وَمَا
كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلّمَهُ اللّهُ إِلاّ وَحْياً أَوْ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ
أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَآءُ إِنّهُ عَلِيّ حَكِيمٌ
Artinya:”Dan
tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus
seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang
Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”(Asy-Syura
: 51)
وَكَذَلِكَ
أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحاً مّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ
وَلاَ الإِيمَانُ وَلَـَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نّهْدِي بِهِ مَن نّشَآءُ مِنْ
عِبَادِنَا وَإِنّكَ لَتَهْدِيَ إِلَىَ صِرَاطٍ مّسْتَقِيمٍ
Artinya: “Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula
mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura : 52)
ان
روح القدس نفث في روعي : أن نفسا لن تموت حتي تستكمل رزقها وأجلها , فاتقوا الله وأجملوا في الطلب
Artinya : “Sesungguhnya ruh qudus (Jibril) telah menghembuskan wahyu
ke dadaku, bahwasanya seseorang tidak akan mati sebelum menerima lengkap rezeki
dan ajalnya, maka bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah dan sederhanakanlah
dalam permohonan.”
Sebab an-Nuzul ayat di atas berkenaan dengan perkataan Yahudi terhadap
Nabi saw. Seorang Yahudi berkata kepada Nabi
saw., “Hai Nabi bagaimana caramu
dapat berbicara dan melihat Allah, jika kamu seorang Nabi, sebagaimana
berbicanya dan melihatnya Musa kepada Allah.
Sesungguhnya kami tidak akan beriman kepadamu hingga kamu mengerjakan
yang demikian itu.” Lalu turunlah ayat surat as-Sura ayat ke 51
tersebut.[3]
Firman Allah (wa maa kaana libasyarin ayyukallimahullahu illa wahyan)
menurut mujahid hembusan yang dihumbuskan pada hati Nabi saw. yang berbentuk
ilham, atau ada kalanya melihat langsung di dalam tidurnya.[4]
Firman Allah (au miuwaraai hijaabin) atau di belang tabir
sebagaimana Musa as. Berbicara dengan Tuhannya.
(au yursala rasulan) dengan mengutus seorang utusan, seperti
pengutusan Jibril as. kepada Musa as. [5]
Firman Allah (fayuhaa biidnihi maa yasyaa) ) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia
kehendaki. Menurut Ibnu ‘Abbas, Jibril
turun untuk menyampaikan wahyu Tuhan kepada para Nabi, di antara mereka tidak
bisa melihat Jibril kecuali Nabi Muhammad saw., ‘Isa, Musa, Zakaria. Adapun selain mereka berempat dalam proses
penurunan wahyu melalui ilham di dalam tudur mereka. [6]
Firman Allah (innahu ‘aliyyun hakiim) sesungguhnya
Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Dalam ayat ini Allah memuji dirinya sendiri , karena memiliki ketinggian
melampai segala sesuatu yang ada dan memiliki kebijaksanaan di dalam mengatur
ciptaannya.[7]
Firman Allah (wa kadhalika au haina ilaika ruuhanmin
amrina) Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah
Kami. Sebagaimana Allah mewahyukan
kepada seluruh rasul-Nya, demikian pula Allah mewahyukan (al-Qur'an) kepada
Muhammad beserta rahmad-Nya. [8] Seputar makna ruhan pada
ayat diatas, para ulama berbeda pendapat, di antara pendapat mereka adalah ruhan
bermakna kenabian, rahmad dari Allah, wahyu, kitab, Jibril, dan al-Qur'an.[9]
Firman Allah (ma kunta tadri malkitabu walal iimaanu) Sebelumnya
kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui
apakah iman itu. Sebelum adanya wahyu
Tuhan kepada Nabi Muhammad saw., beliau tidak mengetahui kitab apapun dan
keimanan.[10]
Firman Allah (walaakin ja’alnaahu nuuran) tetapi
Kami menjadikan Al Quran itu cahaya.
Allah menciptakan al-Qur'an sebagai kitab pedoman yang memberikan
penerangan untuk seluruh manusia.
Al-Qur'an menerangi dengan penerangan yang telah Allah jelaskan di
dalamnya, supaya umat manusia mengarah pada kehidupan yang benar.[11]
Firman Allah (nahdii bihii mayyasyaau min ‘abdinaa) Kami
tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami (yang
bertaqwa)[12]. Allah memberi petunjuk
kepada para hambanya dengan al-Qur'an.
Petunjuk itu hanya kepada para hamba-Nya yang dikehendaki dengan
memberikan hidayah untuk menuju jalan yang benar.[13]
Firman Allah (wa innaka latahdii ilaa shiraathal
mustaqiim) Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan
yang lurus. Dalam ayat ini Allah
menerangkan kepada Nabi Muhammad saw., seakan-akan Tuhan berkata kepada Nabi
Muhammad saw. “Wahai Muhammad engkau benar-benar memberi petunjuk (berda’wah)
menuju jalan yang lurus kepada hamba-hamba-Ku (yaitu agama Islam).[14]
Jadi dari uraian tafsir surat as-Sura ayat 51-52 adalah, ada kalanya isi
wahyu Allah diterima langsung oleh seorang Nabi dengan hanya mendengar kalam
Ilahi tanpa dapat melihatnya sebagaimana telah dialami oleh Nabi Musa di atas
Thur Sina.[15]
Allah dapat pula menurunkan wahyunya kepada seorang Rasul dengan mengutus
seorang malaikat, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Muhammad saw. tatkala
didatangi oleh malaikat jibril yang menjelma sebagai seorang pria untuk
menyampaikan wahyu Allah kepadanya.[16]
Selanjutnya, Allah berfirman, “Dan demikianlah Kami telah menurunkan
kepadamu hai Muhammad, wahyu al-Qur'an yang merupakan cahaya bagimu untuk
memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Ku ke jalan yang lurus, jalan yang
dikehendaki dan diridhai Allah, Tuhan yang memiliki kerajaan langit dan bumi
dan kepadanya kembali segala urusan.[17]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an al-Karim
At-Thabari, Ibnu
Jarir, Jami’ al-Bayan, (Bairut :
Dar al-Fikr, 2001), Jilid 13
Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali, Shafwah at-Tafaasir, (Cairo :
Dar ash-Shabuni, 1997), Jilid 3
Ibnu Kasir. Tafsir al-Qur'an
al-‘Adhim, (Cairo :
Dar al-Hadis, 2002), Jilid 7
Qurtubi, ‘Abd Allah bin Ahnad al-Anshari, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur'an
, (Cairo
: Dar al-Hadis, 2002),
Jilid 8
Wahbah Zuhaili, Tafsir
al-Munir, (Bairut : Dar al-Fikr,
1991), Juz 25
[1]
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Bairut :
Dar al-Fikr, 1991), Juz 25, h. 103
[2]Ibnu
Kasir. Tafsir al-Qur'an al-‘Adhim, (Cairo
: Dar al-Hadis, 2002),
Jilid 7, h. 217
[3]Wahbah
Zuhaili, Tafsir al-Munir,
(Bairut : Dar al-Fikr, 1991), Juz 25, h. 105;
Qurtubi, ‘Abd Allah bin Ahnad
al-Anshari, al-Jami’ Li Ahkam
al-Qur'an , (Cairo : Dar al-Hadis,
2002), Jilid 8, h. 369.
[4]
Qurtubi, ‘Abd Allah bin Ahnad
al-Anshari, al-Jami’ Li Ahkam
al-Qur'an , (Cairo :
Dar al-Hadis, 2002), Jilid 8,
h. 369
[5]
Qurtubi, ‘Abd Allah bin Ahnad
al-Anshari, al-Jami’ Li Ahkam
al-Qur'an , (Cairo :
Dar al-Hadis, 2002), Jilid 8,
h. 369
[6]Qurtubi, ‘Abd Allah bin Ahnad al-Anshari, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur'an
, (Cairo
: Dar al-Hadis, 2002),
Jilid 8, h. 369
[7]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 13, h. 52
[8]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 13, h. 52
[9]
Qurtubi, ‘Abd Allah bin Ahnad
al-Anshari, al-Jami’ Li Ahkam
al-Qur'an , (Cairo :
Dar al-Hadis, 2002), Jilid 8,
h. 370
[10]
Qurtubi, ‘Abd Allah bin Ahnad
al-Anshari, al-Jami’ Li Ahkam
al-Qur'an , (Cairo :
Dar al-Hadis, 2002), Jilid 8 ,
h. 371
[11]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 13, h. 53
[12]
Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali, Shafwah at-Tafaasir, (Cairo :
Dar ash-Shabuni, 1997), Jilid 3,
h. 136
[13]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 13, h. 53
[14]
At-Thabari, Ibnu Jarir,
Jami’ al-Bayan,
(Bairut : Dar al-Fikr, 2001),
Jilid 13, h. 53; Ash-Shabuni,
Jilid 3, h. 136
[15]Ibnu
Kasir. Tafsir al-Qur'an al-‘Adhim, (Cairo
: Dar al-Hadis, 2002),
Jilid 7, h. 218
[16]
Ibnu Kasir. Tafsir al-Qur'an al-‘Adhim, (Cairo
: Dar al-Hadis, 2002),
Jilid 7, h. 218
[17]
Al-Qur'an, Fussilat : 44.
No comments:
Post a Comment
Mohon Diisi Dengan Kritik dan Saran Yang Membagun