Tuesday, May 11, 2010

Kajian Filsafat Moral dan Negara

Filsafat Moral dan Negara

Telaah terhadap Filsafat Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Miskawaih

Oleh: Asrowi, MA.

I. Catatan Awal

Dalam wacana filsafat, ditemukan pandangan tentang etika dan negara yang sangat menarik untuk diselami lebih dalam lagi. Beberapa pemikir muslim turut menyuarakan pandangannya. Ketika membaca pemikiran mereka, terbetik dalam benak pembaca akan kedalaman pengetahuan para filsuf muslim tersebut tentang filsafat. Paradigma seperti itu tidaklah berlebihan setelah melihat sistematika dan keluasan bahasan yang mereka wariskan pada generasi selanjutnya dan dunia pada umumnya. Akan tetapi, kekaguman itu akan 'terhenti' sejenak ketika menemukan bahwa landasan pemikiran mereka banyak mengadopsi dari pemikiran filsuf-filsuf barat, terutama filsuf Yunani kuno.

Berkaitan dengan itu, setidaknya ada dua cara para filsuf muslim dalam menerima filsafat Yunani, yaitu: Pertama, mengulas pemikiran-pemikiran filsafat Yunani kemudian melenyapkan kejanggalannya dan mempertemukan pemikiran filsafat yang kontroversi. Kedua, mengadakan keterpaduan (taufiq) antara pihak filsafat dengan agama.

Dalam makalah sederhana ini, penulis hanya menjelaskan sekilas tentang filsafat etika dan negara yang kemudian dilanjutkan dengan pemaparan tentang pemikiran beberapa filsuf muslim yang dibatasi hanya pada Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Miskawaih.[1]

II. Filsafat Moral

Istilah moral atau moralitas berasal dari kata bahasa Latin mos (tunggal), mores (jamak) dan kata sifat moralis. Bentuk jamak mores berarti: kebiasaan, kelakuan, kesusilaan. Kata sifat moralis berarti susila. Filsafat moral merupakan filsafat praktis, yang mempelajari perbuatan manusia sebagai manusia dari segi baik dan buruknya ditinjau dari segi hubungannya dengan tujuan hidup manusia yang terakhir.[2] Dengan demikian, moral merupakan objek filsafat moral. Istilah lain yang serupa adalah etika (ethiek dalam bahasa Belanda dan ethics dalam bahasa Inggris).[3] Istilah etika ini berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan dan kelakuan. Olehnya itu, ketika membahas tentang moral atau ethos seseorang atau sekelompok orang, maka yang dimaksud adalah bukan hanya apa yang biasa dilakukan orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan apa yang tidak patut untuk dilakukan.[4] Dengan demikian, kedua kata tersebut menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan atau praktek sekelompok manusia.

Perbuatan-perbuatan atau perilaku orang pada umumnya merupakan manifestasi keyakinan atau pandangan hidup orang. Dalam kajian filsafat moral atau etika, terdapat perbedaan antara:

a. Perbuatan insani (actus humanus), yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang dengan sadar, dengan tahu betul apa yang dilakukan, dengan kesengajaan kehendaknya. Perbuatan-perbuatan semacam ini merupakan formal objek filsafat moral atau etika.

b. Perbuatan manusia (actus hominis), yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak dengan penuh kesadaran atau kesengajaan. Seperti perbuatan yang terjadi saat tidur, mabuk, atau pingsan. Perbuatan-perbuatan semacam ini dilakukan di luar kontrol manusia sebagai subjek pelaku. Olehnya itu, perbuatan-perbuatan seperti itu berada di luar lingkup perhatian filsafat moral atau etika, meskipun secara material memiliki arti dalam studi ini.

Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sadar pasti mempunyai tujuan. Baik yang hidup maupun yang tidak hidup semuanya memiliki tujuan, yaitu untuk mencapai pengembangannya yang tertinggi sesuai dengan kodratnya masing-masing. Hidup manusia merupakan suatu rangkaian perbuatan-perbuatan atau suatu rentetan jalan, upaya dan tujuan yang tidak mungkin tanpa batas. Thus, pastilah ada suatu tujuan yang menjadi tujuan terakhir (selanjutnya baca: akhir). Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara tujuan akhir subjektif dan tujuan akhir objektif, yaitu:

a. Tujuan akhir objektif adalah sama untuk semua, yaitu: Tuhan, sang pencipta seluruh alam semesta.

b. Tujuan akhir subjektif adalah penyempurnaan manusia sebagai manusia, penyempurnaan binatang sebagai binatang, penyempurnaan tanaman sebagai tanaman; artinya terdapat perbedaan sesuai kodratnya. Tujuan akhir subjektif setiap realitas, setiap ciptaan Tuhan adalah penyempurnaan setiap realitas sebagai cerminan kesempurnaan Tuhan sendiri menurut kodratnya masing-masing.[5]

Bagi manusia, tujuan akhir subjektifnya adalah keadaan dimana manusia memperoleh kepuasan yang sempurna karena manusia memiliki secara kekal kebaikan yang tertinggi. Apabila tujuan akhir tersebut telah tercapai, maka manusia akan merasa puas sehingga tidak menginginkan hal-hal lainnya. Tujuan akhir inilah yang menjadi patokan atau landasan bagi tujuan-tujuan lainnya. Adapun tujuan akhir tersebut adalah kebahagiaan yang sempurna.

Sebenarnya, sejak zaman Yunani kuno, Aristoteles telah menampilkan gagasan tersebut bahwa dalam lubuk hati manusia terdapat keinginan kodrati yang tidak dapat dihilangkan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, yaitu eudaemonie.[6]

Dalam kaitan ini, Al-Kindi[7] berpendapat bahwa filsafat mesti memperdalam pengetahuan manusia tentang diri. Dengan demikian, seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri, melainkan untuk hidup bahagia. Pada dasarnya, tabiat manusia adalah baik, tetapi ia senantiasa digoda oleh nafsu. Konflik antara keduanya dihapuskan oleh pengetahuan. Manusia harus menghindari keserakahan. Dalam perbincangan moral, Al-Kindi lebih mengutamakan kaedah Stoa dan Sokrates.[8]

Kemiripan kaedah Sokrates dengan Al-Kindi seputar masalah moral ini dapat dilihat pada pandangan Sokrates yang menyebutkan bahwa budi adalah tahu. Keduanya bersangkut-paut. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Orang yang mengetahui hukum mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena itu, budi berdasar atas pengetahuan dan dengan sendirinya dapat dipelajari.

Sama dengan kaum Epikuros, kaum Stoa membagi filsafat ke dalam tiga bagian, yaitu: logika, fisika, dan etika. Logika dan fisika umumnya digunakan sebagai dasar etik. Adapun maksud dari etiknya ialah memberi petunjuk tentang sikap sopan santun dalam penghidupan. Menurut mereka, tujuan yang terutama dari segala filsafat adalah menyempurnakan moral manusia.[9] Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa kemerdekaan moril seseorang merupakan dasar segala etiknya. Segala yang terjadi pastilah ada sebabnya (hukum kausalitas).[10] Tindakan manusia akan berbeda dengan binatang karena kemampuannya untuk menimbang secara rasionil dan tepat. Untuk tujuan itu, pengetahuan dan kesadaran merupakan suatu yang sangat esensial bagi manusia.

Pemikir selanjutnya adalah Al-Farabi yang dikenal sebagai The Second Teacher (Mu'allim Tsani). Filsuf yang telah berhasil mengkompromikan kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles lewat risalahnya Al-Jam'u baina Ra'yay al-Hakimaini Aflathun wa Aristhu ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Plato (Republic) dan Aristoteles (Nicomachean Ethics) tentang kebaikan manusia (human good). Hanya saja, ia memiliki pandangan yang berbeda tentang kebaikan manusia ini dalam masalah-masalah tertentu.[11] Secara umum, terdapat dua pandangan tentang kebahagiaan manusia yang terlihat berbeda, yaitu: Pertama, yang bersifat teoretis yang dipaparkan dalam karyanya al-Madinah al-Fadhilah (On the Perfect State) dan al-Siyasah al-Madaniyyah (The Political Regime). Kedua, yang mengadopsi bentuk pemikiran Plato dalam bidang filsafat dan politik yang termaktub dalam Tahshil al-Sa'adah (The Attainment of Happiness). Pandangan pertama menegaskan bahwa kebahagiaan manusia dapat diidentifikasi melalui aktifitas yang dilakukan oleh jiwa yang terpisah dari badan.[12] Aktifitas demikian dalam aspeknya yang tertinggi akan membentuk hubungan (ittishal) dengan akal aktif.

Selanjutnya, Al-Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yaitu: Pertama, keutamaan teoretis, yakni prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan kontemplasi, penelitian, dan melalui proses belajar-mengajar. Kedua, keutamaan pemikiran, yaitu yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan, seperti kemampuan membuat aturan-aturan. Olehnya itu, keutamaan jenis ini disebut juga sebagai "keutamaan pemikiran budaya" (fadha'il fikriyyah madaniyyah). Ketiga, keutamaan akhlak yang bertujuan untuk mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada di bawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran. Kedua jenis keutamaan tersebut terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia. Keempat, keutamaan amaliah yang diperoleh dengan dua cara, yaitu: pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.[13]

Selain keutamaan di atas, Al-Farabi menyarankan agar bertindak tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan fisik, atau mengambil posisi tengah-tengah. Hal itu dapat ditentukan dengan memperhatikan zaman, tempat, dan orang yang melakukan hal tersebut, serta tujuan yang dicari, cara yang digunakan dan kerja yang memenuhi semua syarat tersebut. Berani, sebagai contoh, merupakan sifat terpuji yang terletak di antara dua sifat tercela, membabi buta (tahawwur) dan penakut (jubn). Kemurahan (al-karam) terletak antara dua sifat tercela, kikir dan boros (tabdzir). Memelihara kehormatan diri ('iffah) terletak antara dua sifat tercela, keberandalan (khala'ah) dan tidak ada rasa kenikmatan.

Pada kesempatan yang lain, Ibnu Miskawaih[14] memaknai moral itu dengan suatu sikap mental (halun li an-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.[15] Filsuf kelahiran kota Ray (Iran) itu berpendapat bahwa sikap mental ini terbagi ke dalam dua macam, yaitu: Satu, yang berasal dari watak. Dua, hasil dari kebiasaan dan latihan. Mengenai moral yang terpuji, ia menandaskan bahwa kebanyakan hal tersebut dapat dijumpai dari kebiasaan dan latihan. Sangat jarang ditemukan sifat terpuji sebagai manifestasi dari watak. Berangkat dari paradigma tersebut, ia menegaskan bahwa akhlak yang berasal dari watak dapat saja berubah melalui pendidikan. Pendapat ini sangat bertentangan dengan pandangan pemikir Yunani yang menyebutkan sebaliknya.

Dalam kaitannya dengan ajaran agama, pandangan filsuf yang sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi ini sejalan dengan penyataan Al-Qur'an dan Hadits yang menyebutkan bahwa kedatangan Nabi SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal tersebut terlihat jelas bahwa tujuan melaksanakan ibadah adalah untuk membentuk watak yang notabene akan memperbaiki moral pribadi atau masyarakat muslim. Sehubungan dengan itu, Ibnu Miskawaih memaknai kata al-insan (manusia) berasal dari kata al-uns yang berarti jinak. Pendapat ini berbeda dengan pendapat pada umumnya yang menyebutkan bahwa kata al-insan berasal dari kata nisyan yang berarti lupa. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Ibnu Miskawaih mencontohkan bahwa ibadah puasa bertujuan untuk mengendalikan hawa nafsu.[16]

Dalam perbincangan moral, Ibnu Miskawaih sangat menandaskan pandangannya dengan jiwa. Menurutnya, jiwa itu memiliki tiga daya, yaitu: daya berfikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah sifat kebajikan, yaitu hikmah,[17] keberanian,[18] dan kesederhanaan.[19] Bila ketiga sifat kebajikan tersebut berjalan serasi, maka akan lahirlah sifat kebajikan keempat, yakni adil.[20] Adapun lawan dari keempat sifat utama ini adalah bodoh, penakut, rakus, dan zalim.

Secara ringkas, unsur-unsur etika Ibnu Miskawaih dapat disusun sebagai berikut: pengertian akhlak, keutamaan (fadhilah), kebahagiaan (sa'adah), cinta (mahabbah), dan pendidikan akhlak pada anak-anak.[21] Namun, setidaknya tiga masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang moral ini, yaitu: kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa'adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan menurut Ibnu Miskawaih adalah suatu keadaan dimana manusia sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Selanjutnya, kebaikan itu dibagi menjadi dua macam, yaitu yang bersifat umum dan khusus. Di atas kedua macam kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud tertinggi yang menjadi target pencapaian bagi semua kebaikan. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Adapun kebaikan khusus merupakan kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk terakhir inilah yang kemudian disebut sebagai kebahagiaan (al-sa'adah). Adapun keutamaan (al-fadhilah) adalah cinta kepada sesama manusia (mahabbah al-insan li al-nas kaffah). Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali dengan memelihara jenisnya serta menunjukkan pengertiannya terhadap sesamanya. Selanjutnya, ditegaskan bahwa cinta tersebut tidak akan mewujud kecuali manusia itu berada di tengah-tengah masyarakatnya dan berintegrasi di dalamnya. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang moral adalah moral manusia dalam konteks maksyarakat.[22] Beliau mengecam tindakan uzlah (menjauhkan diri dari masyarakat untuk tujuan kontemplasi). Baginya, sikap uzlah merupakan sikap mementingkan diri sendiri. Bahkan, ia mengidentikkan uzlah itu dengan sifat kikir (bakhil) dan aniaya (dzhalim).[23]

Dalam kaitannya dengan pendidikan, Ibnu Miskawaih menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan anak. Menurutnya, masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anaklah berakhirnya ufuk hewani dan bermulanya ufuk manusiawi. Olehnya itu, daya keinginan, daya marah, dan daya berfikir yang ada pada anak-anak mesti dilatih dengan optimal demi perwujudan moralitas yang baik.[24]

III. Filsafat Negara

Negara merupakan agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Mac Iver mendefinisikan negara sebagai assosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.[25]

Dalam hukum internasional, negara sebagai kesatuan politik sekurang-kurangnya harus memiliki empat unsur, seperti dirumuskan dalam Konvensi Montevideo yang dikutip oleh F. Isywara sebagai berikut: 1) penduduk yang tetap, 2) wilayah tertentu, 3) pemerintah, dan 4) kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lain.[26] Sementara Miriam Budiardjo menyebutkan empat unsur yang mesti dipenuhi oleh sebuah negara, yaitu penduduk, wilayah, pemerintah, dan kekuasaan.[27] Al-Mawardi juga menulis bahwa setidaknya ada lima unsur pokok dalam suatu negara, yaitu: 1) agama sebagai landasan negara dan persatuan rakyat, 2) wilayah, 3) penduduk, 4) pemerintah yang berwibawa, dan 5) keadilan atau keamanan.[28]

Sehubungan dengan itu, Plato dalam buku Republic menggambarkan bahwa yang menjadi tujuan hidupnya adalah terbinanya sebuah negara, masyarakat dan pendidikan. Menurutnya, pemerintahan (baca: negara) harus dipimpin oleh idea yang tertinggi, yaitu idea kebaikan. Kemauan untuk melaksanakan itu bergantung kepada budi. Tujuan negara yang benar ialah mendidik warga negara agar memiliki budi. Adapun pencapaian budi yang benar hanya dapat dicapai dengan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu harus berkuasa di dalam negara. Senada dengan pandangannya itu, ia mengucapkan pernyataan yang cukup tersohor bahwa "Kesengsaraan dunia tidak akan berakhir sebelum filsuf menjadi raja atau raja-raja menjadi filsuf".[29]

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Aristoteles bahwa pelaksanaan moral baru bisa sempurna di dalam negara.[30] Menurutnya, manusia memiliki bakat moral, tetapi itu hanya dapat dikembangkan dalam hubungannya dengan manusia lain atau dengan jalan bermasyarakat karena manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon). Negara bertujuan mengarahkan masyarakat untuk memperoleh keselamatan. Kewajiban negara ialah mendidik rakyat untuk berpendirian tetap, berbudi baik dan kecakapan untuk meraih yang sebaik-baiknya.

Pandangan Aristoteles tentang bentuk negara merupakan kelanjutan dari paham moralnya. Ia telah menyelidiki 158 buah undang-undang dasar negara-kota dalam dunia Grik kala itu. Hanya saja, ia tidak mengemukakan suatu cita-cita yang luar biasa seperti yang telah dilakukan Plato. Ia lebih cenderung berpendapat bahwa kesepadanan dengan kepentingan hidup yang berlaku di masa itu merupakan suatu yang dianjurkan. Sungguh pun begitu, Aristoteles tetap memandang demokrasi lebih rendah ketimbang aristokrasi, karena dalam demokrasi keahlian digantikan dengan jumlah. Bentuk yang terbaik -menurutnya- adalah kombinasi antara aristokrasi dan demokrasi.

Kembali kepada pemikiran filsuf muslim, Al-Kindi menggabungkan antara kecenderungan pemikiran Plato-Aristoteles (Platonic-Aristotelian) dan Neoplatonis.[31] Kelihatannya, pandangan politik Al-Kindi terbatas pada etika individu dalam kaitannya dengan pencapaian kebahagiaan sejati di akhirat kelak dengan cara mengabaikan dunia dan meningkatkan perolehan pengetahuan spiritual, terutama tentang sang Pencipta.

Al-Farabi juga terpengaruh oleh konsep Plato tentang negara yang menyamakannya dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki, dan anggota tubuh lain dengan fungsinya masing-masing. Menurutnya, yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena dari kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan yang mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian halnya dalam negara. Sebagai bagian terpenting dalam negara, kepala negara haruslah orang yang paling unggul dalam bidang intelektual maupun moralnya.

Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan dan cara hidup yang dijalankannya. Lebih lanjut, Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki tidak mungkin dapat mewujud di dunia ini, tetapi di akhirat kelak. Namun, kebahagiaan nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan dan kesenangan dapat diperoleh di dunia ini. Kebahagiaan sejati dapat diraih melalui tindakan-tindakan mulia, kebajikan-kebajikan dan keutamaan-keutamaan. Atas dasar inilah, Al-Farabi menandaskan bahwa perwujudan ke arah itu adalah dengan kepemimpinan yang tegak dan benar-benar.[32]

Di samping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, kesehatan jasmani, serta kefasihan berbicara. Kepala negara juga mesti memiliki akal tingkatan ketiga (al-aql al-mustafad) agar bisa berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Jika tidak ada nabi yang akan menjadi kepala negara, maka dapat digantikan oleh orang yang dianggap memiliki sifat nabi, yaitu filsuf.[33] Selanjutnya, rakyat harus bekerja sama sesuai kemampuan masing-masing. Inilah yang mesti dipenuhi dalam sebuah negara ideal ala Al-Farabi.

Mengenai terjadinya masyarakat, Al-Farabi mengulangi pendapat yang telah ada waktu itu. Pertama, masyarakat timbul dengan adanya kekuasaan seseorang yang kuat (raja atau panglma) yang mempersatukan dan memimpin masyarakat itu. Kedua, disebabkan oleh persamaan keturunan atau hubungan darah di antara warga-warganya. Ketiga, masyarakat itu dapat terbentuk dengan adanya hubungan perkawinan di antara beberapa keluarga. Lebih lanjut, ia mengklasifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan, yaitu: Satu, masyarakat sempurna. Dua, masyarakat yang tidak sempurna. Masyarakat sempurna dibaginya kepada tiga tingkatan, yakni: 1) masyarakat besar, yaitu dunia seluruhnya. 2) masyarakat pertengahan yang terdiri atas sebagian dunia atau suatu territorial, dan 3) masyarakat kecil yang hanya terdiri atas satu kota.[34]

Selanjutnya, dari segi kemampuan suatu pemerintahan, Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu politik kepada dua macam, yaitu: Pertama, kemampuan dalam melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat universal. Kedua, kemampuan yang disebabkan oleh adanya ketekunan dalam aktifitas politik, dengan harapan bisa menjadi kebijaksanaan.[35]

Pada penjelasan selanjutnya, Al-Farabi menyebutkan bahwa jika tujuan negara utama, kebahagiaan dan keserasian terganggu, maka akan melahirkan empat macam kemungkinan kota (negara) korup, yaitu: a) kota kebodohan (jahil), b) kota pembangkang (fasiq), c) kota pembelot (mutabaddilah), d) kota yang salah (sesat).[36] Kota kebodohan (jahil) digambarkan sebagai kota yang penduduknya tidak mengetahui kebahagiaan sejati dan tidak pula mengejarnya, malahan mereka terpikat dengan kesenangan-kesenangan hidup yang palsu, seperti mementingkan kesentosaan pribadi atau pemeliharaan diri. Kota pembangkang (fasiq) adalah kota yang penduduknya memahami tentang kebenaran tentang Tuhan, kehidupan akhirat dan kebahagiaan sejati, tetapi gagal untuk hidup sesuai dengan kebenaran itu. Kota pembelot (mutabaddilah) di lain pihak merupakan kota yang pada mulanya memenuhi kriteria tersebut, tetapi kemudian membelot daripadanya. Kota yang salah (sesat) adalah kota yang tidak pernah mencapai lebih dari suatu pengetahuan yang keliru tentang Tuhan atau kebahagiaan sejati dan diperintah oleh nabi-nabi palsu yang menggunakan jalan licin dan tipu daya dalam mencapai tujuan-tujuannya.

Dari pandangan politik Al-Farabi ditemukan bahwa idealitas mendominasi pemikirannya sehingga jauh dari kehidupan nyata. Bahkan, De Bour, sebagaimana kutip Engineer, bahwa dengan menggunakan cara pandang ketimurannya terhadap segala sesuatu, konsep republik idealnya Plato dia ubah menjadi konsep "Filsuf sebagai Penguasa".[37] Konsepsi negara ideal yang ditawarkan Al-Farabi yang terkesan idealis tersebut dilatari oleh pengalaman Al-Farabi yang tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan. Ia lebih senang berkhalwat atau menyendiri sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Adapun kemungkinan lain yang melatari pemikiran tersebut adalah situasi di masa itu, yaitu kekuasaan Abbasiyah sedang diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan karena alasan kesukuan ataupun materi.[38]

Di lain pihak, Ibnu Miskawaih memandang negara (kerajaan) sebagai suatu yang tak dapat dipisahkan (closely related) dari agama. Ia mengadopsi pendapat Azdsher, seorang raja dan filsuf bangsa Persia, yang mengatakan bahwa agama dan kerajaan ibarat dua saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang satu tak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, sedangkan kerajaan sebagai pengawalnya.[39] Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia. Menurutnya, raja yang berkuasa harus menjaga tegaknya agama, selalu waspada menjaga posisinya, melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tidak lengah, tidak mengejar kenikmatan pribadi, tidak mengejar kehormatan dan kesenangan dengan jalan yang sah menurut agama.

Berkenaan dengan ungkapan khalifah Abu Bakar As-Shiddiq dalam pidato penobatannya sebagai khalifah: "Manusia yang paling sengsara di dunia dan di akhirat adalah para raja", Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa yang dimaksud adalah raja yang setelah berkuasa amat sayang membelanjakan harta yang dimiliki, tetapi amat tamak (rakus) terhadap harta orang lain.[40] Umur yang ditentukan baginya berkurang separuhnya dan hatinya selalu diliputi rasa ketakutan. Raja yang demikian itu selalu mengharapkan hilangnya kenikmatan pada orang fakir miskin dan menunjukkan rasa tidak senang kepada orang kaya, dan merasa bosan terhadap kemakmuran bersama. Raja yang demikian bak mata uang palsu dan fatamorgana yang menipu. Lahirnya tampak pemberani, tetapi batinnya pengecut.

IV. Akhir Kata

Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa hubungan antara etika dengan politik sangatlah esensial. Hal tersebut dapat dipahami dengan landasan pemikiran politik masing-masing filsuf di atas dan setelah mengkomparasikan dengan pemikiran filsuf Yunani kuno yang memperlihatkan kesatuan tersebut. Demikian pula, pengaruh filsafat Yunani kuno sangat besar merasuk dalam pikiran para filosof muslim yang disebutkan di atas.

Akhirul kalam, diskursus tentang etika dan negara dalam bingkai filsafat Islam sangatlah urgen untuk diselami. Pasalnya, stereotip yang menegasikan pemikiran filsuf muslim merupakan suatu tantangan yang patut untuk dijawab. Selamat membaca!

Kepustakaan

Badawi, Abdurrahman, "Miskawaih" dalam M.M. Sharif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, Wiesbaden: Otto Harrossowitz, 1963, Vol. I

Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998, Cet. XIX

Engineer, Asghar Ali, Devolusi Negara Islam, (Diindonesiakan oleh Imam Mutaqin) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. I

Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat III, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. IV

Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI-Press, 1986, Cet. III, h. 132.

Isywara, F., Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1980, Cet. VII

Iver, Robert M. Mac The Modern State, (diindonesiakan oleh Drs. Moertono) Jakarta: Aksara Baru, 1977

Longman, Dictionary of Contemporary English, London: Longman Group, 1998, Edisi VIII

Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1966

Musa, Muhammad Yusuf, Baina ad-Din wa al-Falsafah, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1971

Mustofa, H. A., Drs., Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, Cet. I

Nasr, Seyyed Hossein & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, London: Routledge, 1996, Vol. I, Cet. I

Nasution, Hasyimsyah, Dr., Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, Cet. II

Said, H. Muhammad, Etika Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960

Setiardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1990

Syafiie, Inu Kencana, Drs., Ilmu Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997, Cet. I

Thawil, Taufiq, Falsafah al-Akhlaq, Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1979



[1] Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Miskawaih merupakan tokoh-tokoh filsafat dari dunia Islam timur. Selain mereka terdapat Al-Razi, Ikhwan al-Shafa, Ibnu Sina dan Al-Ghazali. Adapun dari dunia Islam barat terdapat Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Penjelasan lebih lanjut, lihat: Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. II, h.15-126.

[2] A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), Cet. I, h. 90.

[3] Term moral ekuivalen dengan term ethics yang diartikan sebagai "Aturan-aturan moral atau pijakan pokok kelakuan yang mempengaruhi individu atau kelompok". (Moral rules or principles of behaviour governing a person or group). Lihat: Longman, Dictionary of Contemporary English, (London: Longman Group, 1998), Edisi VIII, h. 346.

[4] H. Muhammad Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960), h. 23. Dalam makalah ini penulis menyamakan pengertian moral, etika dan akhlak.

[5] A. Gunawan Setiardja, Op. cit., h. 92.

[6] Tentang eudaemonie ini yaitu kebahagiaan sebagai barang yang tertinggi dalam kehidupan, pandangan Aristoteles pada dasarnya serupa dengan etik Sokrates dan Plato. Hanya saja, Aristoteles memahaminya secara realistis dan sederhana. Ia tidak mempermasalahkan tentang budi dan berlakunya lagi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sokrates. Ia juga tidak mengaitkan dengan pengetahuan tentang idea yang kekal dan tidak berubah-ubah, idea tentang kebaikan, seperti yang ditegaskan oleh Plato. Menurutnya, manusia mengarah kepada kebaikan yang digapai sesuai jenisnya baik laki-laki, wanita, derajatnya, kedudukan ataupun profesinya. Tujuan hidup menurutnya bukanlah mencapai kebaikan untuk kebaikan, melainkan merasakan kebahagiaan tersebut. Sebagai contoh, kebahagiaan bagi seorang dokter adalah kesehatan, dan bagi seorang pengusaha adalah kesejahteraan dan kemakmuran hidup. Lihat: Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet. III, h. 132.

[7] Al-Kindi hidup semasa pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu: Al-Amin (809-813 M), Al-Ma'mun (813-833 M), Al-Mu'tashim (833-842 M), Al-Watsiq (842-847 M), Al-Mutawakkil (847-861 M). Dari karangan-karangan yang dihasilkannya tergambar bahwa ia merupakan penganut aliran eklektisisme, yaitu suatu kepercayaan yang tidak memergunakan atau mengikuti metode apapun yang ada, melainkan mengambil apa yang paling baik dari metode-metode filsafat yang ada. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), Cet. I, h. 101.

[8] Penjelasan lebih lanjut, lihat: Ibid., h. 83.

[9] Sekolah Stoa didirikan oleh Zeno dari Kition. Kemunculannya hampir bersamaan dengan Sekolah Epikuros di Athena. Lihat: Ibid., h. 148.

[10] Masalah kausalitas dalam filsafat terletak dalam dua hal, yaitu: Satu, pikiran manusia yang tidak dapat menerima kebetulan dan pengalaman sehari-hari. Dua, hubungan sebab akibat tidak dapat ditangkap dengan pancaindera dan tidak dapat diselidiki lebih lanjut. Keyakinan akan adanya hubungan kausalitas itu tertanam dalam jiwa manusia berdasarkan pengalaman sehari-hari. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Cet. IV, h. 93.

[11] Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), Vol. I, Cet. I, h. 962.

[12] Ibid., h. 963.

[13] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h. 43.

[14] Sebagai bapak Etika Islam, Ibnu Miskawaih dikenal juga sebagai The Third Teacher (Mu'allim Tsalits) setelah Al-Farabi sebagai The Second Teacher (Mu'allim Tsani) dan Aristoteles sebagai The First Teacher (Mu'allim Awwal). H. A. Mustofa, Op. cit., h. 176.

[15] Muhammad Yusuf Musa, Baina ad-Din wa al-Falsafah, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1971), h. 70.

[16] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h. 62.

[17] Ibnu Miskawaih membatasi tujuh jenis hikmah, yaitu: tajam dalam berfikir, cekatan berfikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat perbedaan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan.

[18] Ada sebelas sifat keberanian, yaitu: murah hati, sabar, mulia, teguh, tenteram, agung, gagah, keraskeinginan, ramah, bersemangat, dan belas kasih.

[19] Ada dua belas sifat kesederhanaan, yaitu: malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan merdeka.

[20] Abdurrahman Badawi, "Miskawaih" dalam M.M. Sharif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, (Wiesbaden: Otto Harrossowitz, 1963), Vol. I, h. 474.

[21] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 177-182.

[22] Taufiq Thawil, Falsafah al-Akhlaq, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1979), h. 162.

[23] Ibid

[24] Abdurrahman Badawi, Op. cit., h. 478-479.

[25] (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order). Robert M. Mac Iver, The Modern State, (diindonesiakan oleh Drs. Moertono) (Jakarta: Aksara Baru, 1977), h. 16.

[26] F. Isywara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Bina Cipta, 1980), Cet. VII, h. 95.

[27] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), Cet. XIX, h. 42-44.

[28] Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), h. 36.

[29] Pandangan Plato tentang negara masih terpaut dengan masanya. Pasalnya, ia hidup pada masa Athena dengan pertentangan yang sangat menyolok antara kaum kaya dan miskin yang mengakibatkan alotnya pertentangan politik kala itu. Kekuasaan oligarki, aristokrasi dan demokrasi tampil silih berganti, tetapi tidak dapat mendudukkan pemerintahan yang tetap. Atas alasan itulah Plato kemudian menciptakan suatu konsep bentuk negara yang ideal. Mohammad Hatta, Op. cit., h. 109-110.

[30] Pada mulanya, negara masih seluas sebuah kota dengan kesibukan pemerintahan yang belum begitu kompleks. Beberapa filsuf Yunani kuno (kira-kira empat abad sebelum kelahiran Nabi Isa As) seperti Plato, Sokrates, Herodotus, Aristoteles, Anthistenes dan raja Alexander Yang Agung hidup di zaman tersebut. Hal tersebut berimplikasi pada produk pemikiran mereka yang cenderung terikat pada situasi dan kondisi di zaman itu. Plato misalnya, menganggap bahwa bentuk negara seperti monarsi, oligarsi dan demokrasi merupakan bentuk yang baik dari penguasaan negara, sedangkan bentuk buruknya dinamakan tirani (penguasaan oleh satu orang secara buruk), aristokrasi (penguasaan secara kelompok orang secara buruk, dan mobokrasi (penguasaan oleh rakyat banyak secara buruk). Aristoteles sebagai murid mengemukakan bentuk penguasaan negara yang serupa dengan pendapat gurunya, tetapi menyebut mobokrasi dengan istilah okhlorasi. Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), Cet. I, h. 98-99.

[31] Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Op. cit., h. 844.

[32] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 131.

[33] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h. 41.

[34] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 163.

[35] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 132.

[36] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h. 42.

[37] Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, (Diindonesiakan oleh Imam Mutaqin) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. I, h.128.

[38] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h.43.

[39] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 186.

[40] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 187.

No comments:

Post a Comment

Mohon Diisi Dengan Kritik dan Saran Yang Membagun