( Di Tinjau dari
Aspek Kawasan Filsafat dan Peranannya )
A. Pendahuluan
Manusia hidup di atas bumi ini semua memiki akal[1],
dengan akal pada hakekadnya manusia bisa membedakan anatara yang salah dan yang
benar, itu idialnya dan itu juga yang menjadi tolak ukur manusia hidup. Manusia secara khusus bisa disebut manusia
jika mampu mempergunakan akalnya secara baik, benar dan bermanfaat. Bagi manusia yang mempergunakan akalnya
dengan sebaliknya tidak layak disebut manusia.
Oleh karena itu, supaya disebut manusia yang sebenarnya fungsikan
akalnya untuk menalar kehidupan ini, agar benar-benar hidup dan sejalan dengan
fitrahnya dalam perkembangan zaman ini.
Orang yang mempergunakan akalnya
untuk berfikir dengan kritis[2],
logis[3]
sistematis[4]
dan radikal[5] disebut
orang yang berfikir filsafat[6]. Orang yang mampu berfikir secara filsafat,
dia akan menemukan sebuah hakekat sebuah kebenaran[7]
Suatau kebenaran dianggap benar oleh
akal apabila dalam proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara
tertentu. Cara penarikan kesimpulan
tersebut dinamakan logika. [8]
Jadi logika merupakan metode berpikir untuk mencapai kebenaran.
Oleh karena ini, berdasarkan
beberapa keterangan dia atas, dapat dirumuskan beberapa masalah, di
antaranya:
1.
Betulkah logika murupakan bagian dan
memiliki kedudukan penting dari filsafat ?
2.
Seberapa penting kedudukan logika dalam kehidupan ilmu pengetahuan ?
Dalam
pembahasan ini, yang terangkum dari pokok bahasan sebagaimana tergambar di
atas, diharapkan mampu membuat rumusan baru untuk membuktikan kebenaran lagika
dalam filsafat, serta mampu medudukkan logika sebagai referensi penting dalam
pemikiran filsafat.
Dengan logika agar umat manusia mampu
mendudukkan porsi logika dalam setiap melaksanakan kehidupannya, baik bersifat
mikro maupun makro, supaya tercapai hajad hidup yang mereka cita-citakan, serta
mampu memberikan konstribusi pemikiran kepada masyarakat yang lain agar
tercipta kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia.
B.
Definisi Logika
Logika menurut bahasa Inggris disebut logic, Latin logica,
Yunani logike atau lagikos (apa yang termasuk ucapan yang dapat
dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis, dapat
dimengerti). [9]
Teori mengenai syarat-syarat penalaran yang. Istilah ini pertama kali digunakan
oleh Alexander dari Aphrodisios pada abad ke 2 M. tulisan-tulisan Aristoteles mengenai logika
disebut Organon, atau instrument ilmu.
Penalaran bertolak dari satu atau lebih pernyataan yang disebut
kesimpulan. Bila kesimpulan berasal dari
premis-premis secara niscaya, prose situ disebut deduksi (penalaran deduktif),
logika deduktif. Bila kesimpulan berasal
dari premis-premis dengan derajat kemungkinan, proses itu disebut induksi
(penalaran deduktif), logika deduktif. [10]
Studi tentang aturan-aturan mengenai penalaran yang tepat, serta bentuk
dan pola pemikiran masuk akal atau sah (valid ; sahih) logika juga dipandang
sebagai studi dan penerapan aturan-aturan penarikan kesimpulan pada argument
atau system pemikiran. [11]
Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat
dipertanggungjaabkan. Karena itu,
berpikir logos adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti
setengah tidak boleh lebih besar dari pada satu.[12]
C.
Sejarah Perkembangan Logika
Perkembangan logika meliputi waktu 2500 tahun di
barat dan sekitar itu pula di timur. Di
sini kita menggunakan pendekatan histories dan analisis. Sejarah logika di Barat mulai dari yunani,
logika bisa dikatakan berakar pada pembuktian-pembuktian geometri kaum
Pythagorean, dialektika, Zeno dari Elea atau
dialektika Plato. Categories, Topics, On
Interpretation, Prior Analytics, dan Posterior Analytics dari Aristoteles
mengembangkan analisis proposisi-proposisi, interelasinya, kuantifikasinya, dan
pengunaan dalam penalaran. Meskipun beberapa
inferensi jenis lain dikaji, puncak analisis Aristoteles adalah silogisme, dan
leluasaan pengetahuan berkaitan agak erat dengan pencarian term-term tengah.
Bersamaan dengan perkembangan logika di Yunani,
berkembang pula aliran logika Nyaya di India.
Silogisme Nyaya menuntut lima
proposisi dan bukan tiga. Aliran ini
menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan klasifikasi
kekeliruan-kekeliuran. Kurun waktu
perkembangan logika ini dalam banyak hal sejajar dengan perkembangan logika
Aristoteles.
Madhab Peripatetik terus mengembangkan lagika
Aristoteles. Madhab ini bersaing dengan madhab logika Megarion-Stoa. Tradisi yang disebut terakhir ini, mungkin
hubungannya dengan dialektika Zeno dari Elea,
menaruh minat pada pengembangan sesuatu yang mirib dengan kalkulus
proposisional. Dengan berkonsentrasi
“jika…maka” dan “atau….atau”, para anggota madhab Megarion-Stoa menggarap
bentuk-bentuk penalaran yang sahih untuk hubungan-hubungan ini. [13]
Saingan lain dari madhab Peripatetik ialah logika
Epikurean. Menurut logika ini, semua
koneksi lagis berawal secara empiris, dan dengan demikian berdasarkan induksi
atau analogi.
Daya hidup aliran-aliran logika utama berlanjut
terus sampai abad pertengahan.
Tulisan-tulisan Cicerio, Galen, Sextus Empiricus, Alexander dari
Aprodisius, dan Porphyry merupakan bukti kenyataan ini. Boethius kadang menyinggung
kontroversi-kontroversi logis antara kaum Stoa dan kaum Aristotelian, sambil
terus berpihak pada Aristoteles. Adalah
spekulasi Boethius tentang cara eksistensi spesies dan genus yang mewarnai
diskusi tentang universalia (konsep-konsep universal) abad pertengahan.
Alcuin, John Scatus Erigena, dan Abelardus semua
mempunyai hubungan dengan logika antara abad-8 dan ke-12 M. Abelardus paling terkenal dari kelompok
ini. Ia menyusun empat risalah tentang
logika. Ia memandang verba “adalah”
sebagai kopula setiap proposisi ketegoris (walaupun bukan dia yang pertama kali
berpendapat demikian), dan beranggapan bahwa kopula prediket eksistensi. Ia menyatakan bahwa suatu proposisi kategoris
afirmatif baru berlaku bila gatra pangkal dan gatra sebutan mengantikan hal-hal
sang sama, yang mengarah pada teori suppositio terminonorum. Dia bergumul dengan problem negasi modalitas.[1] Dia mengupas argumen yang menyangkut
paradoks-paradoks implikasi dengan anggapan bahwa anteseden suatu pernyataan
kondisional yang berarti mesti menuntut konsekuen yang sudah ada secara
intrinsic, supaya menyingkirkan kebenaran pernyataan-pernyataan kondisional
seperti “jika Socrates batu, maka ia seekor keledai.” Ke dalam kaidah-kaidah
argumen yang sah ia memasukkan versi-versi awal modus ponendo ponens dan modus
tollendo tollens, transivitas, negasi, dan interelasi pernyataan-pernyataan
modal. Ia meninggalkan pandangan logikawan Stoa bahwa disjungsi harus ditafsirkan
dengan tajam. [14]
Avicenna membedakan tanda-tanda alamiah pertama dari
paham-paham abstrak pengertian kedua, dengan menganggap logika berurusan dengan
tanda-tanda pengertian kedua. Ini rupanya merupakan awal diskusi mengenai
intensi-intensi pertama dan kedua.
Pada abad ke-13 William dari Sherwood menghasilkan
suatu manual logika. Dalam manual ini modus dan figure silogisme yang sah
muncul dalam versi mnemonik (jembatan keledai) dengan nama-nama Barbara,
Celarent, Cesare Felapton, etc. Dia mengkaji proposisi konjungtif, disjungtif,
dan kondisional dengan istilah-istilah yang pada intinya modern. Dan sebuah
karya tentang-yentang Syncategoremata, yang menganalisis “dan”, “atau”,
“tidak”, “jika”, “setiap”, “kecuali”, “hanya”, dikaitkan dengan dia.
Pada awal yang sama Pertrus dari Spanyol (kemudian
menjadi Paus Yohanes XXI) menyusun Summulae Logicales, sebuah buku pegangan
logika yang digunakan secara luas pada penghujung Abad Pertengahan, dan hingga
abad ke-17. 166 edisi buku teks ini dijelaskan dengan lebih baik oleh
pengembangannya terhadap teknik versi-versi mnemonik dari pada
analisis-analissnya tentang proposisi, predikabilia, katagori, silogisme,
topik, kekeliruan, suposisi, relasi, ampliasi, apelasi, restriksi, dan
distribusi. Sudut pandangannya mirip sekali dengan manual logika William dari
Sherwood. [15]
Roger Bacon tidak sendirian dalam menekankan
pentingnya prosedur-prosedur empiris dan riset eksperimental. Sebelum dia sudah
ada Robert Grosseteste.
Raymond Lull pada periode yang swama mengembangkan ide
untuk menggabungkan konsep-konsep secara mekanis untuk menyediakan daftar
alternatif yang lengkap. Metode ini, yang dinamakan Ars Magna, mempengaruhi
perkembangan logika.
William dari Ockham menghasilkan suatu studi
sistematis tentang term, proposisi, dan argumen. Pandangan William yang disebut
nominalisme berasal dari ajarannya bahwa semua tanda mewakili hal-hal invidual, kendati beberapa tanda
mewaliki banyak hal individual. Apa yang
menurutnya tidak terpercaya ialah keyakinan bahwa ada universalia (hal-hal
universal) yang berada di dalam banyak individu sekaligus. Dan meskipun prinsip
yang dikenal dengan nama pisau cukur Ockham (yakni : Entia non sunt
multiplicanda praeter necessitatem = entitas-entitas tidak dapat dilipat gandakan melampaui keniscayaan) tidak
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ockham, prinsip ini jelas tidak ada dalam
karyanya yang diterbitkan.
Peter Ramus
melawan pengaruh Aristoteles, dan mencoba mentusun suatu logika jenis lain. Dia
sedemikian popular, sehingga para penulis abad ke-17 membagi para logikawan
Aristolean, Ramis, dan seni-Ramis.
Novum Organum Francis Bacon, yang diterbitkan tahun
1620, juga ditulis untuk melawan Aristoteles. Tetapi Bacon, tidak seperti
Ramus, mempunyai alternatif asli. Dia berpendapat bahwa logika tradisional
tidak bisa menjadi alat untuk penemuan
alamiah. Dan ia sendiri berusaha membangun alat seperti ini. Pengaruhnya luar
biasa, tetapi tidak seberapa berhasil.
Antoine Arnauld dan Pierre Nicole menghasilkan
buku La Logique ou I’Art de penser. Buku
ini menganggap logika sebagai seni mengolah atau mengatur akal seseorang.
Dengan menolak baik logika Abad Pertengahan maupun logika Ramus, mereka
menerima Aristoteles sebagian. Dalam pilihan antara Aristoteles dan ilmu baru,
mereka lebih menyukai yang disebut belakangan. Sikap ini merupakan paduan sikap
kesalehan dan perhatian terhadap ilmu modern. Namun sebagai pengikut Descartes
pengertian mereka tentang metode ini berasal dari geometri. Induksi, misalnya,
dianggap tak dapat diandlkan. Pembedaan mereka antara komprehensi (isi) dan
ekstensi (luas) term-term umum sangat terkenal. Komprehensi adalah sehimpunan
atribut yang tak bisa dihilangkan tanpa menghancurkan ide tersebut. Ekstensi
merupakan sehimpunan hal yang kepadanya ide itu dapat diterapkan. [16]
Dalam semangat Descartes dan Pascal mereka
menetapkan delapan kaidah metode:
1.
Tidak boleh ada istilah yang tidak jelas
atau tidak dikenal karena tidak ada definisinya
2.
Gunakan di dalam definisi hanya istilah
yang sudah benar-bebar dikenal atau dijelaskan
3.
Gunakan sebagai aksioma-aksioma hanya
hal-hal yang sungguh-sungguh eviden
4.
Terima sebagai eviden hanya apa yang
mudah dikenal sebagai betul
5.
Buktikan semua proposisi yang tidak jelas
dengan cara membuat definisi dulu; yang cocok dengan aksioma-aksioma dan proposisi-proposisi
yang sudah dibuktikan
6.
Hilangkan ekuivokasi istilah-istilah
dengan definisi-definisi restriktif
7.
Bertitik tolak sedapat mungkin dari yang
paling umum dan simple, dari genus ke spesies
8.
bagikan tiap genus ke dalam semua
spesiesnya, tiap keseluruhan ke dalam bagian-bagiannya, tiap masalah ke dalam
kasus-kasusnya.
Leibniz pantas diakui sebagai logikawan hebat. Sebab dia memberikan bebererapa penemuan di
dalam kancah logika, ia mengatakan beberapa pernyataan yang selanjutnya penulis
fahami sebagai berikut :
1.
Seraya menghormati Aristoteles, ia
berpendapat bahwa tidak semua argumen dapat dimasukkan alam bentuk silogisme.
Penghargaannya terhadap logika subyek-predikat, bagaimanapun juga, mendorongnya
untuk menganggap enteng pernyataan-pernataan relasional, dan membangun semacam
ontologi substansi-atribut.
2.
Dia mengganggap ide Ars Combinatoria
(“seni penemuan”) lebih funda mental daripada lagika biasa.
3.
Characteristica Universalis (bahasa
Universal), dengan tata bahasa dan aturang prosedurnya yang dibangun secara
filosofis membuat orang sanggup bergerak leluasa ke seluruh bidang
pengetahua.
4.
Usaha Leibniz untuk membangun suatu
kalkulus universal dimaksudakan untuk memperluas minat yang sudah
disebutkan; memang kalkulus itu masih
terpenggal-penggal, akan tetapi
setidaknya suatu upaya sudah dilakukan untuk menghasilkan sebuah
matematika abstrak. [17]
Pada abad ke-18 Leonhard Euler membantu mengarahkan
perhatian para logikus pada interpretasi luas pernyataan-prnyataan umum.
Alternatif ini kembangkan oleh Georgonne pada abad ke-19. Sir William Hamilton
pada abad ke-19 memperkenalkan suatu pendekatan terhadap logika di mana logika maupun subyek
dikuantifikasikan. Tetapi modifikasi ini tidak mempunyai konsekuensi-konsekuensi
yang penting. John Stuart Mill amat
menarik perhatian, karena karyanya System of
Logic bertujuan jelas untuk mengembangkan suatu logika yang cocok dengan
tradisi empiris filsafat Inggris. Dia memandang difinisi-definisi sebagia
proposisiproposisi identik yang memberi informasi hanya penggunaan bahasa.
Dengan demikan ia mendukung pandangan definisi-definisi nominal. Dengan lain
pihak dia menganggap semua proposisi sebagai memenuhi pola memenuhi pola
subyek-predikat. Namun juga beranggapan bahwa setiap silogisme memperlihatkan petitio
principii. [18]
D.
Macam-Macam Logika
a.
Untuk merumuskan aturan-aturan penarikan
kesimpulan yang konsisten dan lengkap
b.
Untuk menerapkan pada argumen-argumen
yang disajikan secara formal
c.
Untuk menentukan apakah
kesimpulan-kesimpulannya dapat ditarik secara sah atau tidak sah dari
premis-premis. Kesimpulan yang sah pada
suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat niscaya dari
pernyataan-pernyataan yang lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu
sangat luas dan meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang
menarik.
Kedua, Logika Deontik
yaitu: Logika yang berurusan dengan konsep-konsep seperti: kewajiban, permisibilitas
dan nonpermisibilitas, keharusan, kepatutan, kelayakan, ke dalam suatu system
koheren. Beberapa prinsip dasarnya:”Jika
sesuatu bersifat wajib, sesuatu itu dapat dilakukan.” “Jika sesuatu tidak
diperbolehkan, maka itu tidak bersifat wajib.” “Jika sesuatu dibuat karena ia bersifat
wajib, maka ia sendiri adalah sesuatu yang bersifat wajib agar hendaknya
dilakukan.” “Tidak benar bahwa apa yang bersifat wajib, dilakukan secara
niscaya.” “Tidak benar bahwa apa yang dilakukan, dapat diperbolehkan.”
“Haruslah demikian, bahwa apa yang bersifat wajib, hendaknya dilakukan.”
“Adalah hal sebenarnya bahwa agar sesuatu hal menjadi bersifat wajib, ia harus
menjadikan mungkin agar ia dilakukan.”
Ketiga, Logika Dialektis
yaitu[20]: Logika dialektis merupakan ajaran logika dari
materialisme dialektis. Ia merupakan
ilmu tentang hokum-hukum dan bentuk-bentuk refleksi mental terhadap
perkembangan dunia objektif. Ia juga
merupakan ilmu tentang hokum-hukum yang mengatur kognisi tentang
kebenaran. Dari sudut ilmu, logika
dialektis timbul sebagai bagian dari filsafat Marxis. Namun, unsure-unsur logika dialektis sudah
ada dalam filsafat kuno, khususnya ajaran-ajaran dari Herakleitos, Plato,
Aristoteles, dan lain-lain. Tugas utama
logika dialektis ialah meneliti bagaimana cara terbaik mengungkapkan dengan
konsep-konsep operasi hokum-hukum dialektika dalam benda-benda, objek-objek,
dan seterusnya. Denagn ini tugas pokok
dari logika dialektis bertalian, dengan penelitian terhadap perkembangan
kognisi itu sendiri. Logika dialektis
mengidentifikasikan hokum-hukum dan bentuk-bentuk perkembangan pikiran dalam
perkembangan kognisi dan praktik social histeris.
Keempat Logika Formal yaitu: Logika formal merupakan ilmu yang mempelajari
bentuk-bentuk pemikiran (konsep, putusan, kesimpulan dan pembuktian) berkenaan
dengan struktur logisnya, yaitu dengan abstraksi isi konkret dari
pikiran-pikiran dan menonjolkan hanya cara-cara umum yang olehnya memungkinkan
bagian-bagian dari isi itu berubungan.
Tugas pokok logika formal ialah merumuskan hokum-hukum dan prinsip-prinsip.
Ketaatan terhadap hukum-hukum dan prinsip-prinsip ini merupakan suatu syarat
untuk mencapai hasil-hasil yang sahih dalam mengejar pengetahuan dengan
deduksi.
a.
Untuk merumuskan aturan-aturan yang
memungkinkan pernyataan-pernyataan dapat ditentukan sebagai kuat atau probablel
secara empiris
b.
Untuk merumuskan prosedur-prosedur
sistematis untuk mengemukakan penarikan-penarikan kesimpulan atau argumen-argumen
nondeduktif
c.
Untuk menentukan derajat konfirmasi atau
probabilitas bagi kesimpulan yang didasarkan atas derajat konfirmasi atau
probabilitas yang mungkin untuk ditentukan bagi premis-premis
d.
Utuk menarik kesimpulan bukan dari
pernyataan-pernyataan umum, melainkan dari hal-hal khusus. Kesimpulan hanya
bersifat probabilitas berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah diajukan.
Kaum pendukung logika induktif tradisional,[22]
misalnya, Mill melihat tugas logika induktif dalam analisis proses-proses
mencapai pengetahuan teoretis general dari yang tunggal, yang empiris. Dalam
sejarah logika, juga ada konsepsi lain tantang logika induktif, dengan
membatasi tugas-tugasnya pada analisis kriteria logis untuk memverifikasi
pernyataan-pernyataan ilmiah di dalam kerangkakerja metode hipotetis-eduktif.
Konsepsi ini dirumuskan dalam abad ke-19 orang oleh W. Whawell, seorang
ahli logika. Dan konsepsi ini telah tersebar luas dalm logika ilmu modern.
Konsepsi ini muncul karena tak memadainya metode-metode induktif untuk mencapai
proposisi-proposisi teoretis. Metode-metode induktif menuntut identifikasi
isi-pikiran yang baru formasi abstraksi-abstraksi ilmiah yang baru. Kekurangan
konsepsi ini terletak pada penolakannya terhadap suatu studi logis yang tidak
dibenarkan terhadap proses-proses untuk memperoleh pengetahuan ilmiah pada
umumnya, yaitu analisisnya sebagai proses-proses yang niscaya secara social,
yang tidak tergantung dari kesadaran individual. Dan konsepsi ini ditentukan
oleh isi objektif proses-proses kognitif.[23]
Logika induktif modern memperluas bidang penerapannya. Ia menguji bukan
hanya kesimpulan-kesimpulan dari yang partikular ke yang general, melainkan
semua hubungan0hubngan logis pada umumnya. Dan ini dikerjakan manakala
nilai-kebenaran dari pengetahuan yang ingin kita verifikasikan tidak dapat
dimapankan secara handal berdasarkan pengetahuan yang niali-kebenarannya kita ketahui. Ini juga dikerjakan manakala
kita dapat menentukan apakah kesimpulan ini dikonfirmasikan oleh pengetahuan
yang disebutkan terakhir di atas. Dan jika demikian, lalu dipertanyakan, sejauh
mana.
Oleh karena itu, salah satu kansep pokok logika induktif adalah derajat
konfirmasi. Derajat konfirmasi ini lazimnya ditafsir sebagai probabilitas dari
suatu hipotesis dengan pengetahuan empiris yang tersedia. Karenanya, logika
induktif menggunakan metode-metode dari teori probabilitas dan diubah menjadi logika probabilitas.
Keenam, Logika Informal
yaitu : Studi tentang penarikan
kesimpulan yang didasari beberapa bentuk, di antaranya :
a.
Tidak mengikuti suatu bentuk logis past
(dan kalau penarikan kesimpulan mengikuti bentuk logis itu, kebenarannya tidak
tergantung pada bentuk semacam ini)
b.
Didasarkan atas arti-arti dan bukan
keabsahan bentuk-bentuk yang ada dalam argumen itu
c.
Dapat betul atau tidak betul tergantung
pada pertimbangan-pertimbangan (seperti evidensi empiris) yang lain daripada
bentuk argumennya. [24]
Ketujuh, Logika
Kategoris Tradisional yaitu:
Logika ini sering disebut Logika Aristotelian, Logika silogisme
katagoris, Logika kelompok-kelompok, studi tentang aturan-aturab dan
prosedur-prosedur yang menghubungkan istilah-istilah sebagai subjek dan
predikat menuju kesimpulan-kesimpulan yang menyusul secara pasti. [25]
Kedelapan, Logika
Kombinatorial yaitu: Logika
kombinatorial merupakan suatu aliran dalam logika matematik yang menganalisis
konsep-konsep yang diterima tanpa studi lebih lanjut dalam kerngka logika
matematik klasik. Konsep-konsep seperti
itu adalah konsep-konsep: variable dan fungsi.
Kesembilan, Logika
Konstruktif yaitu: Logika
konstruktif merupakan suatu trend dalam logika matematis. Ini dididrikan oleh
L. Brouwer, H. Weyl dan A. heyting. Pada dasarnya, ternd ini melarang penerapan
kumpulan-kumpulan prinsip yang tidak terbatas yang benar pada kumpulan-kumpulan
yang terbatas (misalnya, dalil bahwa
keseluruhan lebih besar dari pada suatu bagian. Lihat juga Hukum Tiada Jalan
Tengah.) Logika klasik dan logika
konstruktif mempertahankan pandangan-pandangan yang berbeda atas konsep
ketidakterbatasan. Yang pertama menganggap ketidakterbatasan bersifay aktual,
sempurna. Sedangkan yang kedua melihatnya sebagai potensial, dalam keadaan
menjadi. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip logika konstruktif, usaha-usaha
dilakukan untuk merevisi hasil-hasil pokok logika mayematis dan matematyika
modern. Sumbangan besar bagi perkembangan logika konstruktif telah dilakukan
oleh para sarjana Soviet: A. N. Kolmogorow, A. A Markov, dan N. A. Shanin. [26]
Kesepuluh, Logika Matematis atau Simbolis yaitu: Logika matematis tampaknya merupakan hasil
penerapan metode-metode matematika yang formal dalam bidang logika, penelitian
logis terhadap penalaran dan bukti matematis. Logika matematis meneliti
proses-proses logis melalui refleksinya dalam bahasa-bahasa yang
diformalisasikan, atau kalkulus-kalkulus logis.
Di samping studinya tentang struktur kalkulus-kalkulus logis yang formal
logika matematis juga memeriksa hubungan antara kalkulus-kalkulus dan hubungan
bidang-bidang substantif yang berguna sebagai interpretasi-interpretasi dan
model-modelnya. Tugas ini menggambarkan problem-problem semantika logis.
Sintaksis dan semantika logis termasuk metalogika. Metalogika
merupakan teori tentang cara-cara penggambaran, premis-premis dan
cir-ciri kalkalus logis.
Logika matematis (atau logika logika simbolis) dapat ditafsirka secara
sempit maupun secara luas. Dalam arti
sempit, ia mencakup kalkulusproposisionaldan kalkulus predikat. Dalam arti
luas,yang kadang-kadang disebut “logistika” ia mencakup aneka-ragam system yang
berhubungan. Masing-masing arti ini memerlukan penjelasan lebih lanjut. Secara dangkal, ciri khas logika matematis
(simbolis) ialah penggunaan notasi simbolis yang menyerupai aljabar. Secara
lebih mendalam, ciri khasnya ialah struktur aksiomatiknya yang keabsahannya
formal semata-mata. Yaitu, kesahihan itu tidak tergantung pada isi di mana hal
itu bisa diterapkan. [27]
Logika, dalam arti formal ini tidak dapat dianggap sebagai aturan-aturan
penalaran, kendati ia mudah digunakan sebagai alat penalaran. Kendati logika
formal sebagiannya dimulai oleh Leibnizdan lain-lain, namun, sebenarnya
perkembangan logika matematis mulai dengan karya A. de Morgan (1806-1871), yang mendasarkan logika pada inklusi kelimpok; dan G. Boole
(1815-1864), yang mencoba menjadikan logika sebagai bagian dari matematika.
Tokoh-tokoh yang sangat penting dalam perkembangan logika kontemporer
ialah:
1.
G. Frege (1848-1925) yang memperkenalkan
kuantifikasidan formalisasi logika
2.
Whitehead dan B.Russel yang dalam
Principia Mathematica, karya monumentalnya (1910-1913) berupaya mengasalkan
semuamatematika dari logika itu sendiri
3.
K. Goedel, yang menetapkan batas-batas
melekaqt yang pas bagi system luas mana saja. Logika formal yang lahir dari
upaya-upaya ini dapat paling baik dipahami dalam kaitan dengan tingkat-tingkat.
Tingkat yang paling rendah ialah kalkulus proposisional (sentensial). Di
sini, proposisi-proposisi diperlakukan sebagai unit-unit (satuan-satuan) yang
tidak dapat direduksi lagi. Relasi-relasiyang mungkin ada antara
proposisi-proposisi disistematisasi menurut kata-sambung logis, misalnya,
“bukan”, tidak”, “dan”, “atau”,dan “berarti”.
Kata-kata sambung ini semata-mata bergantung pada kebenaran atau
ketidakbenaran proposisi tersebut, dan pada maknanya. Formalisasi tipikal
logika ini mendalilkan tiga aksioma dan satu aturan penarikan kesimpulan yang
memungkinkan seseorang bisa memperoleh semua kebenaran logis yang cocok dengan
kombinasi proposisi yang mengandung fungsi kebenaran.
Kebenaran-kebenaran ini, yang dipandang dari dalam sistem tersebut,
merupakan tautologi-tautologi. Hal-hal itu tidak memberikan informasi faktual
tetapi bisa berfungsi sebagai sarana-sarana yang sah bagi kesimpulan. Perluasan
longgar dari sistemini, yang didasarkan pada introduksi aksioma-aksioma lebih
lanjut, menghasilkan kembali struktur formal logika Aristoteles.
Kalkulus predikat mengandaikan kalkulus proposisional tetapi menambahkan
ide kuantifikasi. Itu berarti, kalkulus predikat dapat memperlakukan proposisi
sebagai satuan yang rumit yang mempertalikan predikat pada subjek. Kalkulus
predikat dikualifikasi dengan beberapa “beberapa” atau “semua”. Sistem ini
dapat juga dikembangkan sedemikian rupa sehingga komplit dan konsisten.
Tahap perkembangan lebihlanjut, suatu tahap yang diperlukan untuk deduksi
matematis memerlukan urutan kuantifikasi yang lebih tinggi. Ini melibatkan
predikat dari predikat (atau kelas dari kelas-kelas) maupun predikat urutan
pertama yang diterapkan pada subjek-subjek.Logika yang diperluas ini tidak
dapat dikembangkan sekian rupa sehingga lengkap maupun konsisten.
Logika dalam arti lebih luas, yang kadang-kadang disebut “logistik”,
mencakup perluasan logika klasik yang diringkaskan diatas maupun logika
non-klasik. Perluasan logika yang sangat penting (semiotika) memperlakukan
logika formal sebagai bahasa objek yang dibicarakan dalam pelbagai metabahasa.
Kalau bahasa objek dianggap sebagai serangkaian tanda yang tidak
ditafsirkan, seorang bisa mengintrodusir tiga hal ini. [28]
1.
Metabahasa sintaksis, menentukan aturan
untuk merangkaian, membentuk dan mengubah tanda-tanda ini.
2.
Metabahasa semantik, membicarakanarti dan
penafsiran dari tanda-tanda ini.
3.
Metabahasa pragmatik, mencakup subjek
yang menggunakan logika dan membicarakan pertanyaan-prtanyaan seperti itu
sebagai bermanfaat dan dapat diterima. Seringkali ada pendapat- dan seringkali
diperdebatkan- bahwa bahasa sehari-hari berfungsi sebagai bahasa metabahasa tertinggi dalam
menafsirkan logika formal.
Logika non-klasik mencakup baik sistem-sistem yang tidak berkesesuaian
dengan beberapa dalil logika klasik maupun system-sistem yang berupaya
memperluas teknik-teknik logika pada bidang-bidang baru. Yang terpenting di
antaranya ada tiga hal, yaitu :
1.
Logika jamak-nilai (banyak-nilai). Ia
menggantikan logika klasik yang atau “benar” atau “salah” dengan tiga nilai atau lebih.
2.
Logika modal. Ia mencoba merumuskan
logika yang cocok dengan proposisi-proposisi yang bersifat “niscaya” atau
“mungkin”.
3.
Logika deotik. Ia mencoba merumuskan
logika kewajiban, misalnya, dalam etika.
Keabsahan dari setiap system ini sudah diperdebatkan. Kendati peranan
logika dalam penjelasan seringkali terlampau ditekankan, misalnya oleh kaum
positivis logis, namun terhadap bbeberapa fakta berikut ini tidak terdapat
keraguan rasional. Pertama, logika kontemporer, menyajikan kemajuan
tersendiri bila dibandingkan dengan logika apa pun yang mendahuluinyan. Kedua,
logika modern menyediakan perangkat yang berharga, seringkali sangat diperlukan
bagi perkembangan sistem-sistem formal dari pemikiran. Dan ketiga,
rumusun-rumusan teknis logika modern berfungsi menjelaskan banyak masalah
filosofis. [29]
Hasil-hasil gemilang yang menentukan keadaan logika matematis sekarang
ini diperoleh pada tahun 1930-an oleh goedel,Tarski, dan A. Churh. Pada masa
sekarang logika matematis meneliti beranekajenis kakulus logis. Dan ia menaruh
minat kepada problem-problem semantis dan metalogika pada umumnya. Logika
matematis memberikan pengaruh besar pada matematika kontemporer. Ia diterapkan
dalam rekayasa elektris (studi tentang kontak-kontak relay dan sistem-sistem
elektronik ); dalam komputer-komputer (pemrograman); dalam kibernetika (teori
tentang alat-alat otomatis); dalam neurofisiologi, dan linguistik (linguistik
dansemiotika structural) modern berfungsi menjelaskan banyak masalah filosofis.
Kesebelas, Logika Modal yaitu: Logika modal merupakan suatu system
logika. Ia mempelajari struktur proposisi-proposisi yang memuat
modalitas-modalitas seperti “keniscayaan, kenyataan, kemungkinan,kebetulan”,
dan negasi-negasinya. Usaha-usaha untuk membangun logika modal dikerjakan oleh
Aristoteles, kaum Stoa, kaum Skolastik. Mereka merumuskan sejumlah definisi dan
prinsipnya yang penting. Studi tentang modalitas-modalitas dengan mempergunakan
logika matematis (sisbolis) dirintis oleh C. Lewis dan Lukasiewicz. Sebagian prinsip dasarnya sebagai berikut :
a.
Jika sesuatu itu niscaya, maka ia harus
menjadi mungkin.”
b.
“Jika sesuatu itu niscaya, maka ia tidak
mustahil.”
c.
Jika sesuatu itu mustahil, maka ia secara
niscaya tidak betul (salah).”
d.
“Jika sesuatu secara niscaya tidak betul,
maka ia mustahil.”
e.
“Jika sesuatu diniscayakan oleh sesuatu
yang secara niscaya betul, maka ia sendiri betul secara niscaya.”
f.
“Apa yang niscaya sungguh-sungguh aktual
maupun sungguh-sungguh mungkin.”
Keduabelas, Logika
Probabilitas yaitu: Logika
probabilitas merupakan logika yang mempelajari pernyataan-pernyataan yang
bersifat probabilistik. Dan tidak menjadi soal entah probabilitas itu dianggap
sebagai suatu ciri dari suatu pernyataan individual (dalam hal ini probabilitas diatributkan pada
pernyataan individual itu sebagai suatu hal yang ada antara kebenaran dan
kekeliruan) atau sebagai suatu penilaian terhadap hubungan antara sepasang
pernyataan dua-digit (pernyataan dengan nilai kebenaran antara 0 dan 1 ) yang
biasa.
Berbeda dari teori probabilitas, logika probabilitas tidak menuntut agar
probabilitas diungkapkan dengan suatu angka yang persis. Kerangka logis yang
dibangun atas dasar nilai ini digunakan untuk mencapai suatu putusan yang tepat
mengenai hipotesis bukan dengan membandingkannya dengan kenyataan melainkan
melalui pernyataan-pernyataan lain yang mengungkapkan pengetahuan yang
tersedia. Maka kita dapat menilai
derajat probabilitas hipotesis “Besok hari akan hujan” berdasarkan kesesuaian dengan ramalan cuaca.
Karena itu probabilitas suatu hipotesis merupakan fungsi dari dua
argumen: hipotesis itu sendiri dan informasi yang tersedia. Probabilitas dari
hipotesis-hipotesisi yang kompleks, apabila probabiliatas-probabilitas dari
semua pernyataan yang termuat di dalamnya diketahui, dikalkulasikan dalam semua
system logika probabilitas seturut aturan-aturan kakulasi probabilitas
matematis. Karenanya, logika probabilitas merupakan salah satu
interpretasi terhadap kalkulasi ini. [30]
Tampaknya penerapan yang paling berhasil dari logika probabilitas terdapat dalam logika induktif.
Referensi-referensi bagi logika probabilitas di buat oleh Aristoteles dan kaum
skeptis dalam zaman kuno. Tetapi Leibniz merupakan filsuf pertama yang
mempunyai gagasan serius tentang pokok ini. Pemisahan logika probabilitas dari
teori probabilitas mulai pada pertengahan abad ke-19, manakala perhatian
terhadap yang kedua dipusatkan pada peristiwa-peristiwa.
Ketigabelas, Logika
Simbolik yaitu: Logika yang
disajikan dalam simbolisasi abstrak yang terdiri dari unsur-unsur yang
didefinisikan dengan baik seperti: simbol-simbol, tanda-tanda, kata-kata
sambung, aturan-aturan penggabungan symbol,
aturan-aturan substitusi, aturan-aturan penarikan kesimpulan (inferensi)
dan aturan-aturan derivasi (mencari asal-usul kata).[31]
E. Kesimpulan
Logika merupakan komponen
pemikiran dan premis-presis bagian dari kawasan filsafat, sebab banyak orang
berkata berpikir dengan lagika adalah berfilsafat, baik disadari (dikenal)
maupun tidak disadarai. Kemampuan logika
di dalam menyususn pola pemikiran filsafat merupakan suatu hal yang sudah lazim
(limrah), karena jika orang tidak mampu berpikir secara logic mustahil dia
mampu merumuskan pola pemikiran filsafat.
Jadi logika merupakan bagian dari filsafat.
Logika di dalam masyarakat umum
kurang dikenal pola premisnya, akan tetapi metode logika banyak kita jumpai di
masyarakat umum. Masyarakat pada umumnya
memang menggunakan pola logika tradisional ( pola pemikiran warisan), akan
tetapi tidak sedikit masyarakat awam menggunakan pola logika modern. Sebagaimana telah disinggung di atas tentang
keragaman logika jika kita telaah di masyarakat banyak digunakan, waulaupun
tidak secara maksimal sebab masyarakat umum (awam) tidak mengenal pola
pemikiran yang sistematis, mereka hanya berpikir prakmatis. Pola memikiran logika secara umum hanya
digunakan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi. Jadi, logika secara umum merupakan bagian
dari pola hidup masyarakat untuk mencapai hajat hidup mereka untuk mencapai kesuksesan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S.A., The
Spirit of Islam, London, Christopher, 1985
Bakhtiar, Amsal,
Filsafat Ilmu, Jakarta
: PT. RajaGrafindo Persada, 2007, cet.,
ke-5
Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002,
cet. ke-3
Bahesty dan Bahonar,
Philosopi of Islam,
terjemah, Jakarta: Risalah Masa, 1991,
cet. ke-1
Beerling,
Dkk., Inleiding tot de
Wetenschapsleer; Terjemah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997,
cet. ke-4
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000,
cet. ke-13
Sudarto, Metodologi
Penelitian filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997,
cet. ke2
Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesia Dictionary, Jakarta: Modern English Pres, 1996,
t.cet.
Poerwadarmita, W.S.J., Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN, Balai Pustaka, 1983), cet ke-2
[1] Akal yaitu daya upaya, cara melakukan sesuatu,
pemikiran untuk memecahkan masalah-daya pikir, ingatan dan sebagainya. Akal itu menurut filosof terbagi dua, ada
akal sehat dan akal budi. Lihat,
Yasyin Sulchan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1997),
cet. Ke-1, h. 28-30
[2] Kritis adalah selalu bertanya (banyak bertanya yang
tiada batas), bertanya dari berbagai segi dan pandangan secara luas dan
menyeluruh serta mendalam. Lihat, Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1998), cet. ke-6,
h. 16
[3]Untuk lebih mengetahui arti logis, lihat penjelasan
tentang logika, karena logis merupakan berubahan kata dari logika. Selanjutnya kata logis adalah argumen
deduktif yang secara formal sah dan yang premis-premisnya semuanya benar
(secara empiris), dan oleh karena itu konklusinya harus benar juga, dikatakan
logis. Contoh: Premis pertama,”Semua binatang mati.” Premis kedua,”Semua anjing binatang.” Kesimpulan:
“Karena itu, semua anjing mati.”
Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 542
[4]Sistematis adalah berfikir melalui tahapan-tahapan
tertentu yang saling berurutan menurut system yang ada. Lihat, Sulchan Yasyin, Yasyin Sulchan,
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1997),
cet. Ke-1, h. 442; Selanjutnya
lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1998), cet. ke-6,
h. 17; Lihat, Beerling
dkk., Inleiding tot de
Wetenschapsleer; edisi
terjemah, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997),
cet. ke-4, h. 7
[5]Radikal adalah berfikir secara mendalam sampai akar
yang ujung, artinya sampai menyentuh akar persoalannya dan esensinya. Lihat,
Sudarto, Metodologi
Penelitian filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1997,
cet. Ke-2, h. 30
[6]Lihat, Ibid., h. 29-31;
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1998), cet. ke-6.,
h. 8-9
[7]Bahesty dan Bahonar,
Phylosopi of Islam,
terjemah, (Jakarta: Risalah Masa,
1991), cet. ke-1, h. 40
[8] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000),
cet. ke-13, h. 46
[9] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 542
[10] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 520
[11] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 520
[12] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2007), cet., ke-5, h. 212
[13] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 541
[14] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 521
[15] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 522
[16] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 5522
[17] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 523
[18] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 525
[19] Deduktif (deduksi) adalah suatu cara atau jalan yang
dapat dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari
pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum, kemudian menarik
kesimpulan bersifat secara khusus (dari umum ke khusus). Lihat, Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada,
1997), cet. Ke-2, h.58
[20] Dealektis aladalah jalan memahami kenyataan adalah
mengikuti gerakan pikiran atau konsep, dengan pikiran dan konsep yang benar,
maka ia akan dibawa ke dalam pikiran sendiri.
Karena mengikuti pikiran dan kenyataan itu maka metode ini disebut
dialektis. Lihat, Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada,
1997), cet. Ke-2, h. 35
[21] Induktif (induksi) adalah suatu cara atau jalan yang
dapat dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari
pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik
kesimpulan bersifat secara umum (dari khusus ke umum). Lihat, Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada,
1997), cet. Ke-2, h.57
[22] Induktif tradisional artinya berpikir tanpa memiliki rumus
tertentu, hanya menurut tradisi nenek moyang, sehingga hanya warisan pola
pemikiran lama. Sudarto, Metodologi
Penelitian filsafat,
(Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997), cet. Ke-2, h.28
[23] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.527
[24] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.536
[25] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.536
[26] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h. 537
[27] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.538
[28] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.541
[29] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.5539
[30] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.541
[31] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
2002), cet. ke-3, h.
542; Pemaparan tentang
macam-macam logika, selanjutnya lebih lengkapnya; Lihat, Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000),
cet. ke-13, h. 39-46 dan 119-139; Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada,
1997), cet. Ke-2, h.31-38, 42-53
dan 57-67.
No comments:
Post a Comment
Mohon Diisi Dengan Kritik dan Saran Yang Membagun