: Risalah Masa,  1991,  cet. ke-1
Beerling,  Dkk.,  Inleiding tot de Wetenschapsleer;  Terjemah,  Yogyakarta:  Tiara Wacana Yogya,  1997,  cet. ke-4   
Suriasumantri,  Jujun S.,  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan,  2000,  cet. ke-13
Sudarto,  Metodologi Penelitian filsafat,  Jakarta:  Raja Grafindo Persada,  1997,  cet. ke2
Salim,  Peter,  The Contemporary English-Indonesia  Dictionary,  Jakarta:  Modern English Pres,  1996,  t.cet.
Tafsir,  Ahmad,   Filsafat Umum,  Bandung:  Remaja Rosdakarya,  1998,  cet. ke-6
Yasyin,  Sulchan,  Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,  Surabaya: Amanah,  1997,  cet. ke1
Poerwadarmita, W.S.J.,  Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN, Balai Pustaka, 1983), cet ke-2



[1] Akal yaitu daya upaya, cara melakukan sesuatu, pemikiran untuk memecahkan masalah-daya pikir, ingatan dan sebagainya.  Akal itu menurut filosof terbagi dua, ada akal sehat dan akal budi. Lihat,  Yasyin  Sulchan,  Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,  (Surabaya: Amanah,  1997),  cet. Ke-1, h. 28-30 
[2] Kritis adalah selalu bertanya (banyak bertanya yang tiada batas), bertanya dari berbagai segi dan pandangan secara luas dan menyeluruh serta mendalam.  Lihat, Ahmad Tafsir,  Filsafat Umum,  (Bandung:  Remaja Rosdakarya,  1998),  cet. ke-6,  h. 16
[3]Untuk lebih mengetahui arti logis, lihat penjelasan tentang logika, karena logis merupakan berubahan kata dari logika.  Selanjutnya kata logis adalah argumen deduktif yang secara formal sah dan yang premis-premisnya semuanya benar (secara empiris), dan oleh karena itu konklusinya harus benar juga, dikatakan logis.  Contoh:  Premis pertama,”Semua binatang mati.”  Premis kedua,”Semua anjing binatang.”  Kesimpulan:  “Karena itu, semua anjing mati.”  Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 542
[4]Sistematis adalah berfikir melalui tahapan-tahapan tertentu yang saling berurutan menurut system yang ada.  Lihat, Sulchan Yasyin, Yasyin  Sulchan,  Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,  (Surabaya: Amanah,  1997),  cet. Ke-1, h. 442;  Selanjutnya lihat Ahmad Tafsir,  Filsafat Umum,  (Bandung:  Remaja Rosdakarya,  1998),  cet. ke-6,  h. 17;         Lihat, Beerling dkk.,  Inleiding tot de Wetenschapsleer;    edisi terjemah,       (Yogyakarta:  Tiara Wacana Yogya,  1997),  cet. ke-4,  h. 7
[5]Radikal adalah berfikir secara mendalam sampai akar yang ujung, artinya sampai menyentuh akar persoalannya dan esensinya.  Lihat,  Sudarto,  Metodologi Penelitian filsafat,  (Jakarta:  Raja Grafindo Persada),  1997,  cet. Ke-2,  h. 30
[6]Lihat,  Ibid.,  h. 29-31;  Ahmad Tafsir,  Filsafat Umum,  (Bandung:  Remaja Rosdakarya,  1998),  cet. ke-6.,  h. 8-9
[7]Bahesty dan Bahonar,  Phylosopi of Islam,  terjemah,  (Jakarta:  Risalah Masa,  1991),  cet. ke-1,       h. 40
[8] Jujun S. Suriasumantri,  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  (Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan,  2000),  cet. ke-13,  h. 46
[9] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 542
[10] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 520
[11] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 520
[12] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2007),  cet., ke-5, h. 212
[13] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 541
[14] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 521
[15] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 522
[16] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 5522
[17] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 523
[18] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h. 525
[19] Deduktif (deduksi) adalah suatu cara atau jalan yang dapat dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan bersifat secara khusus (dari umum ke khusus). Lihat, Sudarto,  Metodologi Penelitian filsafat,  (Jakarta:  Raja Grafindo Persada,  1997),  cet. Ke-2, h.58 
[20] Dealektis aladalah jalan memahami kenyataan adalah mengikuti gerakan pikiran atau konsep, dengan pikiran dan konsep yang benar, maka ia akan dibawa ke dalam pikiran sendiri.  Karena mengikuti pikiran dan kenyataan itu maka metode ini disebut dialektis.  Lihat, Sudarto,  Metodologi Penelitian filsafat,  (Jakarta:  Raja Grafindo Persada,  1997),  cet. Ke-2, h. 35
[21] Induktif (induksi) adalah suatu cara atau jalan yang dapat dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan bersifat secara umum (dari khusus ke umum). Lihat, Sudarto,  Metodologi Penelitian filsafat,  (Jakarta:  Raja Grafindo Persada,  1997),  cet. Ke-2, h.57
[22] Induktif tradisional artinya berpikir tanpa memiliki rumus tertentu, hanya menurut tradisi nenek moyang, sehingga hanya warisan pola pemikiran lama. Sudarto,  Metodologi Penelitian filsafat,  (Jakarta:  Raja Grafindo Persada,  1997),  cet. Ke-2, h.28
[23] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet.   ke-3, h.527
[24] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet.   ke-3, h.536
[25] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet.   ke-3, h.536
[26] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet.   ke-3, h. 537
[27] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet.   ke-3, h.538
[28] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet.   ke-3, h.541
[29] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet.   ke-3, h.5539
[30] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet.   ke-3, h.541
[31] Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h.  542;  Pemaparan tentang macam-macam logika, selanjutnya lebih lengkapnya; Lihat, Jujun S. Suriasumantri,  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  (Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan,  2000),  cet. ke-13,  h. 39-46 dan 119-139;  Sudarto,  Metodologi Penelitian filsafat,  (Jakarta:  Raja Grafindo Persada,  1997),  cet. Ke-2, h.31-38, 42-53 dan 57-67.