Wednesday, March 16, 2011

Spiritualitas Dan Kebutuhan Manusia Modern

Spiritualitas Dan Kebutuhan Manusia Modern
By : Asrowi, MA.

A. Pendahuluan
Modernisasi pada umat manusia merupakan suatu perubahan yang biasa disebut masyarakat modern, terlepas apakah mengandung unsur manfaat atau mudhorat. Setiap perubahan di masyarakat saat ini selalu membentuk berbagai warna kehidupan, dan menjadikan manusia harus selalu bersaing di segala bidang, persaingan ini meluas di semua aspek kehidupan umat manusia, baik dari aspek ekonomi, budaya, psikologi, sosial, agama, pendidikan, dan lain sebagainya. Dari aspek-aspek ini mampu mempengaruhi umat manusia menjadi makhluq lain, yaitu masing-masing umat manusia mempertahankan eksistensinya (tidak mau terganggu) di setiap kawasan kehidupannya.
Diera modern atau biasa disebut era globalisasi ini terjadi berbagai tekanan dan konflik di seluruh tatanan kehidupan manusia, semua umat manusia terlibat langsung (actor) dengan keaadaan yang demikian itu tanpa terkecuali. Keadaan yang semrawut (kurang tertata) ini dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk kepentingan sepihak, yang akhirnya timbul permasalahan baru, dengan berbagai permasalahan yang kian menjamur umat manusia memerlukan suatu solusi yang handal, yang mampu dijadikan referensi untuk menselesaikan disetiap permasalahan.
Permasalahan demi permasalaham yang hadir pada umat manusia menyebabkan terjadinya berbagai macam penyakit, baik penyakit dhohir maupun batin. Keadaan yang demikian itu membentuk satu lingkaran kehidupan yang pelik dan saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Situasi seperti ini akan mampu membutakan mata batin manusia (hilang keperdulian antara satu dengan yang lain), sehingga mereka akan melakukan segala hal atau menghalalkan segala cara untu memenuhi hajat hidup dan untuk kesembuhan penyakit mereka masing-masing. Sebelum hal ini terjadi lebih parah tentunya umat manusia perlu apotik universal yang berisi dengan obat-obatan dhohir maupun batin (spiritual) yang sesuai dengan fitrah manusia, dan tidak bertentangan dengan norma-norma serta nilai yang berlaku di masyarakat secara umum.
Tekanan hidup yang dirasakan oleh manusia di era modern ini, jika dibiarkan akan menumbuhkan hilangnya kesadaran manusia akan pentingnya kebersamaan, kerukunan, toleransi, sosial, keselarasan hidup, silaturrahmi, dan lain sebagainya. Tentunya, dalam mengatasi berbagai tekanan hidup ini tidak hanya cukup dengan menyelenggarakan adanya diskusi atau seminar, ceramah, lokakarya, pelatiahan atau yang lainnya. Akan tetapi wajib adanya pembenahan secara langsung yang diawali oleh masing-masing individu secara terkonsep. Sebab dunia atau jagad ini hususnya Indonesia terbentuk dari komponen individu, jadi tekanan yang bersifat kompleks ini harus dibenahi oleh individu pula, dalam arti supaya tidak hanya saling memerintah kepada orang lain tetapi harus memerintah diri sendiri untuk berbenah. Pembenahan yang dilakukan oleh tiap individu ini perlu ada pengawasan (media control) yang dipelopori oleh orang yang merasa cukup siap menjadi pemimpin manusia, baik ditingkat keluarga maupun pemerintahan.
Masyarakat hari ini sedang mengalami sosial drastis, informational, dan perubahan teknologi. Kemajuan revolusioner dalam globalisasi dan teknologi elektronik adalah menjelmakan alam era baru yang menjangkau seluruh komunitas manusia yang saling mempengarui serta dibarengi emosi. Pengembangan dan kemajuan yang meningkat, menuntut pada pribadi secara personal untuk membentuk tujuan global dan hidup masyarakat yang bertarap internasional.
Masyarakat merupakan kumpulan individu-individu yang berkumpul dalam satu tatanan, tentunya setiap individu itu memiliki keragaman cara hidup baik dari berpikir, bekerja, keahlian, agama, status sosial dan lain sebagainya. Kumpulan individu yang selanjutnya dinamakan masyarakat ini pastinya mengahadapi berbagai permasalahan yang cukup komplek dan mendasar. Penyebabnya tentu karena berbagai perbedaan yang timbul sebab adanya keragaman identitas.
Menurut para sosiolog, pada diri masyarakat global dan dalam menghadapi era baru modern (globalisasi) pada umumnya memiliki permasalahan-permasalah yang kompleks, akan tetapi masalah masyarakat yang paling menonjol adalah persoalan social dan agama. Adapun masalah-masalah sosial itu di antaranya sebagai berikut :
1. Kemiskinan
2. Pendidikan
3. Kejahatan
4. Disorganisasi keluarga
5. Generasi muda dalam masyarakat modern
6. Peperangan
7. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat
8. Kependudukan
9. Lingkugan hidup
10. Birokrasi
Permasalahan sosial tersebut secara umum dan mendasar akan mempengaruhi psikologi masyarakat dan akan memiliki efek yang cukup signifikan terhadap perkembangan manusia di muka bumi ini. Dari permasalahan itu pula berbagai perselisihan akan timbul di masyarakat bahkan peperangan antar manusia untuk memperebutkan sebuah keinginan dalam kompetisi di era global ini. Lebih lanjut, permasalahanyang mengkontaminasi masyarakat akan berakibat buruk baik secara jasmani (fisik) maupun psikologi (jiwa) seseorang, yang berujung pada penyakit kronis kejiwaan. Walaupun awalnya terjadinya permasalahan-permasalahan itu disebabkan oleh krisis global yang menjakiti masyarakat secara umum.
Menurut Abdullah Nasihin ‘Ulwan, umat Islam di era modern ini akan menghadapi beberapa permasalahan, yaitu :
1. Tantangan syetan, diri dan hawa Nafsu
2. Tantangan ghazwul fikri
3. Tantangan krisis moral
4. Tantangan pemerintahan sekuler
5. Tantangan pesimisme terhadap amal islam
Wacana modernitas dengan berbagai permasalahan yang timbul pada umat manusia ini, menurut penulis perlu adanya solusi. Menurut sebagaian pakar bahwa spiritualitas merupakan solusi atau sebagai salah satu obat alternatif untuk menyelesaikan permasalahan dan tekanan di era modern ini. Kebenaran pada teori ini perlu adanya pengembangan kajian di sentral pendidikan, sebab dengan adanya pengembangan kajian diharapkan mampu merumuskan konsep baru yang menjadi referensi untuk kebutuhan umat manusia supaya kehidupannya tertata dan sesuai dengan fitrah manusia. Dengan pengembangan kajian ini diharapkan, sesuai dengan harapan bahwa spiritualitas menjadi obat mujarab di era modern, dalam membentuk masyarakat yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.


B. Teori Spiritual
Spiritual bermakna spiritus (roh dan jiwa) sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan, pemujaan kepada ruh, kepercayaan terhadap ruh bisa berhubungan dengan manusia dan yang intinya mengutamakan kerohanian. Ada beberapa pengertian tentang spiritual, di antaranya :
1. Imaterial, bukan jasmani dan terdiri dari ruh
2. Mengacu pada kemampuan-kemampuan lebih tinggi ( mental, intelektual, estetik, relegius ) dan nilai-nilai pikiran
3. Mengacu pada nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial, seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belaskasihan, kejujuran dan kesucian
4. Mengacu ke perasaan dan emosi-emosi relegius dan estetik
Spiritual apabila disebut sebagai spiritualisme memiliki arti sebuah istilah yang berkaitan dengan filosofis dan relegius. Secara filosofis terkadang istilah ini digunakan sebagai sinonim idealisme. Dalam agama adakalanya istilah ini mengacu pada penjelmaan roh. Adapun spiritualisme metafisik memuat beberapa pengertian, yaitu :
1. Pandangan bahwa realitas terakhir yang mendasari (atau landasan realitas) adalah roh atau jiwa dunia yang memiliki muatan :
a. Meresapi alam semesta pada semua tingkat kegiatannya
b. Sebab aktifitas, tata, arah alam semesta
c. Berguna sebagai satu-satunya penjelasan lengkap dan rasional eksistensi alam semesta
2. Pandangan bahwa yang ada hanyalah roh absolute, roh-roh terbatas seperti manusia dan semua merupakan produk roh absolute.
Penggunaan istilah spiritual ini, terdapat pada beberapa bagian, yaitu :
1. Dalam filsafat, spiritualisme merupakan gerakan reaksi melawan positivisme Comte di Perancis abad ke 16. gerakan ini dirintis oleh Victor Cousin bersama Royer Collard.
2. Gerakan yang menaruh minat terhadap hubungan dengan roh-roh orang mati, yang mulai dikenal di Amerika Serikat pada Tahun 1848, pusatnya di Washington D.C. Tahun 1893
3. Gerakan abad ke 20 yang dikenal sebagai spiritualisme Kristen yang berawal dari Gentile, maupun dikenal dengan eksistensialisme relegius.
Ibnu Qoyim memaknai spiritulitas dengan beberapa konsep karakteristik, di antaranya yaitu ; Ubudiyah, adil dan seimbang, berkah, dzikir, jujur, ketenangan dan kebagagian jiwa, ridha, etiket, saling membantu dan melengkapi, optimisme, dan terobsesi dengan akhirat. Hal ini dilakukan dengan tujuan ; Ilmu dan keinginan, Iman, tawakal, tafakur (berpikir), akhlaq terpuji, sabar, enerjik dan serius (memiliki ambisi positif), organizing ( pengaturan dan pendisiplinan waktu), memperhatikan nutrisi jasmani dan rohani, muhasabah (evaluasi), istigfar dan tobat.
Jadi spiritualitas adalah upaya manusia untuk lebih mengutamakan pola pemikirannya pada hal-hal yang bersifat immaterial, yaitu menyusun konsep dan teori baru menuju pada kedamaian hati dan pikiran, sehingga mampu mengontrol kehidupan secara lebih dewasa dan terarah menuju kebahagian dan ketenangan jiwa baik di dunia maupun di akhirat. Mampu melaksanakan kehidupan ini dengan tatatanan kedamaian disertai cinta kasih tanpa ada tedensi materi, memoles jiwa dengan pola keselarasan dengan yang lain. Inilah teori yang penulis pilih


C. Pluralisme dan Spiritulitas
Dari berbagai modernisasi menurut sebagaian kalangan muslim, dianggap merusak berbagai karakter dan pemikiran generasi penurus (pemuda Islam) yang selanjutnya mereka namai sebagai aliran atau faham liberalisme , pluralisme, dan sekuler sebagaian kalangan muslim mengklaim bahwa setiap paham berbau modernisasi yang berbentuk liberal dan plural difatwakan oleh mereka sebagai faham sesat dan menyesatkan.
Istilah pluralisme agama yang baru-baru ini muncul dengan penuh janji akan menjanjikan tentang kedamaian di muka bumi ini, yang mana sering terjadi berbagai gejolak di masyarakat pada umumnya yang disebabkan oleh kekurang tolerannya mereka terhadap perbedaan khususnya perbedaan agama. Dengan pluralisme mereka banyak berharap bahkan dengan dibarengi keyakinan akan mampu mengantarkan masyarakat untuk hidup rukun, damai antar masyarakat yang berbeda-beda suku, ras, agama, keyakinan, status sosial walaupun keadaan masyarakat tersebut majemuk. Dari berbagai gagasan janji pluralisme tersebut, di harapan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang majemuk, dan mampu memjawab berbagai tantangan yang sering mendapat perhatian dari berbagai kalangan moderat.
Permasalahan-permasalahan tentang modernisasi yang cukup mendapatkan perhatian cukup besar adalah issue pluralisme agama, issue ini merupakan fenomena yang hadir di tengah keanekaragaman kebenaran obsolut antar agama yang saling berseberangan. Setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lainnya sesat semuanya. Klaim ini kemudianmelahirkan keyakinan yang biasa disebut doktrin keselamatan (doctrine of salvation), bahkan keselamatan atau pencerahan atau surga merupakan hak para pengikut agama tertentu saja, sedangkan pemeluk gama lainakan celaka dan masuk neraka, sejatinya keyakinan semacam ini, juga berlaku pada penganut antar sekte atau aliran dalam agama yang sama, seperti yang terjadi antara Protestan dan Katolik dalam agama Kristen, antara Mahayana dan Hinayanaatau Theravada pada agama Budha, dan juga antar kelompok Islam yang beragan. Realitas tersebut telah mengantarkan pluralisme kepada diskursus yang semakin luas dan amat komplek.
Issue pluralisme ini sering diletakkan sebagai pemberi andil yang cukup besar, malah faktor utama dalam menciptakan iklim ketegangan atau konflik antar agama yang tidak jarang tampil dengan warna kejam, keras, perang, dan pembunuhan, bahkan pembersihan ras (ethnic dleansing atau genocide). Di satu pihak, teknologi dan komunikasi modern telah menjadikan jagad ini hamper seperti global village. Di pihak lain, bangkit berbagai gerakan dan kelompok agama, telah menambah situasi tegang dan menakutkan, seperti yang kita saksikan antara Kristen dan Islam di Bonia-Herzegovina, Filipina Selatan, Sudan Selatan dan kepulauan Maluku Indonesia. Antara Islam dan Yudaisme di Timur Tengah, Islam dan Hindu di Kashmir, Protestan dan Katholik di Irlandia dan sebagainya.
Fenomena pluralisme agama telah menjadi fakta sosial nyata yang harus di hadapi masyarakat modern. Untuk itu pertama kali dalam sejarahnya manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara, dalam satu wilayah dalam satu kota dan bahkan satu geng atau agama yang sama . fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai seperti Barat, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri.
Dari berbagai gambaran di atas, dari berbagai keragaman agama dan keyakinan timbul berbagai gejolak dan prahara di masyarakat, permaslahan tersebut perlu adanya solusi yang jitu supaya kerukunan dan kehidupan umat manusia bisa tetap berlanglung secara damai.
Selanjutnya, dalam makalah ini penulis tidak membahas pluralisme dari berbagai agama, akan tetapi dibatasi pada fenomena dan pluralisme di dalam agama Islam. Fenomena perbedaan faham dalam islam kerap kali kita jumpai pada masyarakat, yang kemudian menimbulkan perpecahan di kalangan umat islam itu sendiri. Penyebab yang timbul dari perbedaan itu di antaranya, Perbedaan di dalam memahami kandungan Al-Qur’an, hadis Nabi dan perkembangan masyarakat Islam yang ikut berkecimpung di era globalisasi.
Sehingga dari keragaman memahamii Islam itu mencul berbagai gejolak negativ di masyarakat, yang kemudian memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam. Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, sebab bias lebih memperparah keadan umat islam itu sendiri. Misalnya, timbul berbagai tanggapan negative dari beberapa kalangan muslim seputar pemikiran islam, diantaranya setiap ada suatu perbedaan faham tidak segan-segan kelompok muslim satu dengan yang yang lain saling memurtadkan dan mengkafirkan. Hal ini akan sangat mempengarui kehidupan masyarakat Islam secara luas khususnya manyarakat kalangan bawah yang kurang mengeyang pendidikan formal. Padahal umat Islam masih banyak ketinggalan dari berbagai aspek ilmu pengetahuan. Contoh nyata adalah komentar para salafi terhadap khalafi yang sering kali menimbulkan keresahan di masyarakat karena dipandang sebagai pemahaman yang liberal, contoh kasus lain seperti komentar Hartono Ahmad Jaiz terhadap para pembaharu Islam di Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) tidak sedikit masyarakat terhasut yang selanjutnya menimbulkan kebencian dan permusuhan antar umat Islam.
Pada perkembangan masyarakat tentunya akan muncul keragaman hal dan corak hidup seiring tuntutan hidup, hal ini akan banyak melahirkan berbagai permasalahan-permasalahan dan pendapat yang cukup beragam. Setiap masyarakat pastinya memiliki prinsip-prinsip hidup dan keyakinan yang berbeda, keberbedaan inilah yang selanjutnya keharusan adanya pluralisme. Sebab jika setiap perbedaan masyarakat tidak bisa saling mentolelir tentunya timbul hal-hal yang merusak tatanan masyarakat itu sendiri.
Masyarakat Islam adalah bagian dari masyarakat lainnya (non Islam) di jagad ini, walaupun masyarakat Islam memiliki berbagai keistimewaan yang dimiliki, setiap ada hal yang menimpa pada masyarakat manusia tentu akan pula menimpa masyarakat Islam sesuai dengan kadar perbedaannya. Ketika sebuah masyarakat membaur dalam jumlah jutaan manusia dan beribu-ribu sitem serta pemikirannya, niscaya tidak bisa bersifat obyektik mengetahui sebuah kebenaran, apalagi yang berkaitan dengan keyakinan agama. Seiring keterbatasan dan keegoisan yang menguasai diri manusia membuat seseorang tidak mampu lagi memahami suatu kebenaran secara umum dan semakin jauh dari nilai obyektifitas.
Bagi individu atau intitusi tertentu sah-sah saja memegang satu bagian dari kebenaran, namun sangat sulit jika dikatakan mereka mengusai kebenaran. Secara keseluruhan dalam benak mereka hanya akan muncul anggapan bahwa yang lain tidak berhak memiliki kebenaran, oleh sebab itu kebenaran menjadi haknya. Hal ini merupakan suatu pelecehan terhadap masyakat lainnya dan jelas-jelas bertentangan dengan tabiat alami masyarakat. Akhirnya, kejadian itu melahirkan sikap semena-mena terhadap orang lain.
Pluralisme secara alami menampung segala bentuk perbedaan-perbedaan sambil menerimanya. Kenyataan ini harus diyakini sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat, dan mustahil menghindarinya. Masalah ini nampak sebagai sesuatu yang baru bagi orang yang lingkungan dan peradapannya masih primitive, hal ini tentu dirasakan oleh para muslim yang jumud dan lebih mengedepankan fanatik dan azaz tunggal.
Penerimaan terhadap gagasan kesepakatan dan perbedaan dalam masyarakat Islam serta memegang teguh etika pergaulan adalah jaminan tidak tergesernya perbedaan (inti pluralisme, dan dalam perbedaan masih bisa menerima pendapat orang lain. Adapun kemanuggalan atau tunduk pada pendapat satu akan mengancam pluralisme dalam Islam. Walaupun sebagain besar masyarakat Islam masih memegang kebenaran adalah satu, monopoli kebenaran dan yang lain dianggap sesat untuk selama-lamanya.
Nampaknya, untuk membentuk system pluralisme dalam agama Islam, semua pihak harus memelihara etika dalam setiap perbedaan keyakinan agama, dengan menyakini diri sendiri bahwa menerima pendapat dan kebenaran orang lain itu bukanlah sesuatu yang rendah dan buruk justru suatu akhlaq yang terpuji. Selanjutnya, untuk memperjelas penerimaan tentang perbedaan itu, sebagaimana sering mendengar istilah ikhtilaf (berselisih), alangkah indahnya jika dimaknai sebagai rahmad. Sebab perbedaan itu sesuatu yang lazim dan biasa berlaku di bumi yang dihuni jutaan manusia ini dari berbagai suku, ras, dan masyarakat yang multi universal.
Sebagaimana Al-Qur’an mengisyaratkan adanya perbedaan suku dan ras . Al-Qur’an memandang perbedaan warna sebagai keindahan yang terdapat dalam alam semesta ini, Allah menciptakan manusia bersuku supaya mereka saling mengenal bukan untuk saling bermusuhan. Al-Qur’an juga melihat kebenaran yang ada di masyarakat sebagai sesuatu yang tidak harus dihindari, dan kesamaan adalah suatu yang jauh dari kenyataan. Usaha untuk memaksakan suatu keyakinan kepada orang lain adalah mendorong permusuhan dan fanatisme yang akan menjadi racun dalam masyarakat.
Al-Qur’an menyuruh kepada penganutnya supaya menyerahkan urusan perbedaan kepada Allah untuk menilainya besuk di hari Qiyamat. Inilah solusi terbaik yang ditawarkan, untuk bisa menjaga perbedaan dalam koridornya yang lurus dan tidak terjerumus ke dalam medan perpecahan, permusuhan, kebencian dan pertikaian, tak diragukan lagi supaya setiap orang menyerahkan urusannya kepada Allah biar Allah yang menentukan siapa yang paling benar di antara manusia.
Pada prinsip-prinsip kebenaran beragama haruslah didasari dengan nilai-nilai obyektif, sehingga manusia bisa hidup berdampingan satu dengan yang lain dengan penuh kedamaian. Nilai-nilai subtektifitas pada satu indifidu (masyarakat) akan menimbulkan banyak gejala virus perpecahan antar umat manusia di bumi ini.
Islam memandang kebenaran sebagaimana dalam pembahasan di atas tidaklah dangkal, akan tetapi sangat menghargai berbagai perbedaan di dunia ini. Konsep Islam dimasyarakat yang tidak memandang perbedaan sebagai rahmat dan suatu hal yang wajar, merupakan satu konsep yang bertentangan dengan konsep-konsep agama Islam yang benar menurut aturan al-Qur’an dan al-Hadis. Jadi pluralisme rupakan salah satu konsep spiritualitas untuk kebutuhan umat beragama, supaya meminimalisir atau bahkan menghindari dari permasalahan (konflik) yang saat ini sedang melanda negeri Indonesia yang kita cintai ini. Kekacauan yang sering timbul di era modern sekarang terkait dengan agama mampu di cegah dengan konsep pluralisme sebagai spiritulitas beragama.

D. Psikologi dan Spiritulitas
Apa itu psikologi, pendefinisian istilah-istilah ilmiah dan kefilsafatan memberikan jawabannya di antaranya. Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari Yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti "jiwa", dan logos yang berarti "ilmu". jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-geiala kejiwaan.
Begitulah, untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat, psikologi diartikan seperti pengertian tersebut. "Pada masa lampau," demikian kata Paul Mussen dan Mark R. Rosenzwieg dalam buku mereka, Psychology an Introduction, "psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
Sementara ahli memang kurang sependapat bahwa psikologi sama dengan ilmu jiwa walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama. W.A Gerungan adalah salah satu di antara para ahli psikologi yang tidak sependapat. Menurutnya,
1. Ilmu jiwa itu merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan yang dikenal tiap-tiap orang, sehingga kami pun menggunakannya dalam artinya yang luas dan telah lazim dipahami orang. Adapun kata psikologi merupakan istilah ilmu pengetahuan, suatu istilah yang scientific, sehingga kami pergunakan untuk menunjukkan pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah tertentu.
2. Ilmu jiwa kami gunakan dalam arti yang lebih luas daripada istilah psikologi. Ilmu jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, dan juga segala khayalan dan spekulasi mengobati jiwa itu. Psikologi meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syaratnya seperti yang disepakati para sarjana psikologi pada zaman sekarang ini. Istilah ilmu jiwa menunjukkan ilmu jiwa pada umumnya, sedangkan istilah psikologi menunjukkan ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern.
Dari kutipan panjang ini, dapat diambil kesimpulan bahwa apa saja yang disebut ilmu jiwa belum tentu psikologi, sebaliknya apa yang disebut psikologi itu juga termasuk ilmu jiwa.
Tampaknya, para ahli psikologi modern, belakangan ini memang tidak lagi mengartikan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan, sebab apa yang dimaksud dengan jiwa itu tidak ada seorang pun yang tahu persis. Malah, jauh-jauh hari, Thomas Alva Edison (1847-1931) pemah berujar, "My mind is incapable of conceiving such a thing as a soul" (Pikiran saya tidak mampu untuk memahami hal seperti jiwa). Ini disebabkan jiwa yang mengandung arti sangat abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Jadi, amat sukar untuk mengenai jiwa manusia karena sifatnya yang abstrak. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah mengobservasi perilakunya, meskipun perilaku bukan merupakan percerminan jiwa secara keseluruhan.. Plato dapat disebut orang pertama yang memulai studi tentang objek yang lebih khusus ini. la mulai dengan membedakan antara jiwa dan raga sedemikian rupa sehingga orang memperoleh pengertian mengenai adanya konsep dualisme jiwa-raga.
Dalam teorinya tentang "Pengingatan-Kembali", Plato mengapungkan. dua proposisi. Pertama, jiwa sudah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi daripada alam materi. Kedua, pengetahuan rasional tidak lain adalah pengetahuan tentang realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi, yang oleh Plato disebut dengan archetypes.
Plato, dengan dua proposisi di atas, jelas menekankan lebih pentingnya jiwa daripada raga dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, tubuh mempunyai nilai yang lebih rendah dari jiwa. Akan tetapi, jiwa pun bisa rusak juga, dan kerusakan itu berasal dari badan. Muridnya, Aristoteles, mempunyai pendapat yang berbeda dengannya. la melihat manusia dalam kesatuan badan-jiwa. Namun, pandangannya juga mengandaikan adanya badan dan jiwa yang berbeda, walaupun dalam asensinya menolak pandangan yang dualistis.
Menjelang abad modern, dalam kurun pencerahan Eropa Barat, tokoh yang tampil dalam pembahasan dualisme jiwa-badan adalah Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan ungkapan "Cogito Ergo Sum" (saya berpikir, karena itu saya ada).
Konsep-konsep difinisi, metodologi dan pendekatan-pendekatan dalam Psikologi yang telah dirumuskan para ahli bukanlah capaian final. Selalu terkandung cacat-cacat dalam setiap rumusan suatu ilmu, tidak terkecuali Psikologi. Secara sederhana saja dapat dikatakan bahwa karena teori-teori atau aliran-aliran Psikologi lahir dari peradaban Barat, maka kerangka pikir (mode of thought) dan rumusan Psikologi itu pun tak terlepas dari mode of thought masyarakat Barat. Karenanya, sangat mungkin ia mengandung bias-bias ketika kita memakaianya untuk menganalisis atau menerapkannya pada budaya atau masyarakat yang berbeda.
Selanjutnya, untuk akhir-akhir ini umat manusia diperkenalkan kajian teori psikologi modern, yang yang bernama Behaviorisme, Psikoanalisa, Humanistik dan psikologi yang termuda bernama Transpersonal.
Behaviorisme (Aliran Perilaku) yang disponsori oleh Ivan Pavlov (1849-1936), mendasarkan diri pada konsep stimulus respons. Mereka memandang bahwa ketika dilahirkan pada dasamya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan sekitamya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk. Lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik. Pandangan semacam ini memberi penekanan yang sangat besar pada aspek stimulasi lingkungan untuk mengembangkan manusia dan kurang menghargai faktor bakat atau potensi alami manusia. Pandangan ini beranggapan bahwa apa pun jadinya seseorang, maka satu-satunya yang menentukan adalah lingkungannya.
Aliran Psikoanalisa, Psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1893), berpandangan manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan dan memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya adalah komponen yang alami pada manusia sementara superego (hati nurani) terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.
Psikologi Humanistik Aliran yang dipelopori Abraham H. Maslow (1908-1970) dan Carl Ransom Rogers (1902-1987) ini mempunyai pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan bahwa potensi manusia adalah tidak terbatas. Pandangan ini tidak menekankan atau mendewakan masalah kuantitatif, mencoba tidak terpenjara oleh dualisme subyek-obyek, dan mengakui kesamaan antar manusia. Akan tetapi kalau ditelaah lebih lanjut, akan kita temui begitu banyak kejanggalan. Pandangan ini sangat optimistik dan bahkan terlampau optimisti terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-God (peran Tuhan).
Transpersonal merupakan salah satu aliran psikologi dipelopori oleh Anthony Sutich. Menurut Marylin Ferguson dalam buku The Aquarian Conspiracy mengatakan bahwa, Transpersonal lahir dan tumbuh berkembang di tengah-tengah gejolak politik, budaya, dan agama di Amerika pada tahun 1960 dan 1970-an. Gerakan yang menuntut persamaan hak perempuan, kaum homseksual dan lesbian, hal ini melanda daerah Amerika dan Eropa. Psikologi Transpersonal cukup berbeda dengan psikologi-psikologi yang lain, pola pandangan aliran ini memuat ide-ide yaitu; potensi-potensi luhur (the highest potentials) fenomena kesadaran (states of consciousness) manusia, yang meliputi demensi kesatuan mistik, daya-daya batin, meditasi. Intinya aliran ini berusaha menyatukan teori psikologi dan spiritualitas.
Dari berbagai tinjauan secara definisi dan sekilas beberapa uraian aliran-aliran psikologi yang dikembangkan oleh para psikolog, secara garis besar memiliki berbagai bentuk dan obyek kajian, terfokus pada kajian terhadap jiwa manusia (spiritual). Baik secara individu, maupun kelompok masyarakat, agar umat manusia terobati atau bahkan bisa terbebas dari belenggu permasalahan yang kian hari kian bertambah berat.
Ada beberapa permasalah di era modern (globalisasi) ini yang menyebabkan gangguan kejiwaan (psikologi) yang amat sangat membahayakan umat manusia, dan perlu dikendalikan secara terarah, agar sesui dengan umat manusia modern (global). Di antara permasalahan-permasalah yang modern (global) tersebut adalah:

1. Permasalahan Glabalisasi dan Psikologi
Pengaruh globalisasi pada psikologis cukup signifikan, sebagaimana pengujian yang dilakukan oleh beberapa pakar. Terjadinya globalisasi diberbagai daerah dunia, yang kemudian konsekwensi globalisasi cukup berpengaruh pada psikologis, uraian globalisasi terfokus pada isu identitas. Yang secara rinci mereka berargumentasi bahwa kebanyakan orang-orang di seluruh dunia berkembang dari suatu kombinasi kultur dan identitas yang yang berbeda, dari kultur lokal bersinggungan dengan suatu identitas kultur yang global. Identitas yang berbeda itulah melahirkan kebingungan dan meningkatnya emosi antar publik. Kultur barat sebagai hasil globalisasi menjadikan identitas mereka terpelihara yang selanjutnya terus meningkat luas.
Globalisasi telah tumbuh dan hidup berabad-abad sebagai proses perubahan, dimana kultur saling mempengaruhi satu sama lain dan menjadi lebih mirip, hal ini terjadi melalui perdagangan, imigrasi, pertukaran informasi dan munculnya berbagai gagasan-gagasan baru. Bagaimanapun juga di dalam dekade terbaru, derajat dan tingkat intensitas koneksi antar kultur yang berbeda dunia sudah mempercepat kemajuan berbagai sektor secara dramatis, oleh karena itu kemajuan dalam telekomunikasi mengalami suatu peningkatan cepat dan saling ketergantungan misalnya keuangan dan ekonomi di seluruh dunia. Sebagai contoh, barang ekspor sebagai proporsi produk domestik dunia tumbuh dari 8% pada tahun 1950 meningkat menjadi 26% pada tahun 1998 dan perjalanan internasional telah meningkat hinga 700% sejak 1960. Sebagai konsekwensi di tahun terakhir, globalisasi telah menjadi salah satu terminologi untuk menguraikan status dunia yang secara luas paling banyak digunakan.
Globalisasi meliputi suatu isu dan gejala yang memiliki cakupan luas. Di dalam perkembangan buku-buku terbaru pada topik atas, sebagian besar mereka telah terfokus pada ekonomi, didalam buku-buku tentang globalisasi juga telah menunjukan adanya isu-isu lain, globalisasi telah banyak mempengaruhu kehidupan orang-orang kota dan pada praktek budaya. Globalisasi menurut beberapa riset mempunyai implikasi psikologi terhadap masyarakat (publik), tetapi sampai sekarang implikasi ini belum secara menyeluruh dapat diuraikan. Akan tetapi secara langsung kontribusi psikologi untuk suatu pemahaman globalisasi telah diakui. Sejalan dengan pergeseran budaya dan identitas masyarakat.
Dalam hal ini Jeffirey Jensen brpendapat bahwa globalisasi mempunyai pengaruh terhadap psikologis. Pada artikelnya Jensen terfokus pada isu yang berhubungan dengan masa remaja, sebab anak remaja mempunyai suatu peran sangat penting sedang dalam proses globalisasi. Anak remaja mempunyai cukup kedewasaan dan otonomi untuk mengejar informasi dan pengalaman di luar itu tanpa ada pembatasan. Mereka belum merasa terikat dengan suatu jalan hidup yang terbatas dan belum mengembangkan kebiasaan perilaku dan kepercayaan yang mengakar. Mereka menjadi lebih terbuka terhadap apa saja, walaupun suatu hal yang tidak biasa dan baru. Mereka cenderung untuk memiliki dan mempunyai minat dibanding anak-anak maupun orang dewasa. Anak remaja dipandang oleh orang dewasa dalam beberapa kultur mereka sangat peka terhadap ajakan kultur yang global dan permasalahan anak remaja, seperti unsur menggunakan obat-obatan dan kehamilan sebelum nikah. Menurut orang dewasa hal ini terjadi disebabkan oleh faktor globalisasi. Fokus pada masa remaja menyoroti isu identitas itu yang menjadi arti penting dan kunci di dalam psikologi globalisasi.

2. Globalisasi dan Kekacauan Mental
Kita sudah masuk dunia baru globalisasi yang menantang. globalisasi mungkin adalah digambarkan sebagai suatu proses di mana batasan-batasan yang tradisional yang memisahkan individu dan masyarakat secara berangsur-angsur dan terus meningkat. Proses ini sedang mengubah sifat alami interaksi manusia di dalam lapisan banyak orang, baik dari aspek ekonomi, politis, sosial, budaya, teknologi dan lingkungan. globalisasi sedang mengubah jalan hidup, ruang dan waktu tanpa batas. .
Pendekatan ideologis dan filosofis memandang tentang dampak globalisasi pada individu dan masyarakat. Bagaimanapun juga, globalisasi jelas mempunyai efek negatif dan positif serta kemungkinan menciptakan pecundang dan pemenang. Masyarakat berubah dengan cepat melalui urbanisasi, acculturasi, modernisasi, sosial, politik dan perubahan budaya. Di dalam negara-negara orang banyak dimakan karat oleh disintegrasi ekonomi, distribusi yang berbeda, kekayaan kolektif, gangguan sosial, penindasan politis, imigrasi dan bahkan perang. Berjuta-juta orang masih kekurangan makanan, air, pendidikan dan pelayanan kesehatan secara mendasar. Kekuatan ekonomi global sudah memperlemah masyarakat dan negara-negara lemah dan miskin pada status yang ekonomi. Mata rantai yang kompleks antar globalisasi, kesehatan, sosial dan kesejahteraan serta kesehatan mental sangat perlu untuk diselidiki.

3. Globalisasi Dan Kultur Interconection
Sebagai konsep, globalisasi mungkin telah menggantikan universalisasi. Dokter jiwa yang biasanya mengadopsi suatu pandangan universalis di dalam perasaan yang mendasari manusia fisiologis dan sampai taraf tertentu psikologis yang bersifat universal, sedangkan ahli antropologi membantah untuk suatu relativis posisi. Relativis takut liberalisasi ekonomi dan globalisasi akan memutar ruang individu mereka ke dalam kesatuan yang lebih homogen. Suatu pandangan globalisasi yang umum adalah bahwa masyarakat didorong kearah berbagai hal yang tak dapat dikendalikan dan bergeser ke status ke korporasi multinasional. Terdengar issu perdagangan bebas dan gerak bebas ekonomi semakin tak terkendali.
Bagaimana peran media di dalam cara menggambarkan kemiskinan, kelaparan dan bencana alami di dalam berbagai fariabel negeri. Globalisasi sedang mendobrak dan memerinci batasan-batasan alami, kita dapat menngunjungi dari satu kultur ke lain melalui televisi, internet, bioskop dan buku-buku. Dengan pergerakan ini menaikkan harapan dan cita-cita. Orang pindah ekonomi tidak mengalami penghalang apapun dan menikmati suatu kultur perusahaan multinasional di mana mereka dapat mempunyai makanan Cina di Paris, makanan Perancis di dalam India dan orang India menyamak kulit Hong Kong. Pengembaraan wisatawan dan ekonomi ang belakangan menghasilkan pendapatan. Globalisasi sedang memutar mereka yang adalah lemah dan miskin tanpa ketentuan dan tak berpendidikan diseret ke dalam kehidupan gelandangan. Siapun diijinkan untuk tetap berada di tempat maupun untuk mencari-cari suatu lebih baik menempatkan untuk menjadi segala bentuk karakter.
Globalisasi sebagai intensifikasi interconnection global, mengusulkan suatu dunia penuh dengan pergerakan dan campuran, kontak dan pertalian, dan interaksi budaya saling menukar. Teknologi komunikasi dan pengangkutan semakin banyak dan cepat. Biaya produksi dan memaksimalkan laba telah memimpin korporasi multinasional untuk bergeser ke dalam produksi yang lebih jauh. Biaya Manusia bukanlah suatu pertimbangan di dalam akuntansi. Bagaimanapun, globalisasi dapat bermanfaat bagi individu, dengan membiarkan mereka untuk ikut serta, kultur imigran bisa meningkatkan cita-cita mereka. Dengan saling behubungan yang kompleks, tidak hanya dapat menyilang, menarik ke dalam tempat jaringan yang hegemony keuangan, tetapi juga orang-orang bergerak ke lintas batasan-batasan nasional, memutar wilayah pribadi ke dalam ruang publik , dan berjuang keras untuk mengatasi permasalahan satu sama lain, di mana kultur berselisih. Arus ibukota yang cepat, orang-orang, barang-barang, gambaran dan ideologi dunia bekerja sama di dalam suatu jaringan yang ketat, kadang-kadang boleh mencekik individu untuk membebaskan diri dari permasalahan yang komplek. Saling behubungan ini dapat ditelusur balik ke dalam Kolonialisme mengenai Eropa, yang memulai proses dari homogenisasi budaya ke seberang batasan-batasan geografis.
Konseptual globalisasi menurut Harvey (1989) yang terutama sebagai tekanan ruang dan waktu seseorang hanya dapat mempertimbangkan tentang dampak dari tekanan sosial dan jiwa perorangan. Tekanan ini tidak terjadi karena suatu selalu berlanjut tetapi secara singkat. Pertemuan sosial mungkin segera dan secara langsung, atau komunikasi ke seberang ruang dan waktu. Globalisasi begitu memimpin ke arah angka-angka orang-orang semakin banyak tertinggal di dalam keadaan di mana institusi mereka dibunuh, praktek lokal berhubungan dengan sosial globalis mengorganisir aspek yang utama dari kehihidup sehari-hari, sehingga memproduksi suatu perselisihan yang mengasingkan kedua-duanya individu dari tempat dan ruang global.
Dari perspektif psikiater budaya, kultur mempengaruhi gejala dan idiom yang menyusahkan, model individu bersifat menjelaskan karakter. Identitas kesukuan mempunyai suatu peran di dalam individu yang mengagumi diri sendiri dan mempengaruhi terhadap sosial. Konsekwensi konteks pendukung pluralisme multikultural masyarakat yang baru, untuk kesejahteraan dan kesehatan psikologis individu sebagian besar tak dikenal. Dokter jiwa budaya melanjutkan untuk belajar sistem identitas yang diancam oleh proses globalisasi.

4. Globalisasi Dan Kesehatan Mental
Di samping bukti bahwa semua kekacauan mental adalah psychobiosocial, artinya bahwa mutu lingkungan sosial dihubungkan dengan resiko sakit ingatan, sukar untuk meramalkan dampak globalisasi pada secara umum. Bagaimanapun juga, kekacauan mental tidak bisa lagi di hindari dari konteks yang global yang membingkai hidup kita. Menurut Kirmayer & Minas ( 2000), globalisasi mempengaruhi psikiatri di dalam tiga jalan utama. Di antranya :
1. Melalui efek pada format individu dan identitas kolektif
2. Melalui dampak dari ketidaksamaan ekonomi terhadap kesehatan mental
3. Melalui bentuk ketidak perdulian dari pengetahuan psikiatris sendiri
4. Melalui mass media dan telekomunikasi elektronik, kultur local dan kesukuan di seluruh bumi.
Harpham et Al, 1988 and Kleinman ( 1991), urbanisasi adalah peningkatan yang relatif yang berkenaan dengan populasi kota sebagai proporsi total, dan setelah diamati, urbanisasi telah mendorong suatu peningkatan gangguan perilaku terutama apabila dihubungkan dengan keluarga, mencakup kekerasan ke pasangan, anak-anak, dan berbagai kekacauan di tingkat masyarakat. Urbanisasi secara jangka panjang akan bereimplikasi pada kekacauan mental, di mana berbagai kesulitan dan peristiwa hidup sebagai salah-satu faktor penyebabnya. Kesulitan hidup yang kronis seperti lingkungan miskin, kekerasan dan kecelakaan, kompetisi sosial, konflik kelas, pemondokan.
Marsella berkenaan dengan kehidupan global mengusulkan untuk menghadirkan suatu laboratorium alami untuk belajar tentang kekacauan mental tradisional seperti tekanan, penyakit jiwa dan sakit saraf, terutama tentang tekanan yang berhubungan dengan permasalahan memondokkan, pekerjaan, perkawinan, anak terlantar, keamanan dan berbagai kesulitan lain berkenaan dengan kehidupan kota di dalam interaksi bersama dengan sumber daya yang tersedia untuk pelatihan atau resolusi mereka menyediakan pemahaman yang terbaik tentang faktor penentu psychopathological kekacauan di dalam populasi. Peneliti lain menekankan pada mata rantai antara kesehatan mental dan kemiskinan, perbedaan ekonomi dan underdevelopment, kondisi kerja dan rasa lapar kronis, kebebasan dan diskriminasi jenis kelamin, pelanggaran hak azasi manusia dan pendidikan yang terbatas, semua itu patut untuk dipikirkan sebabbisa memperlemah dan membinasakan individu dan antara kedua-duanya dan sosial bisa bertindak sebagai penyangga atau bantalan melawan terhadap permasalahan kesehatan mental.
Sakit ingatan dan permasalahan kesehatan mental meliputi 8% dari setiap tahun, karena orang dewasa yang tua 15-44 tahun tinggal di demographically, penyakit neuropsychiatric 12% adalah beban penyakit yang global. Kebanyakan peneliti menggaris bawahi kemungkinan itu yang banyaknya orang dengan sakit ingatan utama dan beban permasalahan kesehatan mental bermasyarakat, akan menjadi terus meningkat setiap tahun ke tahun sebagai dampak globalisasi.
Globalisasi mungkin untuk meningkatkan ketidaksamaan sosial dengan memperburuk perbedaan di dalam akses dan distribusi sumber daya. Persaud & Lusane ( 2000) menyarankan teknis proses ekonomi dihubungkan dengan diskriminasi sasial, seperti faktor sosial mungkin meningkatkan resiko perang saudara dan kekerasan kolektif. Lebih lanjut faktor timbulnya serangan teroris, ekspose ke unsur berbahaya dan tersebar penyakit drug-resistant sebagai efek meningkatnya perdagangan dan perjalanan internasional mempunyai suatu dampak pada kesehatan mental yang tidak bisa di diremehkan.

5. Globalisasi dan Tekanan Somatisasi
Tekanan dapat bertindak sebagai suatu paradigma di dalam diskusi dampak globalisasi, dalam hal kelaziman kekacauan mental, tekanan juga dapat terjadi sebagai peristiwa tunggal dalam seumur hidup. Latar belakang budaya mungkin ikut menentukan apakah tekanan akan jadi pengalaman, dan ternyata dinyatakan oleh psikologis dan terminologi emosional, atau fisik terminology tekanan dapat berpengaruh terhadap fisik.
Tekanan adalah suatu kekacauan yang sangat lazim. Tentu saja, pengalaman dari suasana hati dysphoric yang kini dianggap sebagai suatu peristiwa universal, walaupun corak klinis boleh berbeda dengan kultur. Organisasi Kesehatan Dunia (OKD) meramalkan bahwa di dalam tahun 2020 tekanan akan terjadi di seluruh dunia, di dalam negara berkembang tekanan diproyeksikan sebagai penyebab beban penyakit. Dari perspektif ini, kita meninjau ulang riset terbaru ke dalam variasi budaya di dalam epidemiologi, hasil diagnosa perawatan dan presentasi tekanan klinis, dan bagaimana globalisasi akan mempengaruhi idiom kesulitan.
Tekanan Epidemiologi belajar pada permasalahan psikologis di dalam pelayanan kesehatan umum Suatu studi besar oleh Organisasi Kesehatan Dunia, secara umum arus adalah paling menekan perasaan. Tekanan adalah kekacauan suatu yang cukup berpengaruh terhadap mental.
Teori somatisasi lebih awal mengusulkan itu, yaitu padanan tekanan budaya, yang secara khas terjadi kultur non-Western. Sekarang tumbuh bukti adanya gejala somatic, yaitu mempresentasikan secara umum corak tekanan seluruh dunia itu. Tekanan di dalam terminologi berkenaan dengan metafora somatic. Simon menggunakan data dari orang yang belajar pada permasalahan psikologis di dalam pelayanan kesehatan umum, menguji hubungan antara tekanan dan gejala somatic. Bagaimanapun juga somatisasi telah digambarkan sebagai gejala somatic secara medis, frekwensi gejala somatic tergantung pada bagaimana somatisasi digambarkan. Somatisasi adalah suatu konsep yang mencerminkan dualisme yang tidak bisa dipisahkan di dalam Biomedical di dalam praktek barat, sedangkan kebanyakan dari tradisi obat dan kedokteran yang besar seperti Cina suatu pembedaan jelas antara mental dan phisik tidak terjadi.
Orang-orang dari kultur tradisional tidak membedakan emosi lekas marah dan tekanan sebab mereka cenderung untuk di dalam menyatakan kesulitan di dalam terminologi somatic atau mereka mengorganisir konsep dysphoria dalam cara-cara yang berbeda dari orang-orang barat. Sebagai contoh orang-orang Cina yang mempunyai tingkat tekanan dan cenderung untuk menyangkal tekanan dan somatically. Di dalam suatu tinjauan ulang literatur menunjukan kepada satu set saling behubungan dan saling berpengaruh. Negeri China telah mendiagnose neurasthenia, konsep neurasthenia diuraikan oleh Cina sebagai shenjing shuairuo dan itu meliputi somatic, teori dan gejala emosional sebagai tambahan terhadap apapun secara menekan gejala perasaan. Konsep ini sesuai dengan epistemologi yang menjadi penyebab penyakit tradisional atas dasar kepincangan atau kejanggalan dari ketidak seimbangan dan organ bagian badan chi yang angat penting.
Imigran Korea di AS menyatakan bahwa rasa sakit yang tiba-tiba setelah doselidiki merupakan emosi yang secara simbolis atau secara fisik itu merupakan tekanan. fisik secara terminologi bukan emosional maupun jasmani, tetapi di suatu tempat diantara keduanya. Dysphoria telah dinyatakan sebagai gejala holistic (kemurungan jiwa telah diserap ke dalam badan). Kedokteran Korea tradisional membagi fungsi simbolis pada masing-masing organ bagian badan, paru-paru dihubungkan dengan keraguan, duka cita dan roh, hati dan marah, ginjal untuk takut.
Bhui meninjau ulang literatur itu pada kekacauan mental umum antara orang India dan orang-orang Pakistan, mengacu pada kotak somatisasi yang hitam. Ia melaporkan bahwa Pasien yang mengunjungi dokter umum, mereka lebih sering mempunyai tekanan perasaan dan tekanan gagasan. Sakit adalah gejala pisik yang paling umum, akan tetapi proses penyembuan melalui mental itu sangat membantu penyembuan fisik.
Semua permasalahn yang terkait dengan globalisasi ini perlu satu solusi jitu, supaya segala dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi ini bisa dikendalikan, pengendalian tersebut tentunya perlu nutrisi yang handal. Spiritualitas psikologi diharapkan mampu menjadi Nutrisi atau vitamin untuk mengobati penyakit yang ditimbulkan oleh globalisasi.

E. Kesimpulan
Spiritulisasi nampaknya akan menjadi salah satu kekuatan yang dominan di dalam kebutuhan hidup orang-orang abad modern ini. Kultur bisa dan dapat mempengaruhi satu sama lain melalui perdagangan, migrasi, dan perang. Berbagai kultur akan menyatu dan saling berkompetisi untuk mempertahankan identitas mereka masing-masing. Issu krisis akan semakin terdengar walaupun lapangan kerja semakin banyak, menyebabkan hidupnya penyakit jiwa yang mengkronis pada diri publik.
Sebagai konsekwensi modernitas, menciptakan tantangan baru pada setiap identitas, yang selanjutnya berimplikasi dan mengubah terhadap system tradisional, dan beranjak ke era baru yang asing bagi mereka, sehingga mereka rentan terhadap penyakit jiwa, sebab persinggungan kultur dan identitas mempuat publik yang asing tersebut menjadi gagu di dalam segala hal, khususnya berbagai kemajuan yang sangat global.
Eksistensi spiritual menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia era baru terkait berbagai permasalahan yang timbul akibat dampak modernitas globalisasi, konflik keluarga, kultur, budaya, ekonomi, sosial, agama, pertemuan kultur yang berbeda dan persaingan menjadi salah satu penyebab menyebarnya virus jiwa yang akan mempengarui struktur manusia yang universal. Berbagai cara digunakan oleh publik peneliti untuk menyelesaikan permasalahan modern yang teramat berat akibat dari konflik global.
Pluralisme dan psikologi merupakan salah satu dari sekian banyak konsep dan teori dari resep spiritualitas, hal ini penulis sajikan untuk menjadi tambahan referensi dalam memberi tambahan konstribusi dan nutrisi hidup sebagai kebutuhan umat manusia untuk menuju pada kedamaian dan menggali permasalahn yang dimungkinkan muncul di masa yang akan datang. Pada sisi lain masih banyak resep spiritual yang harus digali, dan disesuikan dengan kebutuhan umat manusia dalam meyelaikan berbagai persoalan yang aktual (nyata) saat ini. Pemahaman dan kebutuhan tentang spiritualitas tidak bisa dielakkan lagi oleh umat manusia modern, bahwa spiritual merupakan bagian dari kehidupan manusia era gbalisasi yang akrap dengan berbagai tekanan hidup. Hajat hidup umat manusia modern untuk munuju pada kualitas hidup tidak akan bisa terwujud dengan sempurna tanpa adanya spiritulitas, sebab kebutuhan manusia yang kian hari kian menekan perlu ugrade ulang yang sesuai dengan wacana yang berkembang. Pengupgratan ini tidak akan berjalan dengan mulus tanpa adanya data (referensi) spiritualitas. Pendek kata spirutualitas adalah kebutuhan umat manusia era modern (globalisasi)



DAFTAR PUSTAKA


Abdullah Nashih ‘Ulwan, Aktiftas Islam menghadapi Tantangan Global, Solo : Al-Alaq, 2003, cet., ke-1
Abdullah Nasihin ‘Ulwan, asy-Syabaab al-Muslim fi muwajahati at-Tahaddiyat, Bairut : Darusy Syamiyah, 1998, t.cet.
Abu Hanafi, Psikologi Umum, Jakarta : Reneka Cipta, 1992
Al-Bana, Gama, at-Ta’addudiyyah fiqh Mujtama’ Islamy, Jakarta: MataAir Publishing, 2006, cet., ke-1
Albert Bandura, The ChangingFace of Pyichology at the Dawning of a Alobalization Era
Alex Sobur, Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003
Al-Kharasyi, Sulaiman bin Saleh, Al-‘Ashraniyyah Qintharat al-‘Almaniyyah, (terjemah), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah : 2005
Al-Qardhawy, Yusuf, at-Tatharafual-Ilmanifi Muwajahatial-Islam (terjemah), Jakarta :Pustaka al-Kausar, 2000, cet., ke-1
Arkoun, Mohammad dkk, Orientalisme Vis Avis Oksidentalism (terjemah), Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008, cet., ke-1
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, cet. ke-3, h.307;
Bauman Z, Globbalization; The Human Consequences, 1998, vol. 421
Dawam Raharjo, Intelektual, Intelgensi, dan Perilaku Politik, Rahardjo, Bandung :Al-Mizan, 1996, h. 261
Departemen Dendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2007 Edisi III, cet., ke-7
Desjarlais, R., Eisenberg, K.J., World Mental Health, 1995
Dinesh Bhugra and Anastasia Mastrogianni, Globalisation and mental disorders, 1997, Vol. 449
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami,Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1994
EnthinHervina, tempo; Lebih lanjut lihat, Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, Diktat
H.Hart, Michael, The 100, A Ranking of The Most Influential Persons in Histor,(terjemah) Jakarta : Pustaka Jaya, 1997, cet., ke-18
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : UI-Pres, 1985, Jilid 1, cet. Ke-5
Ibnu Qayyim, ath-Thariq ila ash-Shihhah an-Nafsiyah ‘Inda Ibnu Qayyim al-Jauzittah wa ‘Ilm an-Nafs, Bairut : Dar al-Fikr, 1990, t.cet.
J.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (terjemah), Jakarta : PT Grafindo Persada, cet., ke-7
Jaiz, Hartono Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta : Pustaka al-Kausar, 2002), cet., ke-3
Jamaluddin, M.Ed (ed), Mendidikusikan kembali Eksistensi Madrasah, “Menyoal Pendidikan Agama Pluralis” (Jakarta :Logos,2003), cet., ke-2
Jeffrey Jense, The Pyichology of Globalization, 2002, vol.57
Kirmayer & Young, A, Culture and Samatization, 1998, 67
Kirmayer, L.J., & Minas, I.H., The Future of Cultural Psyciatri, 2000, 45
Kunit, S.J., Globalization State and the Health of Indigenous Peaples, 2000, Vol. 90
Legenhausen, Muhammad, Islam and Religious Pluralism (terjemah), (Jakarta : PT Lentera Basritama, 2002, cet., ke-1
MariaT, Dkk, The Psychology of Workingand Globalisation; a New Perspektiffor a New Era, 2008
Muhammad Ash-Shadr, Pandangan Bagir ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia (terjemah), Bandung : al-Mizan, 1993
Murray, C.J.L. & Lopez, A.D., Alternative Projektion of Mortality By Cause 1990-2020, 1997, Vol. 349
Saekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta :PTRaja Grafindo Persada, 1994, Edisi IV, cet., ke-9
Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesia Dictionary, Jakarta: Modern English Pres, 1996, t.cet.
Sarlito, W. Sarwono, Perkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, Cet., ke-3
Sartorius, N., Ustun, T.B., Lecrubier, Y., Depression Comorbid With Anxiaty, 1996, 13; Zhang et Al, 1998)
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta : Gema Insani, 2005), cet., ke-1
Yakin, Fathi, Islam Era Global, Yogyakarta : Ababil, 1996, cet., ke-1
Zhang, W.X., Shen, Y.C. & Li, S.R., Epidemological Investigation on Mental Disordes in 7 Areas of China, 1998, 22