Sumber Pengetahuan dan Kriteria Kebenaran
Oleh:
I. Prakata
Dalam interaksinya dengan dunia dan lingkungan sosial sekitarnya, manusia membutuhkan pengetahuan. Kebutuhan hidup manusia dapat juga dikatakan sebagai suatu faktor yang mendasari dan mendorong berkembangnya pengetahuan manusia. Memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk dapat hidup merupakan suatu bagian integral dari cara berada manusia. Dalam pengertian ini, kegiatan mengetahui merupakan bagian hakiki dari cara berada manusia (knowing is a mode of being).[1]
Kajian tentang sumber pengetahuan dan kriteria kebenaran merupakan lingkup bahasan epistemologi. Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Kajian epistemologi ini juga berusaha mengkaji secara kritis pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Pertanyaan besar yang mesti dijawab dalam bahasan epistemologi ini adalah, "Bagaimana pengetahuan diperoleh dan diuji kebenarannya?".
Dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba memaparkan sekilas tentang apa hakikat pengatahuan itu? Apa saja yang menjadi sumber pengetahuan? Dan bagaimana argumentasi yang diajukan oleh beberapa aliran pemikiran tantang sumber pengetahuan? Selanjutnya, penulis melangkah ke pembahasan berikutnya dengan mengetengahkan beberapa pokok bahasan seperti apa hakikat kebenaran? Dan bagaimana kriteria kebenaran berikut argumentasi yang terdapat dalam teori-teori kebenaran?
II. Pengetahuan dan Sumbernya
Bagi filsafat Yunani kuno, pengetahuan (episteme) berbeda dengan opini (doxa). Pengetahuan bentuk tertinggi adalah kebijaksanaan (sophia) yang merupakan pengetahuan tentang keseluruhan (menurut Plato) dan pengetahuan tentang prinsip-prinsip pertama atau sebab-sebab pertama segala sesuatu (bagi Aristoteles).[2] Pengetahuan pada dasarnya merupakan keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek; dengan kata lain, menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada di luar akal. Secara semantik, pengetahuan adalah apa yang dikenal atau hasil pekerjaan tahu.[3] Hasil pekerjaan tahu itu adalah hasil dari: kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Ringkasnya, semua milik atau isi pikiran adalah pengetahuan.
Dalam artikulasi lain disebutkan bahwa pengetahuan merupakan suatu sistem gagasan yang bersesuaian dengan sistem benda-benda dan dihubungkan oleh keyakinan.[4] Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang mesti dipenuhi dalam pengetahuan, yaitu: Satu, adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran. Dua, gagasan tersebut sesuai dengan benda-benda yang sebenarnya ada. Tiga, adanya suatu keyakinan tentang adanya persesuaian tersebut.
Jika salah satu dari tiga unsur tersebut tidak ada, maka pengetahuan tidak mungkin mewujud. Artinya, meskipun ada gagasan dan ada benda-benda yang sesuai dengan gagasan tersebut, namun tidak ada keyakinan tentang persesuaian tersebut, maka pengetahuan tidak akan terjadi. Demikian halnya jika ada gagasan, ada keyakinan tentang persesuaian antara gagasan dan benda, tetapi benda tersebut tidak ada, maka pengetahuan juga tidak akan terjadi.[5]
Selanjutnya, Sidi Gazalba mengklasifikasikan pengetahuan tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu: pengetahuan indra (knowledge), pengetahuan ilmu (science),[6]dan pengetahuan filsafat.[7] Pertama, pengetahuan indra yaitu melihat, mendengar, merasa, mencium segala sesuatu. Pengalaman indra ini melalui proses pemikiran langsung menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan. Kedua, pengetahuan ilmu yaitu berfikir secara sistematis, radikal dan disertai dengan riset dan eksperimen. Hasil berfikir dan berbuat dengan metode ini juga membentuk pengetahuan. Ketiga, pengetahuan filsafat, yaitu memikirkan segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sistem berfikir ini juga membentuk pengetahuan.[8] Pada intinya, kategorisasi pengetahuan tersebut bukanlah sebuah pemisah (gap) jika mengkaji tentang sumber pengetahuan. Ketiga kategori pengetahuan tersebut akan menemukan titik temu dalam pembahasan sumber pengetahuan.
Dari uraian di atas, sebuah pertanyaan akan mengemuka, yaitu: Dari mana pengetahuan itu diperoleh? Untuk menjawabnya, setidaknya dalam sejarah filsafat disebutkan bahwa pengetahuan diperoleh melalui salah satu dari tiga jalan, yakni: Pertama, pengetahuan yang diperoleh dari pengamatan langsung. Kedua, pengetahuan yang diperoleh dari suatu konklusi. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari kesaksian dan autoritas.[9]
Pertama, Pengetahuan Langsung
Pengetahuan langsung dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu: persepsi-ekstern dan persepsi-intern. Pada persepsi-eksterm, secara langsung kita dapat mengetahui adanya sesuatu benda dalam dunia luar dengan melalui alat-alat indra seperti telinga, hidung, mata, dan sebagainya. Pada persepsi-intern, yang disebut sebagai introspeksi, secara langsung kita dapat mengetahui keadaan dalam diri kita sendiri, seperti kesenangan dan kesedihan.
Berkenaan dengan hal ini, Alexis Carrel (1987) –sebagaimana dikutip Watloly- menyetujui kebenaran pendapat yang menunjukkan bahwa pengetahuan indrawi yang dimiliki manusia diperoleh melalui kemampuan indranya, namun selalu bersifat relasional.[10] Menurutnya, kemampuan itu diperoleh manusia sebagai mahluk biotik, namun tidak semata sebagai mahluk biotik, sebab mahluk biotik lainnya seperti pohon atau bunga tidak memilikinya. Daya indra menghubungkan manusia dengan hal-hal konkret-material dalam ketunggalannya, entah nyata atau semu. Pengetahuan indrawi bersifat parsial disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan indrawi ini berhubungan dengan sifat khas fisiologi indra dan ciri objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indra menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi objeknya, seperti bunyi, cerah, atau bentuk dengan keras-lunaknya, rasa, atau bau, dan sebagainya. Dengan demikian, pengetahuan indrawi menjadi berbeda-beda menurut perbedaan indra dan terbatas pada sensibilitas organ-organ indra tertentu.
Dari uraian di atas, dapat ditarik sebuah 'kesimpulan sementara' bahwa secara epistemologis betapapun objektifnya pengetahuan indrawi tersebut, jelas bahwa ia hanya ditangkap oleh satu indra saja. Oleh karena itu, ia tidak dapat dipandang sebagai pengetahuan yang utuh.[11] Dengan kata lain, jenis pengetahuan indrawi ini belum mempunyai dasar objektif yang kokoh. Meskipun demikian, pengetahuan indrawi ini sangatlah penting karena dapat bertindak sebagai pintu gerbang pertama untuk menuju pengetahuan yang lebih utuh.
Kedua, Pengetahuan Konklusi
Dalam menarik suatu konklusi atau suatu pemikiran, kita dapat mengetahui sesuatu yang belum kita ketahui dengan pertolongan materi atau data yang ada. Materi atau data yang ada itu kita peroleh dari pengetahuan langsung. Jenis pengetahuan ini sering juga disebut sebagai pengetahuan inferensial.[12]
Ketiga, Pengetahuan Kesaksian dan Autoriti
Kesaksian berarti keterangan yang diperoleh dari seseorang yang dapat dipercaya. Oleh karena lapangan untuk memperluas pengetahuan manusia melalui pengetahuan langsung sangat terbatas, sedangkan kebutuhan sehari-hari menghendaki perluasan pengetahuan yang dapat dicapai oleh tiap-tiap individu, maka orang mencari cara lain untuk mendapatkan pengetahuan itu dan ke luar dari batas-batas pengetahuan langsung.
Sedangkan autoriti menghendaki kekuatan untuk mempengaruhi pendapat dan menanamkan kepercayaan. Kekuatan ini dapat dimiliki oleh individu, benda atau lembaga. Sebelum diterima, pengetahuan yang diperoleh dengan autoriti harus diuji dahulu dengan hati-hati sekali karena hal yang seperti ini dengan mudah dapat menyesatkan kita disebabkan oleh pengaruh perasaan kita terhadap lembaga, benda atau individu tersebut.[13]
Ketika mengkaji hakikat pengetahuan ditemukan dua teori, yaitu: realisme dan idealisme,[14] maka dalam pembahasan tentang cara memperoleh pengetahuan atau sumber pengetahuan didapati tiga macam teori, yaitu; rasionalisme, empirisme, dan iluminasionisme.
A. Rasionalisme
Rasionalisme menempati posisi penting dalam teori pengetahuan. Istilah ini biasanya dihubungkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18. Di antara tokoh-tokoh terkemuka dalam aliran ini adalah seperti Rene Descartes (1596-1650), Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716), Baruch de Spinoza (1632-1677) dan Christian Wolff (1679-1754).[15]
Rasionalisme ialah paham yang beranggapan bahwa akal itulah sebagai alat pencari dan pengukur pengetahuan.[16] Artinya, pengetahuan dicari dengan akal dan temuannya juga diukur dengan akal. Dalam hal ini, akal berhajat pada bantuan pancaindra untuk memperoleh data dari alam nyata, namun hanya akal yang menghubungkan data tersebut satu sama lain yang pada gilirannya melahirkan apa yang dinamakan pengetahuan itu. Dalam penyusunan ini, akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal.[17] Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkret, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Penganut teori ini memakai metode deduktif[18] dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Ide ini sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya.
Adapun kesulitan yang ditemui dalam teori ini adalah karena tidak semua data yang ada dalam alam dapat dikumpulkan. Alam terlalu besar, sedangkan masa berjalan terus. Yang dapat dikumpulkan hanyalah sebagian dari data dan itu pun data yang telah terjadi; dengan kata lain, data yang belum terjadi tidak dapat dibuat bahan observasi. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh bukanlah pengetahuan yang lengkap, tetapi pengetahuan yang belum sempurna. Berdasarkan ini, sebagian filosof bersikap skeptis atau ragu bahwa kebenaran yang sebenarnya bisa dicapai oleh manusia.[21]
B. Empirisme
Empirisme merupakan paham filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan yang sahih harus bersumber dari pengalaman (empiria). Dengan pendirian dasar seperti itu, pandangan mereka disebut empirisme.[22] Paham ini menyalahkan serba-budi. Pasalnya, prinsip-prinsip rasional sebagai pangkal tolak serba-budi sesungguhnya dijabarkan dari pengalaman konkret juga.[23] Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa rasionalisme sama sekali ditolak karena dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam rangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam rangka empirisme.[24]
Sikap empiris semacam ini cukup menggejala di Inggris, sehingga seringkali tradisi Anglo-Saxon disamakan dengan tradisi empiris. Sebetulnya, dalam pemikiran Francis Bacon di akhir Renaisans, pemikiran empirisme ini telah muncul, yaitu ketika dia menjelaskan metode induksinya.[25] Hanya saja, baru dalam filsafat Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), dan David Hume (1711-1776) pengalaman baik berupa indrawi maupun batiniah menjadi pokok refleksi utama.[26] Atas dasar itulah, para filosof tersebut dianggap sebagai perintis sikap empiris yang menggejala pada zaman ilmu dan teknologi dewasa ini.
Dari segi latar belakang kemunculannya, empirisme tak jauh berbeda dengan rasionalisme karena keduanya memiliki maksud yang jelas untuk mengganti cara berfikir tradisional. Dengan mengembalikan pengetahuan pada pengalaman, empirisme berusaha membebaskan diri dari bentuk-bentuk spekulasi spiritual yang menandai metafisika tradisional. Dengan cara itu juga, empirisme berusaha memisahkan filsafat dari teologi. Seiring dengan perputaran waktu, terlihat dengan jelas bahwa para filosof dari aliran ini memelopori kelahiran ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang didasarkan pada observasi empiris, seperti psikologi.
Seperti yang disebutkan di atas bahwa pengalaman yang konkret merupakan sumber pengetahuan dalam aliran empirisme. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindra manusia. Gejala tersebut ternyata memiliki beberapa karakteristik tertentu seperti terdapatnya pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu.[27] Berangkat dari pandangan ini, muncul permasalahan pada penyusunan pengetahuan empirisme karena pengetahuan yang dikumpulkannya itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Lebih tegasnya dapat dikatakan bahwa kumpulan mengenai suatu fakkta atau kaitan antara beragam fakta belumlah menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis.
Selanjutnya, anggapan mereka tentang eksistensi pancaindra sebagai penangkap gejala nyatanya dunia fisik melahirkan sebuah permasalahan, yaitu: Seandainya kita mengetahui dua fakta yang nyata, misalnya rambut keriting dan intelegensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenai kaitan antara kedua fakta tersebut? Apakah rambut keriting dan intelegensi manusia memiliki kaitan satu sama lain dalam hubungan kausalitas? Sekiranya dijawab "tidak", bagaimana sekiranya penalaran induktif membuktikan sebaliknya? Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimana dugaan kita selama ini. Harus terdapat suatu kerangka pemikiran yang memberi latar belakang mengapa A mempunyai kaitan dengan B, sebab kalau tidak, maka pada hakikatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dalam kaitan kausalitas.[28] Sebagaimana telah disebutkan di atas, pengetahuan indrawi bersifat parsial disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan yang lainnya. Pancaindra itu sendiri sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi ia bisa melakukan kesalahan.
C. Iluminasionisme
Untuk menghubungkan teori rasionalisme dan empirisme, Emmanuel Kant berusaha menjelaskan dengan tingkat-tingkat pengenalan roh, dari tingkat yang terendah sampai yang tertinggi. Pengenalan yang terendah adalah pengamatan indrawi kemudian akal, akhirnya budhi. Kerja akal mengatur data-data indrawi, yaitu dengan mengemukakan putusan-putusan lewat sintesis yang teratur. Budhi merupakan semacam penghubung batin yang transenden antara cerapan indrawi dan akal. Budhi ini, menurut Kant, adalah daya pencipta pengertian murni atau mutlak, yang tidak diberikan oleh pengalaman.[29]
Pengertian yang diperoleh budhi ini tidak lewat pengalaman, contohnya pengertian atau ide tentang Tuhan. Olehnya itu, pengetahuan yang semacam ini juga disebut dengan intuisionisme. Yaitu pemahaman atau pengenalan terhadap sesuatu secara langsung dan bukan melalui penyimpulan (inferensi), penglihatan langsung atau penangkapan (apherensi) kebenaran.[30] Dalam kaitan ini, wahyu dan intuisi merupakan sumber pengetahuan. Selanjutnya, dalam terminologi tasawuf, intuisi disebut dengan makrifah, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Istilah ini juga sering disebut dengan iluminasi.[31] Intuisi dalam filsafat Barat diperoleh lewat usaha perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam makrifah diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan. Adapun tokoh filsafat yang tersebut dalam kajian intuisionisme ini adalah Immanuel Kant (1724-1804).
Hanya saja, pengetahuan intuisi ini banyak mendapatkan tantangan, terutama sifat objektivitasnya. Namun, pengetahuan ini telah terjadi pada beberapa orang tertentu dengan pola yang sama, sehingga bisa dianggap sebagai pengetahuan intersubjektivitas. Permasalahan yang muncul kemudian adalah apakah pengetahuan intersubjektivitas ini terbilang ilmiah? Untuk menjawab ini, penulis mengetengahkan paparan Mehdi Ha'iri Yazdi –sebagaimana juga dikutip oleh Amsal Bakhtiar- yang memandang pengetahuan jenis ini termasuk dalam kategori ilmiah. Alasannya, pengetahuan korespondensi melibatkan objek di luar dirinya, sedangkan pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan tentang yang di luar harus didahului dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Tidak mungkin seseorang mengetahui sesuatu objek di luar dirinya tanpa mengetahui terlebih dahulu pengetahuan yang ada dalam dirinya. Pengetahuan dalam dirinya ini diperoleh berkat anugerah Tuhan, baik sejak lahir maupun setelah dewasa. Kalau semua orang mengakui adanya pengetahuan tentang dirinya 'mengetahui' sebelum mengetahui yang lain, maka pengetahuan iluminasi adalah objektif dan bisa diterima secara ilmiah.[32]
III. Hakikat dan Kriteria Kebenaran
Kebenaran dalam term Inggris disebut truth, sedangkan dalam istilah Anglo-Saxon disebut sebagai treouth yang berarti kesetiaan, dan dalam bahasa Latin maupun Yunani disebut aletheia. Istilah ini merupakan lawan dari kesalahan, kesesatan, kepalsuan dan terkadang bermakna opini.[33] Secara umum, kebenaran adalah soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang menjadi objeknya, yaitu terdapatnya persesuaian dalam hubungan antara objek dan pengetahuan kita tentang objek tersebut.[34] Dalam pengertian ini, kenyataan yang sesungguhnya menjadi tolok ukur penentuan penilaian. Secara epistemologis, kebenaran selalu bersifat problematis dan aktual dari sekedar sebuah rumusan logis yang berlaku mutlak definitif.
Meskipun problem kebenaran ini selalu menjadi pokok dalam pengetahuan, bahkan orang tidak jarang berbicara mengenai perjuangan menegakkan kebenaran, tetapi pendekatannya dalam mencapai kebenaran itu tampaknya masih bersifat pragmatis. Kondisi tersebut terjadi tak ubahnya orang bersikap terhadap pengetahuan. Problem kebenaran ini pun dalam perkembangannya telah memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi.[35]
Telaah epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu: (a) kebenaran epistemologis, (b) kebenaran ontologis, dan (c) kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah pengertian kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, yang terkadang disebut dengan veritas cognition atau veritas logica. Sedangkan kebenaran dalam arti ontologis ialah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Adapun kebenaran dalam arti semantis yaitu kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa, yang sering juga disebut kebenaran moral (veritas moralis).[36]
Untuk memahami pengetahuan dengan lebih baik, suatu hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana proses pengetahuan tersebut dimulai. Sejalan dengan itu, hal yang paling utama adalah adanya kebenaran di dalam pencarian pengetahuan. Setidaknya, di dalam pengetahuan dikenal adanya teori kebenaran klasik, seperti: (a) teori korespondensi, (b) teori koherensi, (c) teori pragmatik, (d) teori performatif, (e) teori konsensus, dan (f) teori semantik.[37]
A. Teori Korespondensi
Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut. Teori ini dipelopori oleh Bertrand Russell (1872-1970).[38]
Dalam teori ini, peran subjek sangatlah penting. Pasalnya, subjek atau si pengamat akan berhadapan dengan objek atau sesuatu yang diamatinya. Dengan persentuhan indrawi maka apa yang dilihatnya memiliki persesuaian dengan objek tersebut. Jaminan kebenaran di sini adalah adanya kesamaan atau setidak-tidaknya kemiripan struktur antara apa yang dinyatakan (proposisi yang diungkapkan dalam suatu kalimat) dan suatu fakta objektif di dunia nyata yang dirujuk oleh pernyataan tersebut. Contoh pernyataan berdasarkan teori kebenaran korespondensi ini yaitu: "Pemenang Pilpres (Pemilihan Presiden) Indonesia tahun 2004 tahap II adalah pasangan SBY-Kalla" adalah benar, karena isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Lain halnya kalau dikatakan "Pemenang Pilpres (Pemilihan Presiden) Indonesia tahun 2004 tahap II adalah pasangan Megawati-Hasyim Muzadi". Pernyataan terakhir ini adalah salah karena tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Terdapat beberapa versi yang berbeda satu sama lain dalam teori kebenaran korespondensi di balik pandangan umum yang telah disebutkan di atas. Sebagai contoh, versi G. W. Leibniz (1646-1716) yang mendasarkan diri pada asumsi adanya keselarasan yang sudah ditetapkan lebih dulu oleh Tuhan (pre-established harmony) antara tatanan pengetahuan dan tatanan kenyataan. Meskipun kedua tatanan tersebut paralel satu sama lain dan tidak berinteraksi, namun Tuhan yang menciptakan keduanya menjamin bahwa pengetahuan bawaan kita memang betul-betul berkorespondensi dengan kenyataan yang ada.[39] Sedangkan menurut versi Wittgenstein awal dan kaum Atomis Logis[40] mendasarkan diri pada asumsi bahwa struktur bahasa yang berhubungan satu lawan satu (isomorfis) dengan struktur dunia. Artinya, bahasa mencerminkan atau menggambarkan kenyataan (language pictures reality). Selanjutnya, versi Thomas Aquinas dan kaum Skolastik mendasarkan diri pada tradisi Aristoteles yang meyakini adanya kesesuaian antara akal budi dan kenyataan.
Dalam konteks tersebut, teori ini umum dimengerti karena secara intuitif mudah diterima. Namun, jika dikritisi lebih jauh, maka akan ditemukan beberapa kesulitan. Teori korespondensi ini mengasumsikan kebenaran faham realisme yang berpendapat bahwa pengetahuan baru dianggap benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, faham idealisme menolak pandangan korespondensi ini dengan alasan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan tak lebih dari hanya proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif.[41] Berdasarkan pandangan ini, penganut faham idealisme ini memilih teori kebenaran koherensi.
B. Teori Koherensi
Teori koherensi adalah teori kebenaran yang memberlakukan adanya persepsi-persepsi subjek yang konsisten menerima kebenaran yang telah diuji.[42] Suatu proposisi dikatakan benar kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi lain yang sudah diterima atau diketahui kebenarannya. Dengan demikian, pemaknaan yang kontradiktif mesti dihindari. Teori ini dikembangkan oleh Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya.[43]
Teori kebenaran koherensi berakar pada dua hal, yaitu: Satu, fakta bahwa matematika dan logika adalah sistem deduktif yang ciri hakikatnya adalah konsistensi. Dua, sistem metafisika rasionalistik yang seringkali mengambil inspirasi dari matematika. Dengan dua akar ini, maka kaum Rasionalis dan Positivis Logis menekankan teori kebenaran ini.[44] Selanjutnya, Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa matematika merupakan salah satu bidang pengetahuan yang dilakukan pembuktian berdasarkan teori koherensi ini. Sistem matematika disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar yakni aksioma yang dengan beberapa aksioma tersebut kemudian melahirkan teorema.[45]
Teori kebenaran ini hanya mungkin sejauh orang menerima pandangan tertentu tentang logika dan matematika di satu pihak, dan di pihak lain tentang adanya relasi internal, yaitu keterjalinan hakiki antara sesuatu dengan segala sesuatu yang lainnya, sehingga kalau ada satu bagian yang berubah, seluruhnya juga berubah. Dalam pandangan ini, baik geometri model Euklides maupun yang non-Euklides adalah sama-sama benar kalau konsisten dengan aksioma masing-masing. Hanya saja, jika disadari bahwa baik teorema matematika dan logika tidak bicara tentang dunia nyata yang menyebabkan kebenarannya bersifat formal, maka dapat disimpulkan bahwa teori koherensi sebenarnya memiliki ruang lingkup yang cukup terbatas. Dengan ini pula, kebenaran mengenai kenyataan faktual tidak bisa dideduksikan dari sistem aksioma.
C. Teori Pragmatik
Teori kebenaran pragmatik adalah teori kebenaran berdasarkan kegunaan atau manfaat dari sesuatu yang ditelitinya. Teori ini bersumber pada aliran Pragmatisme yang merupakan suatu gerakan filosofis yang muncul di Amerika Serikat di penghujung abad ke-19. Adapun pencetus teori pragmatik ini adalah Charles S. Pierce (1839-1914) yang kemudian dikembangkan oleh beberapa tokoh filsafat seperti: William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), dan George Herbert Mead (1863-1931).[46]
Teori kebenaran pragmatik menekankan peran aktif subjek penahu dalam mencari kebenaran dan mengkritik serta memberikan alternatif yang menarik terhadap teori pengetahuan yang menganggap subjek penahu semata sebagai penonton yang pasif (the spectator theory of knowledge). Sebagai implementasi dari teori pragmatik ini dapat dicontohkan bahwa sekiranya ada orang yang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X ini adalah fungsioanal dan mempunyai kegunaan (utility).
Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Teori ini masuk akal sejauh yang dibicarakan menyangkut kasus-kasus adanya masalah yang harus dipecahkan atau adanya penyelidikan yang perlu dilakukan. Salah satu tolok ukur kebenaran dalam teori ini juga adalah mewujudnya hasil seperti yang diharapkan. Hal ini senada dengan ungkapan William James, "Something is true if it works".[47] Mungkin di sinilah letak 'tidak universalnya' nilai kebenaran yang dilahirkan oleh teori ini karena secara logis tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa kalau suatu pernyataan atau teori atau pemikiran dipraktekkan terbukti membawa hasil seperti yang diharapkan, maka dengan sendirinya pernyataan atau teori itu juga benar.
Berkaitan denga ketiga teori kebenaran klasik di atas, dapat dipahami bahwa masing-masing memiliki kekhususan tersendiri. Teori korespondensi cocok untuk dipakai menilai kebenaran pernyataan-pernyataan empiris faktual, seperti: "Hari ini kepala saya pusing karena sedang flu". Teori kebenaran koherensi cocok untuk dipakai menilai pernyataan-pernyataan logis dan matematis, seperti: "Jumlah dari tiga sudut dalam segitiga adalah 180 derajat". Sedangkan teori kebenaran pragmatis cocok untuk dipakai menilai kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah sebagai hipotesis yang masih perlu dibuktikan, seperti: "Semakin banyak hutan digunduli, semakin banyak pula bahaya erosi yang akan terjadi". Thus, dalam praksis kegiatan pencarian dan pengembangan pengetahuan, ketiga teori tersebut, sejauh dapat diterapkan, biasa digunakan semuanya karena dapat saling melengkapi.
D. Teori Performatif
Teori performatif akan muncul apabila pernyataan-pernyataan (statement) dapat menciptakan realitas. Artinya, yang dianggap benar dalam teori performatif ini adalah apabila pernyataan itu menciptakan suatu realitas sebagaimana pernyataan yang dimunculkan. Teori kebenaran performatif ini dipelopori oleh Frank Ramsey, John Austin, dan banyak dianut oleh kelompok ahli bahasa.[48] Secara umum, mereka ingin menunjukkan bahwa kebenaran harus dilandasi oleh kenyataan bahasa yang benar, bukan hanya sekedar deskripsi tentang sesuatu.
Sebagai contoh, peristiwa akad nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Pejabat KUA berkata, "Dengan ini saya sahkan anda berdua menjadi pasangan suami-isteri yang sah". Kalimat yang dituturkan oleh pejabat KUA tersebut kepada kedua mempelai telah menciptakan sebuah realitas, yaitu sebuah pasangan suami-isteri.
E. Teori Konsensus
Teori kebenaran konsensus didasarkan pada komunikasi secara dialogis atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, tetapi bukan diorientasikan pada kekuasaan. Jurgen Habermas (Lahir 1929) mendasarkan teori kebenaran konsensus pada kepentingan ilmu pengetahuan sosial (secara praksis) yang mengutamakan logika dalam berinteraksi.[49] Model kebenaran konsensus sering juga disebut sebagai model logika interaksi atau logika hermeneutik.[50] Teori kebenaran konsensus dielaborasi lebih lanjut oleh Habermas sehingga memilki sifat praksis yang kritis emansipatoris yang tujuannya mengembangkan dan menyusun struktur-struktur masyarakat secara baru atas dasar kepentingan tertentu dan untuk mewujudkan kemajuan (emansiapasi) dan pembebasan manusia.
F. Teori Semantik
Teori kebenaran bahasa atau semantik merujuk pada arti kata yang ada pada suatu bahasa. Beberapa tokoh filsafat bahasa, seperti Ayer, Wittgenstein, bahkan tokoh hermeneutika seperti Gadamer dan Ricoeur menekankan pentingnya pemahaman tentang arti suatu kata. Secara logis, orang tidak dapat memahami sesuatu terutama persoalan ilmiah, tanpa memiliki unsur "mengerti". "Mengerti" itu sendiri mesti sejalan dengan bahasa, karena "mengerti" diaktualisasikan dengan cara berinteraksi dengan orang lain.[51] Membaca suatu teks tidak hanya teks-teks masa lalu, tetapi teks-teks (wacana) baru yang menyangkut kehidupan manusia. Selanjutnya, pemahaman terhadap "mengerti" apa yang ditulis orang mengarah pada pemahaman baik secara ontologis (keberadaan manusia) maupun secara epistemologis (kebenaran pengetahuan). Bahasa tidak hanya mengungkapkan perasaan subjek, tetapi mengungkapkan juga realitas kebenaran objek.
IV. Akhir Kata
Dari paparan sederhana di atas, penulis berkesimpulan bahwa pengetahuan merupakan semua kehadiran internal objek dalam subjek. Namun dalam arti sempit, ia dapat diartikan sebagai putusan yang benar dan pasti. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui beberapa cara dengan motif dan argumentasi yang berbeda pula sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beberapa tokoh filsafat.
Last but not least, manusia membutuhkan pengalaman dalam mencari bentuk-bentuk pengetahuan, baik secara deskriptif (knowledge by description-knowledge about thing) maupun mengumpulkan sejumlah pengetahuan melalui knowing 'perkenalan' (knowledge by acquintance). Sejauh pengetahuan itu teruji oleh teori kebenaran yang ada (korespondensi, koherensi, pragmatik, performatif, konsensus, dan semantik) maka di situlah epistemologi tampil di dalam dunia kehidupan manusia. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan dapat diterima selama dapat diukur melalui kriteria yang ada.
Kepustakaan
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000
Bahtiar, Amsal, Filsafat Agama I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Bertens, K., Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981
Budianto, M., Irmayanti, Realitas dan Objektivitas, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat I, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat II, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980
Hardiman, F. Budi, Sejarah Filsafat Modern, Diktat STF Driyarkara Jakarta
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI-Press, 1986
Kattsoff, O. Louis, Pengantar Filsafat, (diterjemahkan oleh Soejono Soemargono), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992
Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer, Jakarta: Kanisius, 2001
Longman, Dictionary of Contemporary English, London: Longman Group, 1998
Mehra, S. Parta & Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisional, Bandung: Binacipta, 1988
Peursen, Van, Bdk., Fakta, Nilai, Peristiwa, Jakarta: Gramedia, t.th.
Sudarminta, J., Dr., Epistemologi; Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, Jakarta: t.p., 2001
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: CV Muliasari, 2000
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004
Watloly, Aholiab, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2001
[1] Bdk. Van Peursen, Fakta, Nilai, Peristiwa, (Versi Indonesia diterjemahkan oleh Sonny Keraf), (Jakarta: Gramedia, t.th.), h. 198.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. II, h. 804.
[3] Dalam ungkapan keseharian, term knowledge biasanya digunakan sebagai ekuivalen dengan term pengetahuan yang diartikan sebagai "apa yang diketahui berupa fakta, informasi, kemampuan, dan pemahaman yang diperoleh dan dialami seseorang, baik melalui proses belajar maupun pengalaman". (What a person knows; the facts, information, skills, and understanding that one gained through learning or experience). Lihat: Longman, Dictionary of Contemporary English, (London: Longman Group, 1998), Edisi VIII, h. 581.
[4] Partap Sing Mehra & Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisional, (Bandung: Binacipta, 1988), Cet. IV, h. 3.
[5] Ibid.
[6] Longman, Op. cit., h. 934. Term science didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat dibuat ke dalam sebuah sistem dan yang biasanya berdasar pada penglihatan dan hukum-hukum alam yang umum. (Knowledge which can be made into a system and which usually defends on seeing and testing facts and stating general natural laws).
[7] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Jilid I, Cet. VI, h. 4.
[8] Ibid.
[9] Dalam kaitan ini, Sidi Gazalba menyebutkan bahwa pengetahuan diperoleh melalui salah satu dari empat jalan, yaitu: Pertama, pengetahuan yang dibawa sejak lahir. Kedua, diperoleh dari budi. Ketiga, diperoleh dari indra-indra khusus seperti penglihatan, pendengaran, ciuman, dan rabaan. Keempat, berasal dari penghayatan langsung atau ilham. Lihat: Sidi Gazalba, Loc. cit., h. 27.
[10] Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), Cet. V, h. 141.
[11] Ibid., h. 142.
[12] Lorens Bagus, Op. cit., h. 807.
[13] Partap Sing Mehra & Jazir Burhan, Op. cit., h. 4.
[14] Ada dua macam teori untuk menyingkap tabir hakikat kebenaran itu. Pertama, realisme, yang mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau duplikat yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Dengan kata lain, pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah duplikat dari yang asli yang ada di luar akal tersebut. Teori realisme ini berpendapat bahwa pengetahuan baru dianggap benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan. Kedua, idealisme, yang menandaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan tak lebih dari hanya proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif.
[15] Paham rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes atau Cartesius (1596-1650) yang disebut sebagai "Bapak Filsafat Modern" karena sejak Descartes kesadaran betul-betul digumuli dalam filsafat. Masyarakat tempat ia hidup bercirikan aristokrat, yakni memberi tempat utama kepada elite bangsawan yang minatnya adalah pada masalah metafisika skolastik. Descartes lahir dari kalangan borjuis yang sedang mekar saat itu di kota La Haye di wilayah Touraine. Ia kemudian juga berusaha memberikan pendasaran metodis yang baru dalam filsafat. Metode itu kemudian disebutnya "Le doute methodique" (metode kesangsian). Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), Cet. XXI, h. 18.
[16] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. I, h. 30.
[17] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, h. 45.
[18] Deduktif dalam bahasa Inggris disebut deduction; dari Latin de (dari) dan ducere (mengantar, menuju). Istilah latin deductio berpolakan istilah Aristoteles apogage. Metode deduktif ini bercirikan penalaran dari suatu kebenaran umum ke suatu hal (contoh) khusus dari kebenaran itu, proses pembuatan implikasi-implikasi logis dari pernyataan atau premis-premis menjadi eksplisit, aturan-aturan logika merupakan pola yang dipakai dalam proses penarikan kesimpulan dari premis-premis yang ada. Pertentangan terjadi tentang metode deduktif ini seperti keberatan yang diajukan Francis Bacon. Penjelasan selanjutnya, lihat: Lorens Bagus, Op. cit., h. 149-150.
[19]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (diterjemahkan oleh Soejono Soemargono), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), Cet. VII, h. 139
[20] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: CV Muliasari, 2000), Cet. XIII, h. 51.
[21] Skeptis artinya ragu-ragu atau sak wasangka. Artinya, tidak terus menerima ajaran-ajaran yang datang dari ahli-ahli filosofi masa lampau. Di masa Helen-Romana terdapat dua sekolah skeptis, yaitu: Skeptis Pyrrhon dan Skeptis Akademia. Pendirian kedua aliran ini sama, yaitu ragu-ragu tentang ajaran kaum klasik bahwa kebenaran dapat diketahui. Perbedaan dari kedua aliran tersebut adalah pada hal apa yang dimaksud dengan sikap ragu-ragu itu. Penjelasan selanjutnya, lihat: Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet. III, h. 156.
[22] F. Budi Hardiman, Sejarah Filsafat Modern, (Diktat STF Driyarkara Jakarta), h. 25.
[23] Sidi Gazalba, Op. cit., h. 25.
[24] Harun Hadiwijono, Op. cit., h. 32.
[25] Induktif, dalam bahasa Inggris disebut induction; dari bahasa Latin in (dalam, ke dalam) dan decure (mengantar). Term ini diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Latin barangkali oleh Cicero dari istilah Aristoteles epagoge. Salah satu pengertian tentang metode induktif ini adalah penalaran yang berangkat dari suatu bagian suatu keseluruhan, dari contoh-contoh khusus sesuatu menuju suatu pernyataan umum tentangnya; dari hal-hal individual ke hal-hal universal. Lorens Bagus, Op. cit., h. 341.
[26] F. Budi Hardiman, Op. cit.
[27] Jujun S. Suriasumantri, Op. cit., h. 52.
[28] Ibid.
[29] Amsal Bakhtiar, Op. cit., h. 49.
[30] Lorens Bagus, Op. cit., h. 364.
[31] Ibid., h. 314. Illumination (Inggris) berasal dari bahasa Latin Illuminare yang berarti menerangi. Illuminasi, dalam epistemologi Agustinus dan Fransiskan abad ke-1 (seperti Bonaventura), diyakini sebagai pengaruh ilahi istimewa yang terjadi dengan menghasilkan pengetahuan niscaya, universal dan pasti dalam manusia.
[32] Amsal Bakhtiar, Op. cit., h. 53.
[33] Lorens Bagus, Op. cit., h. 412. Martin Heidegger menafsirkan pengertian Plato tentang kebenaran sebagai aletheia secara etimologis berarti "ketidaktersembunyian adanya" atau "ketersingkapan adanya" (the unhiddenness of being). Dalam pengertian ini, Plato berkesimpulan bahwa kebenaran sebagai "ketaktersembunyian adanya" itu tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini. Dalam tradisi Aristotelian, kebenaran merupakan kebenaran logis dan linguistik propositional. Argumentasi ini dilandasi oleh pandangan Aristoteles yang menyebutkan bahwa pengetahuan yang paling benar dan paling luhur baru dimiliki kalau subjek penahu (idealitas) dan objek yang diketahui (realitas) itu identik satu sama lain dalam pengetahuan akal budi yang sempurna.
[34] Sidi Gazalba, Op. cit., h. 31.
[36] Aholiab Watloly, Op. cit., h. 157.
[37] Irmayanti M. Budianto, Realitas dan Objektivitas, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002), h. 75. Secara klasik teori kebenaran ini hanya dibagi menjadi tiga macam, yaitu: teori korespondensi, teori koherensi, dan teori pragmatik. Jujun S. Suriasumantri hanya membahas kebenaran tersebut dalam tiga kerangka teori yang disebutkan. Lihat: Jujun S. Suriasumantri, Op. cit., h. 55-59. Bandingkan dengan Lorens Bagus yang memaparkan lima teori dengan tidak menyebutkan teori konsensus. Lorens Bagus, Op. cit.
[38] J. Sudarminta, Op. cit., h. 70.
[39] Harun Hadiwijono, Op. cit., h. 43-44.
[40] Atomisme Logis (logical atomism) merupakan sebuah konsepsi yang dirumuskan Bartrand Russell dalam karyanya Our Knowledge of the External (1914). Konsep ini juga dirumuskan oleh Wittgenstein dalam karyanya Tractatus Logico Philosophicus (1921). Paham ini merupakan suatu reaksi terhadap neo-Hegelianisme F. Bardley yang mempertahankan bahwa hanya yang mutlak bersifat real dan hal-hal yang nisbi merupakan tampakan semata-mata. Lorens Bagus, Op. cit., h. 100-101.
[41] Amsal Bakhtiar, Op. cit., h. 39.
[42] Irmayanti M. Budianto, Op. cit., h. 76.
[43] Jujun S. Suriasumantri, Op. cit., h. 57. Dalam literatur lain disebutkan bahwa teori koherensi ini dikembangkan oleh O. Neurath dan Carnap ketika keduanya berpolemik dengan Schlick di dalam lingkungan Wina. Lihat: Lorens Bagus, Op. cit., h. 470.
[44] J. Sudarminta, Op. cit., h. 71.
[45] Jujun S. Suriasumantri, Op. cit.
[46] Filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika karena tokoh-tokoh yang mengembangkan teori ini berkebangsaan Amerika.
[47] J. Sudarminta, Op. cit., h. 73.
[48] Irmayanti M. Budianto, Op. cit.
[49] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, (Jakarta: Kanisius, 2001), Cet. V, h. 287.
[50] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), h. 220.
[51] Irmayanti M. Budianto, Op. cit., h. 78.
No comments:
Post a Comment
Mohon Diisi Dengan Kritik dan Saran Yang Membagun