Tuesday, May 11, 2010

Kajian Ilmu Hadis (Jarh wa Ta'dil)

ILMU JARH WA TA’DIL

(Ditinjau dari Aspek Pengaruhnya Terhadap Hadis)

(Asrowi, MA.)

A. Pendahuluan

Hadits[1] sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir[2] dan hal ihwal Nabi Muhammad saw, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an,[3] serta yang berfungsi sebagai mubaiyin (penjelasan) Al-Qur’an,[4] bisa dijadikan hujjah dalam hukum Islam kalau berstatus hadis maqbul (diterima).[5]

Para muhaddisin, dalam menentukan diterimanya suatu hadis harus terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena hadis itu sampai kepada kita melalui mata rantai rawi yang terurai dalam sanad-sanadnya[6].

Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui mana hadis yang dapat diterima dan mana hadis yang harus ditolak.[7] Hadis-hadis yang dapat diterima (maqbul) yaitu, hadis shahih lidzathi, hasan lidzathi, sahih lighairihi , dan hasan lighairihi.[8]

Selanjutnya, hadis shahih lidzathi adalah hakekat hadis shahih yang sebenarnya. Menurut Ibn Shalah hadis shahih ialah : “Hadis musnad[9] yang sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang adil[10] lagi dhabid[11] dari orang yang adil lagi pula sampai ujungnya, tidak syadz[12] dan tidak mu’allal[13] (terkena ilat)”.[14] Imam Nawawi meringkas definisi Ibn Shalah, beliau mengatakan bahwa hadis shahih ialah : “Hadis yang bersambung sanadnya melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dhabid tanpa sadz dan illat.”[15]

Selanjutnya Syuhudi Ismail mengatakan, suatu hadis bisa dinilai shahih kalau terpenuhi unsur-unsur kaidah kesahihan hadis, yaitu:

1. Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharijnya sampai kepada Nabi

2. Seluruh periwayat dalam hadis, ia harus bersifat adil dan dhabid

3. Hadis itu sanad dan matannya harus terhindar dari kejanggalan (syudud) dan cacat (illat).[16]

Kemudian hadis hasan lidzatihi adalah, hadis yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih rendah kedhabitannya tanpa syadz dan tanpa illat.[17] Untuk menghilangkan kesamaan antara hadis shahih dan hadis hasan adalah, bahwasanya keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang kurang kuat ingatannya, sedangkan pada hadis shahih seorang perawi benar-benar kuat ingatannya, dan pada keduanya selamat dari kejanggalan dan penyakit.[18]

Selanjutnya yang dimaksud dengan hadis shahih lighairihi adalah hadis yang keshahihhannya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadis kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek kedhabitan perawinya. Diantara perawinya ada yang kurang sempurna kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis shahih. Baginya semula hanya sampai kepada derajat atau kategori hadis hasan li dzatihi. Dengan ditemukan keterangan lain, baik berupa syahid maupun mutabi’ yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan matannya, hadis ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi, sehingga menjadi shahih li ghairi.[19]

Kemudian, hadis hasan lighairihi adalah, hadis hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadis yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, baik karena adanya syahid atau mutabi[20]. Dengan pengertian ini jelaslah, bahwa hasan lighairihi kualitas asalnya dibawah hadis hasan, yakni hadis dhaif.[21]

Meskipun hadis dhaif[22] bisa meningkat derajatnya setingkat lebih tinggi menjadi hasan, namun tidak semua hadis dhaif bisa meningkat. Hadis dhaif yang bisa meningkat, hanyalah hadis-hadis tidak yang terlalu lemah seperti hadis mursal,[23] hadis mu’allal,[24] hadis mubham[25] dan hadis mastur[26].

Sedangkan untuk hadis-hadis yang sangat lemah, seperti hadis maudhu’[27], hadis matruk[28] dan hadis mungkar[29], derajatnya tidak bisa meningkat. Hadis-hadis yang tersebut akan tetap berkedudukan mardud, yang berarti tidak dapat dijadikan hujjah.[30]

Hadis yang terdiri dari dua unsur, yaitu sanad dan matan[31] dapat diketahui kemaqbulannya, harus diadakan penelitian hadis (studi takhrij[32]). Dengan kegiatan ini segala hadis-hadis yang dikutib dan tersebar dalam berbagai kitab, dengan pengutipan yang bermacam-macam, dan terkadang tidak memperhatikan kaidah yang berlaku, dapat segera diketahui. Dengan ini, sehingga menjadi jelas keadaannya, baik asal maupun kualitas hadis.[33]

Dalam hal ini penulis menitik beratkan pembahasan pada sanad hadis, karena para ulama’ hadis menilai sangat pentingnya kedudukan sanad dalam riwayat hadis. Karena demikian pentingnya kedudukan sanad itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, tetapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita tersebut oleh ulama hadis tidak dapat disebut hadis. Sekiranya berita itu tetap juga dinyatakan sebagai hadis oleh orang-orang tertentu, misalnya ulama yang bukan ahli hadis, maka berita tersebut oleh ulama hadis dinyatakan sebagai hadis palsu atau hadis maudhu’.[34]

Dalam hubungannya dengan pentingnya kedudukan sanad, Muhammad bin Sirin menyatakan bahwa : “Sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamu itu. Maksudnya, dalam menghadapi suatu hadis, maka sangat penting diteliti terlebih dahulu para periwayat yang terlibat dalam hadis yang bersangkutan.”[35]. Abdullah bin Mubarak menyatakan bahwa : “Sanad hadis merupakan dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya”.[36] Pernyataan itu memberi peringatan bahwa sanad hadis merupakan bagian penting dari riwayat hadis. Kebenaran suatau hadis yang tercantum dalam berbagai kitab ditentukan juga oleh keberadaan dan kualitas sanadnya.[37]

Terhadap pernyataan Abdullah bin Mubarak itu, Imam Nawawi menjelaskan bahwa : “Bila sanad suatu hadis berkualitas sahih, maka hadis itu dapat diterima, sedangkan sanad hadis itu tidak shahih, maka hadis tersebut harus ditinggalkan. An-Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadis dengan sanadnya ibarat hubungan hewan dengan kakinya”.[38]

Selanjutnya, jika seseorang ingin meneliti suatu sanad hadis, ia harus mengkaji ilmu-ilmu yang menjadi unsur sanad, diantaranya ilmu Rijal al-Hadis[39] yang mencakup ilmu Thabaqad[40] dan Tarikh ar-ruwah[41], dan Ilmu Jarh wa Ta’dil[42]. Pada penyusunan makalah ini penulis menganalisis kedudukan ilmu Jarh wa Ta’dil dikaji dari segi kedudukannya dan pengaruhnya terhadap kualitas hadis. Kemudian penulis tuangkan dalam makalah yang berjudul “Kedudukan Jarh wa Ta’dil dalam menentukan Kualitas Hadis”.

B. Uraian Suputar Jarh wa Ta’dil

1. Definisi[43]

a. Al-Jarh secara etimologis merupakan bentuk mashdar, dari kata ( ) yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Dikatakan ( ) yang berarti hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.

b. Al-Jarh secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Sedang “at-Tajrih” menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.

c. Al-Adl secara etimologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif.

d. Al-Adl secara terminologis berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Sehingga khabar kesaksiannya bisa diterima, bila dipenuhi pula syarat-syarat yang telah kami sebutkan dalam kelayakan ada’. Sehingga tampak sifat adilnya dan dapat diterima khabarnya. Dengan demikian, ilmu al-jarh wa at-Ta’dil berarti : Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka. [44]

2. Kaedah Jarh wa Ta’dil

Mayoritas 'Ulama hadits dan fiqh bersepakat bahwa seorang perawi harus mempunyai dua syarat dasar, yaitu :

a. 'Adalah (adil) : artinya bahwa perawi haruslah seorang muslim, baligh, berakal dan terbebas dari beberapa sebab kefasikan dan selamat dari cacat muru'ah.

b. Dhabt : maksudnya seorang perawi tidaklah bertentangan dengan perawi-perawi lain yang terpercaya, tidak buruk hafalannya, salahnya tidak keterlaluan, tidak pelupa dan tidak salah duga.[45]

Sifat 'adalah (keadilan) bisa ditetapkan dengan salah satu dari dua perkara :[46]

a. Dengan ditetapkan oleh 'Ulama ta'dil atau ditetapkan oleh salah satu saja dari mereka.

b. Adakalanya karena dia sudah masyhur dan terkenal adil, oleh karena itu siapa yang sudah terkenal adil di kalangan ahli ilmu, dan sudah banyak yang memujinya maka hal itu sudah dianggap cukup, tidak perlu dan tidak membutuhkan kepada seorang ahli ta'dil yang menetapkan atas keadilannya, orang -orang yang seperti itu adalah imam-imam yang sudah terkenal seperti imam empat, Sufyan dan Auza'i dan lain-lainnya.[47]

Kedhabitan perawi bisa diketahui karena dia cocok dengan perawi-perawi terkemuka yang cermat dalam meriwayatkan hadis, oleh karena itu apabila seorang perawi hadis cocok dengan para perawi lainnya yang dhobit dalam meriwa­yatkan hadis maka dia adalah seorang yang dhabith, sebaliknya jika perawi tersebut bertentangan dalam periwayatan dengan perawi yang dhabith atau perawi itu tidak cocok dengan perawi yang banyak maka hilanglah kedhabitannya dan otomatis haditnya rusak dan tidak bisa dipakai sebagai hujjah.[48]

Adapun ta'dil, bisa diterima dengan tanpa menyebutkan sebabnya menurut pendapat shahih lagi pula masyhur, sebab penyabab ta'dil banyak sekali di mana sulit untuk menghitungnya, karena seorang mu'addil kadang-kadang butuh mengatakan : "Dia tidak melakukan demikian, dia tidak melakukan dosa ini", atau dia butuh mengatakan : "Dia melakukan demikian dan seterusnya dan seterusnya".[49]

Sedangkan jarhu tidaklah diterima kecuali menyebutkan jarhnya (kesalahan-kesalahannya), disampaing itu muhadis pada umumnya berbeda pendapat mengenai sebab-sebab jarhu, terkadang sebagian muhadis menjarh (menyacat) dengan sesuatu yang tidak semestinya. Di dalam menetapkan jarh wa ta’dil, menurut pendapat muhadis yang shahih mengatakan bahwa jarhu dan ta'dil bisa ditetapkan oleh satu orang. Ada juga yang berpendapat lain bahwa jarhu dan ta'dil sekurang-kurangnya ditetapkan oleh dua orang.[50]

Selanjutnya, para muhadis di dalam menetapkan keadaan jarh wa ta’dil dari aspek yang mana lebih di dahulukan, apakah jarh. Jika dalam satu perawi jarhu dan ta'dil berkumpul. Pendapat mu'tamad mengatakan bahwa jarhu harus didahulukan, bila dia berfungsi sebagai yang memberi penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa apabila bilangan mu'addil lebih atas jumlah 'orang melakukan jarhu maka didahulukan ta'dil, dan ini merupakan pendapat dha'if yang tidak mu'tamad. [51]

Adapun Periwayatan seorang yang adil dari seseorang tidaklah dianggap sebagai ta'dil terhadap seseorang itu menurut mayoritas 'Ulama dan ini merupakan pendapat yang shahih, tetapi ada yang berpendapat hal itu merupakan ta'dil. Amalan seorang 'alim serta fatwanya yang cocok dengan hadits bukanlah merupakan hukum keshahihannya, dan ketidakcocokannya terhadap hadits tidaklah merusak ke­shahihannya dan juga tidak pada perawi-perawinya. Te­tapi ada yang malah berpendapat bahwa hal itu merupakan hukum keshahihannya, selanjutnya Imam Al Amisi dan 'Ulama ushul yang lain membenarkannya, dan dalam masalah ini memang dibicarakan dengan panjang lebar.[52]

Bagaimana hukum riwayat seorang yang bertaubat dari kefasiqan ada dua pendapat : Pertama : Seorang yang taubat dari kefasikan riwayatnya diterima. Kedua : Riwayatnya orang yang telah taubat dalam melakukan pembohongan terhadap hadits Rasulullah SAW tidaklah diterima.[53]

C. Tingkatan jarhu dan Ta'dil :

1. Tingkatan lafadz menta’dilkan Rawi [54]

a. Lafadz yang menunjukkan (kesempurnaan) kelebihan perawi

اوثق الناس

Orang yang paling siqah

اثبت الناس حفظ وعدالة

Orang yang paling mantap kedilannya dan hafalan

اليه المنتهى في الثبت

Orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya

ثقة فوق الثقة

Orang yang siqah melebihi orang yang siqah

b. Lafadz yang menunjukkan keadilan dan kedhabitan perawi[55]

ثبت ثبت

Orang yang teguh (lagi) teguh

ثقة ثقة

Orang yang tiqah (lagi) siqah

حجة حجة

Orang yang ahli (lagi) Petah lidahnya

ثبت ثقة

Orang yang teguh (lagi) siqah

حافظ حجة

Orang yang hafidz lagi petah lidahnya

ظابط متقن

Orang yang kuat ingatannya lagi menyakinkan ilmunya

c. Lafadz yang menunjukkan keadilan dan kuat ingatan perawi[56]

متقن

Orang yang meyakinlan ilmunya

ثقة

Orang yang tiqah

حافظ

Orang yang kuat hafalannya

حجة

Orang yang petah lidahnya

d. Lafadz yang menunjukkan keadilan dan kedhabitan akan tetapi kurang kuat ingatannya[57]

صدوق

Orang yang sangat jujur

مأمون

Orang yang dapat memegang amanat

لا بأس به

Orang yang tidak cacat

e. Lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi, akan tetapi tidak mengandung adanya kedhabitan perawi[58]

محله الصدق

Orang yang berstatus jujur

جيد الحديث

Orang yang baik hadisnya

حسن الحديث

Orang yang bagus hadisnya

مقارب الحديث

Orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis orang yang siqah

f. Lafadz yang menunjukkan arti cacatnya perawi[59]

صدوق ان شاءالله

Orang yang jujur, insya Allah

فلان ارجوبان لاباس به

Orang yang diharapkan tsiqah

فلان صويلح

Orang yang sedikit kesalehannya

فلان مقبول حديثه

Orang yang diterima haditsnya

2. Tingkatan lafadz mentarjihkan Rawi [60]

a. Lafadz yang menunjukkan arti cacat (cela) yang amat sangat pada Rawi[61]

اوضع الناس

Orang yang paling dusta

اكذب الناس

Orang yang paling bohong

اليه المنتهىفىالوضع

Orang yang paling top kebohongannya

b. Lafadz yang menunjukkan arti cacat (cela) yang amat sangat dengan shigat muballagah pada rawi[62]

كذاب

Orang yang pembohong

وضاع

Orang yang pendusta

دجال

Orang yang penipu

c. Lafadz yang menunjukkan arti tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. [63]

فلان متهم بالكذب

Orang yang dituduh bohong

اومتهم بالوضع

Orang yang dituduh dusta

فلان فيه النظر

Orang yang perlu diteliti

فلان ساقط

Orang yang gugur

فلان ذاهب الحديث

Orang yang haditsnya telah hilang

فلان متروك الحديث

Orang yang ditinggalkan haditsnya

d. Lafadz yang menunjukkan lemah yang amat sangat[64]

مطرح الحديث

Orang yang dilempar haditsnya

فلان ضعيف

Orang yang lemah

فلان مردودالحديث

Orang yang ditolak haditsnya

e. Lafadz yang menunjukkan kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalan[65]

فلان لايحتج به

Orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya

فلان مجهول

Orang yang tidak dikenal identitasnya

فلان منكرالحديث

Orang yang mungkar haditsnya

فلان مضطرب الحديث

Orang yang kacau haditsnya

فلان واه

Orang yang banyak menduga-duga

f. Lafadz yang menunjukkan sifat lemah yang mendekati keadilan perawi[66]

ضعف حديثه

Orang yang didla’ifkan haditsnya

فلان مقال فيه

Orang yang diperbincamgkan

فلان فيه خلف

Orang yang disingkiri

فلان لين

Orang yang lunak

فلان ليس بالحجة

Orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya

فلان ليس بالقوى

Orang yang tidak kuat

D. Kitab-kitab Jarh wa Ta’dil[67]

  1. Ma 'rifatu 'r-rijal: Karya Yahya Ibni Ma'in. Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita. Juz perta-ma kitab tersebut, yang masih herupa manuskrip (tulisan ta-ngan) berada di Darul-Kutub Adh-Dhahiriyah.
  2. Ad-Dlu 'afa'. Karya Imam Muhammad bin Isma'il Al-Bukhary (194 - 252 H.). Kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
  3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H.). Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sa-ngat mudah untuk mengadilkan seorang rawi. Karena itu hen-daklah hati-hati terhadap pcnta'dilannya. Naskah aslinya dike-temukan di Darul-Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
  4. Al-Jarhu wat-Ta'dil, karya 'Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240 - 326 H.). Ini merupakan kitab Jarh wat-Ta'dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-be-sar yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H. ki­tab itu dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu jilid sebagai mu-kadimah, sedang tiap-tiap jilid yang asli dijadikan dua jilid.
  5. Mizanu'l-I'tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673 - 748 H.). Kitab itu terdiri dari 3 jilid. Setiap rawi biar pun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus-sanad.
  6. Lisanu 'l-Mizan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (773 - 852 H.) sudah mencakup isi kitab Mizanu'l-I'tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. la dicetak di India pada tahun 1329-1331 H. dalam 6 jilid.[68]

E. Kesimpulan

Ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan salah satu ilmu hadits yang sangat berpengaruh perannya, hal ini terbukti dengan adanya berbagai komentar para muhadis yang memperbincangkan ilmu Jarh wa Ta’dil ini. Bahkan untuk menentukan kualitas hadis untuk berhujjah, ilmu Jarh wa Ta’dil ini menjadi alat penimbang yang paling utama dibanding ilmu-ilmu hadis yang lain.

Secara garis besar ilmu Jarh wa Ta’dil ini merupakan suatu ilmu hadis yang memiliki posisi terpenting, teragung dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan dan digolongkan mana saja hadis yang shahih, hasan dan yang dho’if bahkan y ang palsu sekalipun.

Selanjutnya, dengan ilmu ini dapat memutuskan mana saja hadis yang dapat diterima (maqbul) dan yang ditolak (mardud), karena masing-masing tingkatan Jarh wa Ta’dil memiliki akibat hukum hadis yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah al-Hadis, Bandung: Cv Diponegoro, 1983, Cet. ke-2

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996, Cet. ke-1

Fatchur Rahman, Musthalahul Hadis. Bandung : PT Alma’arif, t.th , cet., ke-10, h. 320; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1

Imam Jalal ad-Din Abu al-Fadhil ‘Abd ar-Rahman as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, Bairut: Dar al-Fikr, 1993, t.Cet.,

Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet.

Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut: Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 220

Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, Cet. ke-2

Shuhudi Ismail, Kaedah Kesahihah Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, Cet. ke-2

Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994, Cet. ke-10

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet. ke-4

Endang Soetari, Ilmu Hadis, Bandung : Amal Bakti Press, 2000, cet., ke-3,



[1] Hadis menurut bahasa adalah baru, ucapan, perkataan, kabar, berita, cerita, sedangkan kalau menurut istilah adalah, segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik dari segi ucapan, perbuatan, dan taqrir. Lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), Cet. ke-1, h. 747; Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h. 14;

[2] Taqrir ialah, sesuatu yang timbul dari sahabat Rasul Allah saw. yang telah diakui oleh Rasul Allah saw., baik berupa ucapan maupun perbuatan. Lihat, ‘Abd al-Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), h. 36

[3] Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), Cet. ke-10,h. 3

[4] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), Cet. ke-2, Jilid 1, h. 2

[5]Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h. 32

[6] Sanad menurut bahasa yang disandarkan, sedangkan menurut istilah hadis adalah silsilah perawi yang menghubungkan sampai pada matan. Lihat, Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h. 16

[7]Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), Cet. ke-2., Jilid 2, h. 1

[8] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h. 33

[9] Kata musnad merupakan isim maful dari asnada yang bermakna menggolongkan dan menisbatkan, menurut istilah muhadis yaitu hadis marfu’ (bersandar pada Nabi) atau muttasil (bersambung hingga akhir sanad). Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h. 15; Ibn Kasir, al-Ba’is al-Hasis, (Bairut: Dar al-Fikr, 1996), t.Cet., h. 34

[10] Perawi ‘adil yaitu, seorang muslim, balig, berakal, tidak fasik tidak cacat mental dan bisa menjaga muru’ah. Lihat, Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h.15

[11] Perawi dhabid berarti cermad, kuat ingatannya, mampu menjaga kitabnya dari segala bentuk penambahan atau pengurangan. Lihat, Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h.15

[12] Perawi siqah bertentangan dengan perawi yang lebih siqah. Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), t. cet., h.15

[13] Illat berarti cacat, kesalahan, penyakit dan keburukan. Yaitu, hadis yang lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih. Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994, Cet. ke-10, h. 147

[14] Al-Hafid Zain ad-Din ‘Abd ar-Rahman bin Husain al-‘Iraqi, al-Taqyid wa al-Idhah Syarh Muqoddimah Ibn as-Shalah, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), t. cet., h. 20

[15]Imam Jalal ad-Din Abu al-Fadhil ‘Abd ar-Rahman as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), t.Cet., h. 31; Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), t.Cet., h. 220

[16]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), Cet. ke-1, h. 64

[17] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut: Dar al-Fikr, 1989, t.Cet h. 333

[18]Subhi as-Shalah, Ulum al-Hadis wa Mushthalahu, (Bairut: Dar al-‘Ilm li Malayin, 1988), Cet. ke-17, h. 156; Nuruddin ‘Itr, op. cit., h. 27

[19]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet. ke-4, h. 166; Ahmad Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah al-Hadis, (Bandung: Cv Diponegoro, 1983), Cet. ke-2, h. 31; Shuhudi Ismail, Kaedah Kesahihah Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, Cet. ke-2, h. 181

[20] Syahid adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang sahabat sama (hampir sama) dengan yang diriwayatkan dari sahabat lain, baik secara lafdzi maupun ma’nawi. Sedangkan, mutabi’ adalah kebersamaan seorang perawi dengan perawi lain dalam meriwayatkan suatu hadis dari gurunya atau dari oranh yang di atasnya. Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut: Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 366

[21]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet. ke-4, h. 173

[22] Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat (lemah), menurut istilah ialah, hadis yang tidak terkumpul syarat-syarat shahih atau hasan. Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet., h. 63;

[23] Mursal, merupakan isim maf’ul dari kata arsal yang bermakna atlaq (melepaskan), menurut istilah adalah hadis yang dimarfu’kan seorang tabi’in kepada Rasul Allah saw., baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik itu tabi’in kecil maupun tabi’in besar. Lihat, Mahmud ath-Thahan, Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 71

[24] Mu’alal, merupakan isim maf’ul dari kata ‘a’alla, menurut istilah muhaddis adalah hadis yang nampak di dalamnya ada ilat yang merusak kesahihannya, padahal lahirnya kelihatan selamat dari illat. Lihat, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut: Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 343

[25] Mubham (perawi yang tidak disebut namanya), hadis yang di dalamnya ada peawi yang ‘adil yang meriwayatkan dari seorang perawi lain tanpa menyebut namanya. Lihat, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut: Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 272

[26] Mastur (perawi yang tidak diketahui hal ikhwalnya), hadis yang di dalamnya sanadnya ada perawi yang tidak diketahui hal ikhwalnya.

[27] Maudhu’ merupakan isim maf’ul dari kata dasar wadha’a yang artinya menurunkan, diberi sebutan seperti itu karena turunnya kategori hadis ini, maudhu’ menurut istilah adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw. secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan. Hadis ini tidak bisa meningkat derajatnya, bahkan ulama bersepakat bahwa hadis maudhu’ tidak diperkenankan untuk diriwayatkan kepada seseorang yang tidak tahu persis keadaannya dalam pengertian apa saja, kecuali disertai penjelasan kemaudhu’annya. Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, Cet. ke-2, h. 68

[28] Matruk, menurut bahasa terambil dari kata tark, yang kemudian diartikan dengan yang ditinggalkan atau yang sudah tidak ada faedahnya. Menurut istilah ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuduh dusta dalam hadis nabawi, atau sering bedusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui peruatan maupun kata-katanya ataupun yang sering sekali salah dan lupa. Hadis matruk merupakan hadis memiliki peringkat nomor dua paling bawah setelah maudhu’, derajatnya tidak bisa meningkat karena kerendahan sanad, bahkan bisa dicurigai sebagai hadis maudhu’. Lihat, Nuruddin ‘Itr, Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, Cet. ke-2, h. 65-66

[29] Munkar, menurut bahasa ialah isim maf’ul dari kata inkar, lawan dari ikrar. Menurut istilah, munkar memiliki beberapa definisi, di antaranya adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang keliru menyolok, pelupa atau nampak sekali kefasiqannya, atau hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi dha’if yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya. Hadis mungkar termasuk jenis hadis yang sangat dha’if dan tidak bisa meningkat kualitasnya, sebab ada kemungkinan diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang disifati dengan kesalahan yang menyolok, atau pelupa, atau memang diriwayatkan oleh perawi yang fasiq, dan barangkali diriwayatkan oleh perawi yang dha’if dan yang bertentangan dengan periwayatan perawi yang siqah. Lihat, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut: Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 101

[30] Abdul Qadir Hasan, Ahmad Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah al-Hadis, Bandung: Cv Diponegoro, 1983, Cet. ke-2, h. 73

[31] Menurut bahasa, sanad berarti : Sandaran, yang dapat dipegangi atau dipercaya, kaki bukit atau kaki gunung. Menurut istilah, sanad hadis berart : Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Sedangkan, matan dari segi bahasa, berarti : Punggung jalan, atau tanah yang keras dan tinggi. Dari segi istilah, yaitu : Materi berita yang berupa sabda, perbuatan atau taqrir Nabi saw, yang terletak setelah sanad yang akhir. Lihat, Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994, Cet. ke-10, h. 17-23

[32] Takhrij menurut bahasa ialah, al-Istinbat (mengeluarkan dari sumbernya), at-tadrib (latihan), dan at-taujih (pengarahan, menjelaskan duduk persoalan). Sedangkan takhrij menurut istilah adalah, mengungkap atau mengeluarkan hadis kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya, sebagai yang mengeluarkan hadis tersebut. Lihat, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet. ke-4, h. 111-112

[33]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet. ke-4, h. 114

[34]Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994, Cet. ke-10, h. 23-24

[35]Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994, Cet. ke-10, h. 24 ; ; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 242

[36] Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994, Cet. ke-10, h.25

[37] Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994, Cet. ke-10, 24

[38]Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994, Cet. ke-10, 25

[39] Rijal al-hadis adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal sejarah para rawi dari kalangan shahabat, tabi’in dan atba’ at-tabi’in. Lihat, Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung : Amal Bakti Press, 2000), cet., ke-3, h. 155

[40] Thabaqad ialah, ilmu yang membahas tentang kelompok orang-orang yang berserikat dalam satu pengikat yang sama. Lihat, Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung : Amal Bakti Press, 2000), cet., ke-3, h. 155

[41] Tarikh ar-ruwah merupakan suatu ilmu yang memaparkan tentang biografi para perawi, dari segi nama, gelar, julukan, tempat tanggal lahir dan wafat, keturunan, guru, murud, jumlah hadis yang diriwayatkan, tempat serta waktunya, dan lain-lain. Lihat, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut: Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 253

[42] Jarh wa Ta’dil suatu ilmu yang membahas tentang hal ihwal para rawi dalam hal memcacat keaibannya atau memuji keadilannya. Lihat, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut: Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 260

[43] ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 123

[44] ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 123

[45]Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 123; ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 139

[46] ; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 241

[47] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 125

[48] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 124, Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah , Bairut: Dar al-Fikr, 1989, t.Cet., h. 201

[49] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 126

[50] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 127

[51] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 125; lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 139

[52] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 126; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 140

[53] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 126

[54] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 313 ; Selanjutnya, lihat : Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), cet., ke-2, h. 197-198

[55] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 314; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 246

[56] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 315

[57] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 315

[58] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 315: Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 246

[59] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 316

[60] Selanjutnya, lihat : Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), cet., ke-2, h. 201-204

[61] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 316

[62] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 317

[63] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 317; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 247

[64] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 317

[65] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 317

[66] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 318; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 247

[67] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l hadits, (Bandung : PT Alma’arif, t.th.), cet., ke-10, h. 320

[68] Fatchur Rahman, Musthalahul Hadis.(Bandung : PT Alma’arif, t.th), cet., ke-10, h. 320; Lihat, ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ; diterjemahkan dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), cet., ke-1, h. 233 : Lihat Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t. Cet. h. 248

1 comment:

Mohon Diisi Dengan Kritik dan Saran Yang Membagun