Tuesday, May 11, 2010

Kajian Pemikiran Filsafat Qur'an

KEBENARAN AL-QUR’AN

(Kajian Dengan Menggunakan Pendekatan Logika)

(Asrowi, MA.)

A. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah

Menurut orang muslim[1], Qur'an[2] merupakan wahyu Tuhan yang diberikan kepada manusia (Muhammad[3]) melalui malaikat Jibril, yang fungsinya sebagai sumber ajaran Islam[4] itu sendiri. Keberadaan kebenaran al-Qur'an tidak boleh diragukan lagi.[5] Bagi setiap orang muslim yang meragukan al-Qur'an, maka dihukumi kafir[6]. Hal tersebut benar-benar diyakini oleh semua orang muslim.

Al-Qur'an yang merupakan susunan huruf-huruf hijaiyyah[7]. Dari huruf hijaiyyah yang disusun jadilah sebuah kata[8], dari susunan kata-kata menjadi kalimat[9], ari kalimat-kalimat yang disusun jadilah sebuah tema (ayat), dari ayat-ayat yang tersusun jadilah surat, dari kumpulan surat-surat yang berjumlah 114 tersebut, jadilah al-Qur'an. Al-Qur'an yang bentuknya berbahasa Arab tersebut, diyakini orang-orang muslim sebagai imam dalam kehidupan, walaupun yang memahami isinya apalagi yang mengamalkan dalam kehidupan sebenarnya masih tergolong langka bahkan hampir punah, oleh karena itu, perlu adanya pembudidayaan. Hal tersebut terjadi karena isi al-Qur'an masih global dan sulit dipahami secara ilmiah[10], perlu adanya interprestasi[11] atau metode penafsiran[12] yang sejalan dengan kehidupan dan kemajuan intelektual umat manusia.

Al-Qur'an yang merupakan wahyu dari Tuhan memiliki peran nomor wahid di dalam agama Islam, hal itu tidak bisa dibantah lagi. Sebagaimana tercermin di dalam ayat yang telah diuraikan di dalam al-Qur'an. Akan tetapi kenapa banyak orang muslim tidak mengikuti semua perintahnya dan menjauhi larangannya. Pertanyaan ini ada dua kemingkinan, pertama: mereka sulit memahami isi dan kandunan al-Qur'an[13], kedua: mereka meragukan kebenaran al-Qur'an[14].

Manusia hidup di atas bumi ini semua memiki akal[15], dengan akal pada hakekadnya manusia bisa membedakan anatara yang salah dan yang benar, itu idialnya dan itu juga yang menjadi tolak ukur manusia hidup. Manusia secara khusus bisa disebut manusia jika mampu mempergunakan akalnya secara baik, benar dan bermanfaat. Bagi manusia yang mempergunakan akalnya dengan sebaliknya tidak layak disebut manusia. Oleh karena itu, supaya disebut manusia yang sebenarnya fungsikan akalnya untuk menalar kehidupan ini, agar benar-benar hidup dan sejalan dengan fitrahnya dalam perkembangan zaman ini.

Orang yang mempergunakan akalnya untuk berfikir dengan kritis[16], logis[17] sistematis[18] dan radikal[19] disebut orang yang berfikir filsafat[20]. Orang yang mampu berfikir secara filsafat, dia akan menemukan sebuah hakekat sebuah kebenaran[21]

Suatau kebenaran dianggap benar oleh akal apabila dalam proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan tersebut dinamakan logika. [22] Jadi logika[23] merupakan metode berpikir untuk mencapai kebenaran.

Oleh karena ini, berdasarkan beberapa keterangan dia atas, dapat dirumuskan beberapa masalah, di antaranya:

1. Betulkah al-Qur'an itu kalam Tuhan ?

2. Bisakah kebenaran al-Qur'an dibuktikan secara logika ?

b. Tujuan Penulisan

Dalam pembahasan ini, yang terangkum dari pokok bahasan sebagaimana tergambar di atas, diharapkan mampu membuat rumusan baru untuk membuktikan kebenaran Qur'an, penggunaan pendekatan logika diharapkan mampu menyingkap tabir hijab yang menyelimuti Qur'an secara ilmiah.

Agar umat manusia mengakui kebenaran al-Qur'an, baik dari segi isinya maupun eksistensinya sebagai petunjuk umat manusia, dari masa ke masa hingga akhir dunia (kiamat).

B. AL-QUR’AN

  1. Pengertian al-Qur'an

Term al-Qur'an secara etimologis merupakan bentuk mashdar yang semakna dengan kata qira’ah.[24] Pengertian ini telah diisyaratkan oleh Allah sendiri di dalam al-Qur'an.[25] Kemudia pengertian itu dialihkan dan dijadikan sebagai nama untuk kalam yang mengandung kemu’jizatan yang diturunkan kepada Nabi saw. Jadi kondisi ini termasuk penggunaan bentuk masdhar untuk makna bentuk maf’ul. Inilah pengertian menurut saya, dengan tumpuan sumber-sumber kebahasaan dan kaidah-kaidah konjugasi. Dan ini pula yang dipilih oleh al-Lahyani dan sejulah ulama. Dan adapun pendapat yang mengatakan bahwa istilah ini merupakan bentuk sifat dari kata qira’a yang bermakna al-jam’(menghimpun), atau merupakan bentukan dari kata al-qara’an, atau merupakan bentukan dari kata qaranatisyai’ bisyai’ (saya membarengkan sesuatu dengan sesuatu yang lain), ataupun merupakan nama sejak awal umtuk kalam yang mengandung kemu’jizatan dan diturunkan (kepada Nabi saw) yang tidak berhamzah dan sunyi dari “al” maka semua itu tidak memiliki alasan yang tegas, kalaupun ada alasannya, tetap tidak lepas dari pemaksaan dan jauh dari kaidah-kaidah konjugasi serta sumber-sumber kebahasaan.[26]

Jadi, berdasarkan pendapat yang terpilih, term al-Qur'an tetap berhamzah. Dan bila hamzahnya dibuang, maka tidak lain karena takhfifi (alasan meringankan pengucapan). Dan bila ia dimasuki oleh “al” setelah menjadi nama, maka al itu merupakan li lamh al-ashl (untuk melirik makna asalnya), bukan li at-ta’rif (untuk menyempitkan).[27]

Telah dimaklumi bahwa al-Qur'an adalah kalamullah. Kalamullah tidak sama dengan kalam manusia. In tidak syak sedikitpun. Maklum juga manusia memiliki kalam, yang kadang-kadang dimaksudkan untuk makna masdar, yakni “takallum” (pembicaraan), dan kadang-kadang dimaksudkan untuk makna yang merupakan hasil dari makna masdar itu, yakni al-mutakallim (yang dibicarakan). Masing-masing dari makna itu ada yang lafdhi (bersifat verbal) dan ada yang nafsiy (bersifat non verbal, berada dalam jiwa). Yang dimaksud dengan kalam manusia yang lafdhi dengan makna masdar adalah menggerakkan lidah dan yang terkait untuk mengeluarkan huruf-huruf dari temapt kelurnya. Sedangkan kalam lafdhi dengan makna hasil dari masdar adalah kata-kata yang terucapkan yang tidak lain merupakan cara-cara mengeluarkan suara empirik. Adapun kalam nafsi dengan makna masdar adalah menghadirkan dalam jiwa dengan daya pembicaraan yang bersifat batin, kata-kata yang tidak nampak dalam anggota badan. Seseorang dalam kondisi ini, berbicara dengan kata-kata imajinatif yang dirangkaikannya di dalam jiwa, diucapkan dengan suara empirik, tentu akan sejalan dengan kata-katayang terucapkanna. Sedang kalam nafsi[28] dengan makna hasil dari masdar itu adalah kata-kata yang bersifat kejiwaan yang terangkai secara batin dan sejalan dengan rangkaian lahirnya (jika diucapkan dengan anggota badan lahir) [29]

Selanjutnya, pengertian al-Qur'an menurut mutakallimin, ketika menyebut kalam nafsi, ada dua hal yang dicatat oleh kum teolog, yaitu: Pertama, bahwa al-Qur'an merupakan nama, yakni kalam khusus yang berbeda dengan kalam Ilahi yang lain. Kedua, ia merupakan Kalamullah, sedangkan kalamullah itu bersifat qadim, bukan makhluk, sehinnga ia harus dibersihkan dari segala sesuatu yang hadis dan segala ‘aradh-nya (aksidennya, sifat yang tidak konstan, yang berubah-rubah).[30]

Anda telah mengetahui, bahwa kalam nafsiy basyari diberi makna dengan dua pengertian, yaitu dengan makna mashdar dan dengan makna hasil dari mashdar itu. Demikian pula, kalamullah yang nafsiy dimanai dengan dua pengertian. Pertama sepadan dengan makna mashdar untuk kalam nafsiy basyari. Kedua sepadan dengan makna hasil dari mashdar untuk kalam nafsiy basyari. Kami menggunakan”sepadan”, karena telah disepakati kewajiban membersihakan Kalam Ilahi Nafsiy dari makhluk dan sejenisnya. Dengan demikian, mereka mendefinisikan Kalamullah Nafsiy dengan makna yang pertama sejajar dengan definisi kalam nafsiy basyari dengan makna mashdar. Mereka mengatakan : “Ia merupakan sifat qadim yang berkaitan dengan kata-kata yang bersifat maknawi, sejak awal al-Fatihah sampai akhir surat an-Nisa.”[31]

Kata-kata iti bersifat azali dan sunyi dari huruf-huruf literal, dzihniyyah dan ruhiyyah, serta mutarattabah (tertata rapi), bukan muta’aqadah (silih berganti), seperti halnya bayangan yang muncul di kaca seketika, tidak silih berganti, atau berselang. Berkenaan dengan ta’rif ini mereka mengatakan ia bersifat maknawi (atau hukmiy), karena bukan merupakan kata-kata sesungguhnya yang terformasi dengan huruf-huruf dan suara-suara. Mereka menambahkan ia bersifat azali (tak terdahului), untuk mengukuhkan makna qadim. Mereka mengatakan ia sunyi dari huruf-huruf literal, dzihniyyah dan ruhiyyah untuk menafikan sifat makhluk darinya. Demikian pula mereka menandaskan ia tidak silih berganti atau berselang (muta’aqadah), karena silih berganti membawa konsekuensi adanya zaman, sedang zaman merupakan sesuatu yang baru. Mereka menetapkan sifat “mutarattabah”, karena kemestian pada al-Qur’an pada hakekatnya tersusun rapi, bahkan memiliki keistimewaan kesempurnaan rangkaian dan susunan.[32]

Bila anda telah memahami pengertian pertama yang dikemukakan oleh kaum mutakallimin, maka anda dengan mudah dapat mengemukakan definisi yang kedua (menurut mereka), yakni, bahwa ia merupakan kata-kata yang bersifat maknawi,azali, tersusun rapi, dzihniyyah dan ruhiyyah. Ini merupakan definisi al-Qur’an yang sepadan dengan pengertian kalam nafsiy basyari dengan makna hasil dari mashdar. Itulah kedua definisi yang hanya dimiliki oleh kaum teolog (mutakallimin).

Masih ada pengertian ketiga yang dikemukakan oleh kaum mutakallimin,ulama fiqh dan ulama bahasa Arab. Pengertian yang dimaksud adalah :”Lafadz yang diturunkan kapada Nabi saw. Sejak awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nisa”. Yang dimiliki cirri-ciri khusus. Dengan demikian, ia merupakan wujud dan bentuk bagi kata-kata maknawi danyang azali tersebut, yang baru saja kami tunjukkan.

Definisi al-Qur’an yang keempat,yaitu goresan-goresan tulisan yang terletak di antara dua sampul mushhaf, dengan anggapan bahawa goresan-goresan itu mengindikasikan sifat qadim, kata-kata yang tersembunyi dan lafadz yang diturunkan. Ini merupakan pengertian syar’Ibnu Majah yang bersifat umum. Sebaliknya, kami akan memeparkan contoh kepada anda agar dapat menjernihlan pengertian yang sering disalahpahami.[33]

Seorang penyair, seperti Syarafuddin al-Bushiriy Rahimahullah, tak pelak lagi memiliki daya kepenyairan, yang dengan daya itu mampu menformulasi untaian-untaian mengagumkan. Dan daya kepenyairannya telah aktif untuk memuji makhluk paling utama dengan kasidahnya yang dikenal dengan “Al-Hamziyyah”,yak lagi, bahwa ia berupaya merangakai dalam jiwanya, lalu menghadirkan makna-makna, kata-kata dan wazan-wazan, sehingga terbentuk kasidah itu dalam jiwanya, kalau diungkapkan dengan suara empirik, maka makna-makna itu akan terwujud sebagai kasidah yang telah berwazan. Juga tidak syak lagi, bahwa ia mjengucapkan kasidahnya itu setelahnya, kemudian menuliskannya. Nama yang popular dengan “Al-Hamziyyah” tantang pujian makhluk terbaik (Nabi Muhammad saw.) dapat kita jadikan abstraksi untuk memahami keempat pengertian al-Qur’an yang telah kami sebutkan. Kita dapat mendefinisikan Al-Hamziyyah sebagai daya kepenyairan yang dimiliki oleh laki-laki diatas, dalam kemampuannya mengarah pada rangkaian khusus yang terbentuk terlebih dahulu dalam jiwanya sebelum menjadi kasidah yang tergores dalam bentuk tulisan. Bisa juga kita kita definisikannya sebagai kasidah khusus yang terbentuk dalam jiwanya sebelum muncul dalam untaian tulisan. Bisa juga kita mendefinisikannya sebagai kasidah khusus setelah terbentuk menjadi suara-suara yang terucapkan dan huruf-huruf yang berwazan. Dan bisa juga kita mendefinisikannya sebagai kasidah khusus yang tertulis itu.[34]

Selanjutnya, pengertian al-qur'an menurut ulama ushul, fiqh, dan bahasa Arab, Tampaknya saya memberikan uarian terlalu panjang. Akan tetapi persoalannya memang sangat pelik dan sangat urgen sehingga anda tidak perlu jenuh dengan uraian yang panjang ini. Kemudian, perlu diingat kembali bahwa saya berjanji untuk menjelaskan makna al-Qur’an dalam posisinya sebagai lafazd yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sejak awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.[35]

Pengertian ini, seperti yang anda telah ketahui, dikaitkan kepada ulama ushul, fiqh, fiqh dan bahasa, disamping bertepatan pula dengan pengertian (ketiga) yang dikemukakan oleh kaum mutakallimin. Hanya saja, saja mereka yang sangat mendefinisikan al-Qur’an sebagai lafadz yang diturunkan, dan seterusnya berbeda-beda dalam mengemukakan definisi. Ada yang mengungkapkan definisi yang sangat panjang dengan menyebutkan ciri-ciri khusus al-Quran. Ada yang mengungkapkan definisi yang sangat singkat. Dan ada pula yang mengemukakan definisi secara sederhana. Kelompok pertama mendefinisikannya sebagai :

Kalam yang mengandung kemukjizatan yang diturunkan kepada Nabi saw. Yang tertulis dalam mushhaf-mushhaf yang diriwayatkan secara mutawatir dan yang dinilai ibadah bila membacanya.[36]

Anda melihat bahwa definisi ini mencakup unsur kemukjizatan, unsur diturunkan kepada Nabi saw., tertulis dalam mushhaf-mushhaf, diriwayatkan secara mutawatir dan dianggap ibadah dengan membacanya. Semua itu merupakan ciri-ciri agung yang merupakan indentitas al-Qur'an-Karim, meskipun masih ada ciri-ciri lainnya. Tak ragu lagi, bahwa definisi itu sebenarnya sudah cukup menyebut sebagian saja, yang Jami’ Mani’ (mengimpun semua sifat terkait dan mengentahkan semua sifat yang tidak terkait). Hanya saja, konteks pendefinisian adalah konteks uraian dan penjelasan. Oleh karenaitu, tepat juga menyebutkan definisi yang panjang, karena tujuan memberikan kejelasan. Oleh karena itu, mereka masih memberikan kesempatan untuk menambahkan sifat pada definisi tersebut.[37]

Sebagian dari mereka yang mengemukakan definisi sangat singkat, ada yang terbatas pada penyebutan satu sifat saja, yaitu sifat kemukjizatan. Alasan mereka adalah bahwa kemukjizatan merupakan Sifat Dzatiy (identitas) al-Qur'an, dan merupakan bukti teragung akan kejujuran Nabi saw. serta merupakan saksi yang adil terhadap kenyataan bahwa al-Qur'an merupakan kalamullah.

Ada juga membatasi penyebutan dua sifat, yaitu sifat diturunkan dan sifat kemukjizatan. Alasan mereka adalah bahwa selain kedua sifat itu, tidak merupakan sifat yang lazim bagi al-Qur'an . Buktinya al-Qur'an terealisir dengan kedua sifat itu saja pada masa kenabian.

Dengan ada yang membatasi penyebutan dua sifat, yaitu diriwayatkan dalam mushhaf-mushhaf dan diriwayatkan dengan cara mutawatir. Karena kedua sifat itu suday cukup untuk memperkenalkan al-Qur'an al-Karim, yakni membedakannya dari yang selainnya.

Sedang mereka yang mengemukakan definisi secara sederhana, ada yang hanya mengemukakan sifat diturunkan, ditulis dalam mushhaf-mushhaf dan diriwayatkan secara mutawatir. Alasan mereka adalah bahwa tujuannyandadalah mengemukakan definisi al-Qur'an kepada mereka yang tidak mengalami masa Nabi saw. Dan itulah sifat-sifat yang mesti disebutkan kepada mereka. Berbeda dengan sifat kemukjizatan, yang tidak begitu jelas bila dikaitkan dengan mereka dan tidak merupakan sifat yang lazim untuk bagian yang kurang dari satu suratnya.

Ada juga yang mengemukakan sifat diturunkan, diriwayatkan secara mutawatir dan nilai ibadah dengan membacanya. Alasan mereka, definisi inilah yang sejalan dengan apa yang menjadi sasaran ulama Ushul. Mereka mengemukakan definisi.

Lafadz yang diturunkan kepada Nabi saw. diriwayatkan secara mutawatir dan dinilai ibadah dengan membacanya.[38]

“Lafadz” merupakan genus dalam definisi itu, yang mencakup lafadz tunggal dan ganda. Tak syak lagi, bahwa mencari dalil untuk hukum-hukum tertentu, seperti “’am” dan “muqayyad”. Dengan terma” diturunkan kepada Nabi saw. “terkecualikan apa yang tidak diturunkan sama sekali, seperti dalam kalam kita dan hadits Nabi saw., dan yang diturunkan kepada selain Nabi Muhammad saw.a seperti Taurat dan Injil. Dengan terma “yang diriwayatkan secara mutawatir” terkecualikan semua yang telah mansukh bacaannya dan qira’ah-qira-ah yang tidak mutawatir.[39]

Kemudian, al-Qur'an menurut kalangan Ushul, Fiqh dan Bahasa Arab adalah, kalam yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi saw.yang tertulis dalam mushhaf-mushhaf yang diriwayatkan secara mutawatir dan yang dinilai ibadah bila membacanya.[40]

  1. Mu’jizat al-Qur'an

Al-Qur'an adalah mu’jizat Nabi saw., kemu’jizatan di sini bersifat ma’nafi (abstrak), bukan mu’jizat yang bersifat madiy (fisik) seperti menyembuhkan orang buta penyakit lepra, mengubah tongkat menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat, dan lain-lain yang lekas hilang seketika.[41]

Ulama sepakat bahwasanya sampai sekarang akal tidak mampu untuk menjangkau seluruh aspek-aspek kemu’jizatan al-Qur'an dan membatasinya dalam beberapa segi yang terhitung jumlahnya. Bahwasanya setiap kali akal merenungkan terhadap ayat-ayat al-Qur'an, mengadakan pengkajian secara ilmiah tentang rahasia-rahasia alam dan hukum-hukumnya, dan menampilkan berbagai keajaiban makhluk hidup dan makhluk yang tidak hidup pada perputaran tahun, maka akan semakin jelas pula aspek kemu’jizatan al-Qur'an sekaligus membuktikan bahwa ia berasal dari sisi Allah.[42]

Bentuk-bentuk kemu’jizatan al-Qur'an, bagi bangsa Arab kemu’jizatan al-Qur'an merupakn sesuatu yang tak dapat disaangsikan lagi. Hal ini terbukti dengan ketidaksanggupan mereka untuk menciptakan hasil karya semisal al-Qur'an. Mereka yang tidak mengakui kemu’jizatan al-Qur'an, pada dasarnya hanyalah karena ketidakjujuran hati mereka yang tidak mau beriman. Tatkal pemuka mereka – dari kalangan ahli sastera-membaca al-Qur'an, maka dengan yakin dia mengakui keunggulan al-Qur'an, seraya menyatakan :

“Demi Allah tidak ada seorang pun dari kalian yang lebih mengenal syair dari padaku, dan tidak seorang pun yang lebih mengerti dariku tentang bahar rajaz serta inti syair. Demi Allah, tidak ada karya sastra manapun yang mampu menyerupai ini (al-Qur'an). Demi Allah sungguh susunan bahasanya amat manis dan indah – bagikan sebatang pohon: pada bagian atasnya rindang dan berbuah, sementara pada bagian bawahnya nampak kokoh dan subur. Sungguh ia bermutu tinggi dan tak terungguli”.[43]

Orang-orang musyrik mengetahui adanya pengaruh yang kuat di dalam jiwa orang-orang yang mendengarkan, merasakan dan mengkaji bunyi al-Qur'an. Oleh karena itu mereka yang tetap ingkar dan bersikeras mengikuti hawa nafsu, mereka merasa khawatir akan ikut terpengaruh. Akhirnya mereka pun saling menganjurkan agar tidak mengdengarkan al-Qur'an lagi[44].

Dengan demikian jelaslah bahwa kemu’jizatan al-Qur'an terletak pada dzat al-Qur'an sendiri, bukan karena sesuatu yang ada di luarnya. Dan bukan pula karena tantangan Allah kepada manusia untuk mendatangkan yang semisal al-Qur'an, meski sesungguhnya mereka mempunyai kemempuan untuk itu, sebagaimana yang terdapat dalam syair-syair al-fida di kalangan para rahib (pendeta)[45]

Para ulama terdahulu telah membicarakan tentang bentuk-bentuk kemu’jizatan dalam al-Qur'an, meskipun pada masa Nabi yang pertama (ketika di Makkah) kemu’jizatan itu telah nyata terbukti, yakni dengan adanya tantangan kepada kaum kafir Quraisy untuk mendatangkan karya semisal al-Qur'an dan ternyata mereka tidak mampu.[46]

Menerangkan bentuk-bentuk kemu’jizatan itu adalah merupakan hal yang baik, karena dapat menampakkan keistimewaan-keistimaewaan dan kekhususan al-Qur'an. Hal ini harus dijelaskan agar manusia mengetahui, bahwa kemu’jizatan al-Qur'an bersifat dzatiy (esensial), bukan bersifat relatif (idhafy), dan bukan karena sesuatu yang keluar darinya. Memang sesungguhnya kemu’jizatan al-Qur'an bukan hanya bagi bahasa Arab saja, tetapi untuk semua manusia. Tidak ada perbedaan antara bangsa ini dan bangsa itu, karena khitab al-Qur'an adalah untuk umat manusia semuanya. [47]

Karenanya, sesuai dengan universalitas al-Qur'an itu, tentu bentuk kemu’jizatannya pun berupa hal yang bersifat universal pula. Atau minimal sebagian dari bentuk-bentuk kemu’jizatan itu pasti berhubungan dengan umat manusia secara umum, tidak hanya dengan bangsa dan bahasa tertentu.

Berikut ini kami bahas empat bentuk kemu’jizatan al-Qur'an yang pernah diungkapkan oleh para ulama :[48]

Pertama, kebalaghahan al-Qur'an (segi keindahan bahasa al-Qur'an). Mutu keindahan bahasa al-Qur'an tidak hanya dikenal oleh kalangan sastrawan Arab saja. Tetapi lebih dari itu, keindahan bahasa al-Qur'an telah diakui pula oleh orang-orang dan para ahli yang pernah mendalami dan mengkaji ilmu bayan dalam bahasa Arab. Mereka membandingkan antara bahasa al-Qur'an dengan syair dan karya sastra lainnya, akhirnya kesimpulan yang didapat ialah bahwa ternyata bahasa al-Qur'an amat lain dari jenis syair dan satra manusia pada umumnya.

Mereka melihat kefasihan lafazh-lafazh al-Qur'an yang tiada taranya, uslub bahasanya yang demikian indah dan mengagumkan, kadangkala ia bernada keras msehingga dayanya bagaikan bencana dasyat yang menggetarkan perasaan dan denyut jantung. Dan kadangkala uslub bahasanya bernada amat halus ketika menyingkap hal-hal yang indah hingga bagaikan darah segar yang mengalir cepat di dalam jiwa. Melihat kefasihan lafazh-lafazhnya, keindahan uslub bahasanya yang demikian mengagumkan, al-Qur'an memang bukan karya sastra yang tersusun menurut bentuk syair bersajak maupun prosa bebas, melainkan ia berdiri menurut bentuknya sendiri. Adalah orang-orang kafir Quraisy yang karena mengabaikan pengaruh al-Qur'an serta tidak mengetahui dari segi apa pengaruh itu muncul, maka mereka menyatakan bahwa sesungguhnya al-Qur'an itu sihir, padahal ia bukanlah sihir.

Kedua, pemberitaan al-Qur'an tentang keadaan yang terjadi pada abad-abad yang silam. Al-Qur'an telah menceritakan tentang kasus kaum ‘Ad dan Tsamud , kaum Luth dan kaum Nuh, Kaum Nabi Ibrahim, tentang Musa beserta kaumnya, kasus Fir’aun, tentang Maryam dan kelahirannya, kelairan Yahya, kelahiran Isa al-Masih, dan sebagainya. Berita-berita itu semuanya benar, sesuai dengan kebenaran rasional yang terdapat dalam buku-buku ahli kitab. Padahal semua berita itu keluar dari seorang yang ummiy, tidak tahu tulis baca, tidak pernah belajar kepada guru, tidak pernah membaca buku apa pun. Keluarganya pun bukanlah sebagai keluarga terdidik dan bukan pula dari keluarga ahli kitab, hingga memungkinkan dapat mengetahui berita-berita para nabi terdahulu dari mereka. Oleh karena itu kedatangan al-Qur'an dengan membawa kebenaran yang disampaikan oleh seorang yang ummiy (buta huruf), merupakan bukti bahwa ia datangnya dari Allah swt.

Tatkala orang-orang kafir menjadi bingung, akhirnya mereka hendak membuat kebohongan sambil menuduh bahwa sesungguhnya dia (Muhammad) diajari oleh seorang manusia. Namun ternyata (di Makkah) mereka hanya dapat menemukan seorang pemuda Rum yang bahasa Arabnya tidak bagus (lemah) dan dia juga tidak pernah mengetahui sedikit pun tentang sejarah orang-orang masa lalu.

Ketiga, pemberitaan al-Qur'an tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa datang. Antara lain pemberitahuan al-Qur'an mengenai kekalahan bangsa Persia setelah lebih dulu bangsa Romawi yang kalah.

Dan sungguh apa yang diberitahukan al-Qur'an itu benar-benar telah terjadi. Allah swt. menjanjikan kemenangan kaum mukminin di dalam perang Badar al-Kubra, dan sungguh kemenangan itu benar-benar telah terbukti. Dan Allah swt. menjanjikan bahwa Nabi beserta para sahabatnya akan memasuki Masjidil Haram, dan sungguh janji itu telah menjadi kenyataan. Allah SWT. juga berjanji bahwa kaum mukminin kelak akan menjadi penguasa di bumi sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka.

Sungguh janji Tuhan itu telah terbukti, di mana pada masa Nabi umat Islam telah menguasai seluruh jazirah Arab. Kemudian setelah zaman Nabi, para sahabat-sahabatnya melanjutkan penaklukan ke negeri Persia, Byzantium (Romawi) sampai Mesir. Berita-berita tentang kejadian yang akan datang itu merupakan dalil bahwa al-Qur'an adalah wahyu yang datang dari sisi Allah SWT.

Keempat, kandungan al-Qur'an yang memuat beberapa ilmu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh seorang ummiy yang tidak pandai membaca edan menulis, dan tidak ada suatu perguruan atau lembaga pendidikan yang mengajarnya .Al-Qur'an mengandung realitas ilmiah tentang kejadian langit dan bumi, seperti dinyatakannya bahwa langit dan bumi itu dulunya berasal dari satu gumpalan, kemudian terjadi ledakan yang membuatnya terpecah-pecah menjadi beberapa planet. Begitu juga tentang awal kejadian manusia.

Banyak ayat-ayat dalam al-Qur'an yang mengungkapkan masalah-masalah alam. Semua itu, tidak mungkin Muhammad mengetahuinya, karena dia belum pernah belajar tentang ilmu-ilmu serta tidak mengenal dunia luar, kecuali dalam dua kali perjalanan dagangnya ke negeri Syam. Pertama, ketika berumur 12 tahun bersama pamannya, dan kedua ketika menjelang dewasa saat berumur sekitar 25 tahun. Namun begitu, al-Qur'an yang di bawanya mengandung dan tidsak bisa disangkal kebenarannya oleh siapa pun. Hal itu, tak lain sebagai bukti bahwa al-Qur'an memang dating dari Allah Pencipta alam semesta ini.

Apa yang disebutkan diatas adalah sebagian dari segi kemu’jizatan al-Qur'an. Di samping itu, al-Qur'an juga memiliki nilai kemu’jizatan yang hanya disebutkan para ulama melalui isyarat, yakni syariat yang terkandung di dalamnya. Imam al- Qurthubi telah menyinggung sekilas tentang nilai-nilai kemu’jizatan al-Qur'an dalam kitabnya Ahkam al-Qur'an . Di antaranya ialah hukum tentang halal , haram dan sebagainya yang menjadi pedoman bagi umat manusia.

Dengan uraian ini dia memberikan isyarat, bahwa hukum-hukum syra’ yang mengatur kehidupan keluarga dan interaksi social antara sesama umat manusia yang tercantum dalam al-Qur'an, merupakan sisi lain dari nilai kemu’jizatan al-Qur'an . Hanya saja , uraiannya yang singkat itu kurang memadai bagi seseorang yang memerlukan uraian yang luas.

Karenaitu, segi ini perlu dilihat dari kenyataan bahwa Rasulullah SAW. diutus pada suatu kaum yang tidak memiliki perundang-undangan yang mengatur kehidupan dan masyarakat. Satu-satunya peraturan yang ada adalah tentang kabilah yang mereka warisi dari adat istiadat jahiliyah. Kemudian datangnya Rasulullah SAW. dengan membawa seperangakt perundang-undangan yang mengatur hubungan antar negara (hukum internasional), antar individu, antar keluarga dan mengatur hubungan antara anak dengan orang tua serta hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Agar supaya umat manusia mengetahui nilai kemu’jizatan al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka perlu diadakan studi pertandingan antara hukum-hukum al-Qur'an dan hukum-hukum Romawi yang nota bene merupakan perundang-undangan yang terbaik pada masa dahulu. Dari hasil studi perbandingan ini, akan jelaslah keagungan al-Qur'an yang diturunka kepada Nabi yang ummi yang bersabda “al-Qur'an ini adalah dari sisi Allah swt.” di samping juga menunjukkan atas kebenarannya.

Hasil studi ini juga akan menunjukkan kepada kita tentang prinsip-prinsip dalam menyusun perundang-undangan yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Romawi pada masa dahulu dan orang-orang yang hidup sesudahnya. Bahkan juga belum dikenal oleh orang-orang modern, kecuali pada masa akhir-akhir ini. Syari’at al-Qur'an menetapkan prinsip persamaan (egalitarianisme) antar bangsa-bangsa di dunia ini, sehingga tidak menciptakan suatu hukum yang khusus diperuntuhkan bagi bangsa Arab dan hukum yang lain khusus diperuntuhkan bagi bangsa ‘ajam (non-Arab).

Syari’at al-Qur'an juga memberikan kemerdekaan yang penuh bagi setiap orang laki-laki dan perempuan yang sudah mencapai usia dewasa (baligh), memperlakukan orang-orang yang mempunyai hutang yang belum mampu membayar hutangnya dengan perlakuan yang baik, memperlakukan hamba sahaya dengan penuh kasih saying dan mempersempit perbudakan serta memperluas kemerdekaan dan menciptakan peraturan yang khusus terhadap mereka. Oleh karena itu, al-Qur'an tidak menjelaskan mengenai pembebasan dari perbudakan.

Islam juga memberikan hak-hak yang penuh terhadap wanita serta mengakui hak milik wanita dalam keluarga yang terpisah dari harta kekayaan suami. Dalam masalah harta pusaka. Islam juga mengatur dengan baik yang sampai hari ini tidak ada satu pun perundang-undangan di dunia yang mampu menandinginya. Para ahli hukum dari barat mengakui bahwa hukum waris dalam Islam adalah peraturan yang paling baik.

Perundang-undangan diatas oleh Nabi Muhammad SAW. yang ummi (tidak mampu membaca dan menulis) yang sebelumnya belum kenal dalam dunia perundang-undangan. Jika undang-undang Romawi yang merupakan hasil eksperimen selama 13 abad dan didasarkan atas perundang-undangan Athena dan Sparta di samping juga diambil dari buku Democritos-nya Plato dan buku-buku tentang ilmu politik karya Aristoteles dan lain-lain, ternyata masih terdapat kekurangan-kekurangan dibandingkan dengan perundang-undangan yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Padahal beliau orang yang ummi yang tidak mampu membaca dan menulis serta tidak pernah berguru kepada seseorang. Mana mungkin kita dapat mengatakan bahwa syari’at al-Qur'an itu kedahuluan ? Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat mendustakan beliau ketika mengatakan bahwa syari’at tersebut berasal dari allah SWT. karena fakta-faktanya dapat dibuktikan dan diuji kebenarannya.

Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa syari’at al-Qur'an merupakan sisi mu’jizat yang paling kuat yang menunjukkan kehebatanal-Qur'an hingga hari kiamat. Sampai hari ini, syari’at al- Qur'an menjadi hujjah (argumentasi) bagi orangt Arab dan ‘ajam (non-Arab) yang dapat diterima baik oleh orang yang mengerti bahasa al-Qur'an maupun yang tidak. Karena, sebagai salah satu buktinya, syari’at al-Qur'an dapat menjadi obat bagi penyakit sosial.

C. KEBENARAN AL-QUR’AN MENURUT LOGIKA

Penjelasan tentang al-Qur'an baik dari segi pengertian dan mu’jizat yang disampaikan di atas, sebenarnya sudah cukup untuk menjadi bahan bantahan terhadap orang-orang yang meragukan kebenaran al-Qur'an. Karena eksistensial al-Qur'an sebenarnya terpelihara dari kecancuan apalagi kepunahan, hal itu terwujud karena memang al-Qur'an pada hakekadnya suatu kebenaran absolut dari sang Pencipta.

Akan tetapi, okelah kita akan bahas kebenaran al-Qur'an dari segi pendekatan ilmiah murni sebagaimana pokok kajian yang dibahas, yaitu kajian secara logika.

Logika sebagaimana telah disinggung di atas terbagi menjadi beberapa bagian, dari bagian-bagian itu adalah sebuah metode untuk menarik kesimpulan secara ilmiah, hal ini tercermin dari keaneragaman macam lagika yang telah diulas oleh para filosof.

Pernyataan yang menyatakan, betulkah al-Qur'an itu kalam Tuhan ? Jika jawabannya, saya ragu bahwa al-Qur'an itu dari Tuhan. Jawaban atau pernyataan terakhir dari sebuah ungkapan menurut logika harus diawali pernyataan-pernyataan. Jika pernyaan-pernyataan (pernyataan kedua dan ketiga) salah maka kesimpulan akhirpun menjadi salah. Maka bagi orang yang menyimpulkan dengan meragukan al-Qur'an, sudah betulkah pernyataan-pernyataan sebelumnya ? Hal ini sangat perlu untuk dijawab dengan teliti dan benar.

Contoh logika induktif : “Perunggu dipanaskan akan memuai, perak bila dipanaskan juga memuai, begitu pula emas dan jenis logam lainnya, dengan demikian kesimpulannya, semua logam apabila ia dipanaskan akan memuai”.

Contoh deduktif : “Setiap manusia yang ada di dunia pasti suatu ketika akan mati, si Ahmad adalah manusia, berdasarkan pernyataan-pernyataan itu akan ditarik kesimpulah bahwa, atas dasar ketentuan yang bersifat umum tadi kerena Ahmad adalah manusia, maka suatu ketika ia akan mati juga”.

Atau dengan menggunakan teori lagika-logika yang lain, pasti ada langkah-langkah tertentu yang harus dilalui sebelum menarik suatu kesimpulan akhir.

Maka jika orang dengan kesimpulan meragukan al-Qur'an tanpa diawali pernyataan-pernyataan, salahlah kesimpulannya, oleh karena itu jawaban dengan menyatakan keraguan al-Qur'an kalam Tuhan itu salah menurut lagika, karena tanpa didasari pernyataan premis minor dan premis mayor. Intinya, jawaban mereka salah karena tanpa menggunakan langkah-langkah yang telah ditetapkan oleh teori logika dalam menarik kesimpulan.

Jadi, keraguan mereka terhadap al-Qur'an wahyu dari Tuhan itu salah dan tidak beralasan, yang akhirnya justru memperlihatkan kelemahan mereka dihapan al-Qur'an.

Bernyataan berikutnya yang menyatakan, bisakah kebenaran al-Qur'an dibuktikan secara logika ? Jika ia meragukan al-Qur'an dan tidak menggunakan logika yang benar jawabannya tidak, kalau seseorang menggunakan penalaran secara logika yang mendalam pasti menjawab bisa.

Kesimpulan dengan menyatakan bisa pada pernyataan akhir, harus dibuktikan, dan didasari pernyataan-pernyataan yang benar. Seperti Firman Tuhan yang menyatakan bahwa, ilmu Allah itu tidak terbatas walaupun laut dijadikan tinta dan pohon-pohon dijadikan pena maka ilmu Allah tidak akan pernah habis untuk ditulis.[49]

Siapapun orangnya yang meneliti tentang ciptaan Tuhan sebelum mereka menemukan sesuatu yang memuaskan mereka keburu meninggal dunia, selanjutnya misalkan hasil penemuannya itu diteruskan oleh orang lain yang akhirnya sama, sebelum mereka puas dengan penelitiannya mereka juga meninggal.

Contoh; misalnya, Tuhan menciptakan pohon kelapa, kenapa akarnya begitu, batangnya tidak bercabang, daunnya kecil-kecil, buahnya aneh diluarnya serabut selanjutnya ada batoknya ada airnya dan lain sebagainya. Dari satu ciptaan Tuhan ini beratus-ratus bahkan ribuan orang meneliti, akan tetapi semuanya ada kekurangannya masing-masing dan jauh dari kesempurnaan. Kalau memang mereka mengaku hebat, setelah mereka meneliti dan mempelajari hidup pohon kelapa, silahkan mereka membuat tandingan pohon kelapa baru seperti ciptaan Tuhan.

Dengan demikian ternyata ilmu Tuhan itu benar-benar luas dan tak terbatas, hal ini muncul dan bisa diketahui dari informasi al-Qur'an. Jadi, bahwa benar, kebenaran al-Qur'an bisa dibuktikan secara logika. Contoh-contoh yang lain ada di dalam penjelasan di atas pada sub bab kemu’jizatan al-Qur'an.[50]

KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, dari permasalah yang diangkat dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa al-Qur'an itu benar-benar wahyu dari Tuhan, hal ini sudah tidak bisa dibantah lagi, apalagi orang-orang yang membantah tersebut tanpa didasari pengetahuan yang memadai dan cukup untuk dijadikan dalil (alasan) di dalam mempertahankan pendapat mereka tentang keraguan mereka terhadap kebenaran al-Qur'an, dan asal al-Qur'an itu memang betul-betul dari Tuhan.

Selanjutnya, kebenaran al-Qur'an itu benar-benar bisa dibuktikan secara logika, sebagaimana keterangan yang telah terkafer di atas. Bagi mereka yang meragukan kebenaran al-Qur'an itu merupakan kelemahan mereka sendiri. Karena keraguan mereka tidak disertai dengan alasan (dalil) yang kuat, sehingga kekuatan dalil mereka di hadapan al-Qur'an menjadi bertambah lemah.

Wa Allahu a’lam bi ash-shawaf

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an al-Karim

Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Adhim, Manahi al Urfan fi Ulum al-Qur'an, Bairut: Dar al-Fikr, 1988, t.cet., Jilid 1

Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad bin Abd Allah, al-Burhan fi Ulum al-Qur'an, Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah, 2001, t.cet.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafut al-Falasifah, terjemah, Yogyakarta: Futuh Printika, 2003, cet. ke-1

Aceh, Abu Bakar, Sejarah al-Qur'an, Solo: CV. Ramdani, 1989, cet. ke-6

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus Kontemporer, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), cet. ke-1

Alavi, A. Q. R., We Approach Islam, Luclnow, Nasianal Book Center, t.cet.

Ali, S.A., The Spirit of Islam, London, Christopher, 1985

Al-Suyuti, Jalal al-Din, al-Itqan fi Ulum al-Qur'an, Bairut: Dar al-Fikr, tth., t.cet.

Al-Shabuni, Muhammad Ali, al-Tibyan fi Ulum al-Qur'an, Bairut: Alim al-Kutub, tth., t.cet.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, cet. ke-3

Bahesty dan Bahonar, Philosopi of Islam, terjemah, Jakarta: Risalah Masa, 1991, cet. ke-1

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, cet. ke-2

Beerling, Dkk., Inleiding tot de Wetenschapsleer; Terjemah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997, cet. ke-4

Khalaf, Abd al-Wahhab, Ushul Fiqh, Kuwait: Dar al-Kuwaitiyyah, 1968, cet. ke-8

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke-13

Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, cet. ke2

Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesia Dictionary, Jakarta: Modern English Pres, 1996, t.cet.

Saleh, Subhi, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, Bairut: Dar al-Ilm li al-Malayyin, 1988, cet. ke-17

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998, cet. ke-6

Ushama, Thameem, Methodologies of Qur'anic Ezegesis, terjemah, Jakarta: Radar Jaya Pratama, 2000, cet. ke-1

Yasyin, Sulchan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah, 1997, cet. ke1

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Bairut: Dar al-Fikr al-Arabi, tth., t.cet.

Poerwadarmita, W.S.J., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN, Balai Pustaka, 1983), cet ke-2

Darajat, Zakiah, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1985), cet ke-5

Sarwono, Sarlito Wirawan, Seksualitas dan Fertilitas Remaja (Jakarta: CV Rajawali, 1983), cet ke-2

Al-Mahdi, Perlukah Pendidikan seks pada Remaja, Anda (Tabloit) No. 59 (oktober 1987), h. 3;

Fj. Monks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditomo, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: GMUP, 1988), cet ke-4

Akbar, Ali dan Yusuf Abdullah Puar, Bimbingan Sex Untuk Remaja, (Jakarta: Pustaka Antara, 1990), cet ke-2

Miqdad, Akhmad Azhar Abu, Pendidikan Seks Bagi Remaja, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), cet ke-1



[1] Muslim berarti sebangsa kain putih, ia bentuk isim fa’il dari fiil aslama yang berrti orang yang tunduk atau patuh, atau yang lazim disebut muslim untuk kaum laki-laki yang beragama dan muslimat untuk kaum perempuan yang juga beragama islam. Jadi muslim adalah orang islam yang tunduk dan patuh pada peraturan-peraturan agama islam. Lihat, Sulchan Yasyin, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1997), t.cet., h. 163

[2] Al-Qur’an berupakan bentuk masdar dari qara’a. menurut istilah ulama tafsir al-Qur’an adalah Kalam Allah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan pada penutup para Nabi dan para Rasul dengan perantara Jibril as. Yang tertulis di dalam mushhaf-mushhaf serta dinukil sampai kepada kita secara mutawatir, dianggap beribadah bagi orang yang membacanya, serta diawali surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Lihat, Muhammad as-Shabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur'an, (Bairut: ‘Alim al-Kutub, 1985), cet. ke-1, h. 8

[3] Muhammad merupakan bentuk isim maf’ul dari fi’il ahmada yang berarti yang dipuji atau yang terpuji. Atau seorang Nabi yang mengaplikasikan atau pembabawa ajaran islam pada seluruh manusia yang mengimaninya (mempercayainya)

[4] Al-Qur’an adalah sumber pertama ajaran islam, itu telah disepakati oleh seluruh umat islam khususnya para ulama. Lihat, Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tth.), t.cet., h. 76; Lihat, Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 23

[5] Tentang kebenaran al-Qur’an yang tidak boleh diragukan oleh umat islam sebagaimana tertuang di dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat kedua, yang artinya secara lengkap sebagai berikut, “Inilah ak-Kitab (al-Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya (tidak boleh diragukan isinya) petunjuk bagi orang yang bertaqwa (orang yang menjalankan perintah dan menjahui larangan agama Islam)”.

[6] Kafir menurut bahasa, keluar kabur keras, dan terlepas. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang ingkar (terlepas) terhadap ajaran agama islam, atau bisa diartikan orang yang tidak mengakui adanya Tuhan, menjijikkan, orang yang perbuatannya selalu buruk dan tercela. Lihat, Sulchan Yasyin, op. cit., h. 246; lihat juga Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), cet. ke-1, h. 1512

[7] Hijaiyyah berarti menngeja seperti a,b,c dan seterusnya, menurut bahasa arab yaitu huruf-huruf arap yang berjumlah 28 jenis seperti alif, ba’, ta’ dan seterusnya.

[8] Kata yaitu kumpulan dari beberapa huruf yang diucapkan dan mengandung makna sebaga ungkapan. Lihat, Sulchan Yasyin, op. cit., h. 226

[9] Kalimat adalah kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; perkataan satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa. Sulchan Yasyin, op. cit., h. 250; Selanjutnya menurut pengertian bahasa Arab (baca nahwu) kalimat adalah lafad yang tersusun dan berfaedah, serta disengaja mengucapkannya. Lihat, kitab-kitab nahwu, seperti kitab al-Jurumiyyah, Alfiyyah dan lain sebagainya.

[10] Sesuatu yang didasari atas ilmu dan pengetahuan, serta harus melalui prosedur teori dan metode ilmu, selanjutnya setiap pemikirannya didasari aturan-aturan pemikiran ilmiah yaitu, metodis, sistematis, obyektif dan umum. Lihat, Sulchan Yasyin, op. cit., h. 219 Lihat, Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), cet. ke. 2., h. 29

[11] Interprestasi di sebut juga tafsir, yaitu ilmu untuk mengetahui kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi saw., dan penjelasan maknanya serta engambilan hukum serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mendevinisikan tafsir sebagai berikut, yaitu ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Lihat, al-Burhan, h. 13; as-Sabuni, h. 203

[12] Metode penafsiran yaitu langkah-langkah yang ditempuh seorang mufasir di dalam menafsirkan al-Qur’an. Metode tafsir itu di antaranya ada empat yaitu, metode ijmali (global), metode tahlil (analisis), metode muqarin (perbandingan atau komperatif) dan metode maudhu’i (tematik), serta bentuknya ada dua yaitu bilma’sur (riwayat) dan bil ra’yi (pemikiran). Kemudian, coraknya pun ada bermacam-macam, di antaranya: syufi (tasawuf), fiqh, Falsafi (filsafat), ilmi (ilmiah), adabi ijtima’i (sosial kemasyarakatan) dan lain-lain.

[13] Pernyataan pertama tersebut seandainya benar, faktor apa saja yang melatarbelakangi timbulnya kesulitan mereka dalam memahami al-Qur'an, apakah karena faktor ekonomi, ketidakadaan atau kekosongan ustadz ahli tafsir, lingkungan, atau apa lagi.

Andaikata faktor ekonomi menjadi penyebab dari ketidak mampuan mereka belajar memahami Qur'an, itu bukan suatu hal nyata, pada kenyataannya di dalam lingkungan kita banyak sekali ahli agama, baik fiqih maupun tafsir. Majlis-majlis keilmuan banyak berdiri di tengah-tengah masyarakat dan tidak dipungut biaya yang tinggi, menurut ukuran masyarakat tingkatan ekonomi paling bawah mereka bisa belajar al-Qur'an dengan biaya yang terjangkau. Jadi faktor ini tidak bisa dijadikan alasan yang kuat untuk dijadikan tolak ukur ketidakfahaman orang muslim terhadap al-Qur'an.

[14] Faktor kedua, yaitu keraguan mereka terhadap kebenaran al-Qur'an atau anggapan sebagian masyarakat Islam, al-Qur'an itu tidak sejalan dengan kemajuan zaman. Hal ini mungkin yang menjadi virus di masyarakat pada umumnya, karena dalam setiap sudut kehidupan masyarakat Islam setiap berbuat sesuatu tidak berdasarkan ukuran al-Qur'an, akan tetapi tolak ukur mereka cenderung berdasarkan hawa nafsu. Penyakit inilah yang telah berjangkit pada masyarakat Islam saat ini. Mereka meragukan kebenaran al-Qur'an, dan mereka lebih membenarkan akal dan keinginannya (hawa nafsu).

[15] Akal yaitu daya upaya, cara melakukan sesuatu, pemikiran untuk memecahkan masalah-daya piker, ingatan dan sebagainya. Akl itu menurut filosof terbagi dua, ada akal sehat dan akal budi. Lihat, h. 19, h. 28-30

[16] Kritis adalah selalu bertanya (banyak bertanya yang tiada batas), bertanya dari berbagai segi dan pandangan secara luas dan menyeluruh serta mendalam. Lihat, Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), cet. ke-6, h. 16

[17]Untuk lebih mengetahui arti logis, lihat penjelasan tentang logika, karena logis merupakan berubahan kata dari logika. Yaitu pada foot note 23. selanjutnya kata logis adalah argumen deduktif yang secara formal sah dan yang premis-premisnya semuanya benar (secara empiris), dan oleh karena itu konklusinya harus benar juga, dikatakan logis. Contoh: Premis pertama,”Semua binatang mati.” Premis kedua,”Semua anjing binatang.” Kesimpulan: “Karena itu, semua anjing mati.” Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet. ke-3, h. 542

[18]Sistematis adalah berfikir melalui tahapan-tahapan tertentu yang saling berurutan menurut system yang ada. Lihat, Sulchan Yasyin, op. cit., h.442; Selanjutnya lihat Ahmad Tafsir, op. cit., h. 17; Lihat, Beerling dkk., Inleiding tot de Wetenschapsleer; edisi terjemah, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), cet. ke-4, h. 7

[19]Radikal adalah berfikir secara mendalam sampai akar yang ujung, artinya sampai menyentuh akar persoalannya dan esensinya. Lihat, Sudarto, op. cit., h. 30

[20]Lihat, Ibid., h. 29-31; Ahmad Tafsir, op. cit., h. 8-9

[21]Bahesty dan Bahonar, Phylosopi of Islam, terjemah, (Jakarta: Risalah Masa, 1991), cet. ke-1, h. 40

[22] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), cet. ke-13, h. 46

[23] Logika menurut bahasa Inggris disebut logic, Latin logica, Yunani logike atau lagikos (apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis, dapat dimengerti) istilah ini pertama kali digunakan oleh Alexander dari Aphrodisios pada abad ke 2 M.[23]

a. Sejarah Perkembangan Logika

Perkembangan logika meliputi waktu 2500 tahun di barat dan sekitar itu pula di timur. Di sini kita menggunakan pendekatan histories dan analisis. Sejarah logika di Barat mulai dari yunani, logika bisa dikatakan berakar pada pembuktian-pembuktian geometri kaum Pythagorean, dialektika, Zeno dari Elea atau dialektika Plato. Categories, Topics, On Interpretation, Prior Analytics, dan Posterior Analytics dari Aristoteles mengembangkan analisis proposisi-proposisi, interelasinya, kuantifikasinya, dan pengunaan dalam penalaran. Meskipun beberapa inferensi jenis lain dikaji, puncak analisis Aristoteles adalah silogisme, dan leluasaan pengetahuan berkaitan agak erat dengan pencarian term-term tengah.

Bersamaan dengan perkembangan logika di Yunani, berkembang pula aliran logika Nyaya di India. Silogisme Nyaya menuntut lima proposisi dan bukan tiga. Aliran ini menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan klasifikasi kekeliruan-kekeliuran. Kurun waktu perkembangan logika ini dalam banyak hal sejajar dengan perkembangan logika Aristoteles.

Madhab Peripatetik terus mengembangkan lagika Aristoteles. Madhab ini bersaing dengan madhab logika Megarion-Stoa. Tradisi yang disebut terakhir ini, mungkin hubungannya dengan dialektika Zeno dari Elea, menaruh minat pada pengembangan sesuatu yang mirib dengan kalkulus proposisional. Dengan berkonsentrasi “jika…maka” dan “atau….atau”, para anggota madhab Megarion-Stoa menggarap bentuk-bentuk penalaran yang sahih untuk hubungan-hubungan ini.

Saingan lain dari madhab Peripatetik ialah logika Epikurean. Menurut logika ini, semua koneksi lagis berawal secara empiris, dan dengan demikian berdasarkan induksi atau analogi.

Daya hidup aliran-aliran logika utama berlanjut terus sampai abad pertengahan. Tulisan-tulisan Cicerio, Galen, Sextus Empiricus, Alexander dari Aprodisius, dan Porphyry merupakan bukti kenyataan ini. Boethius kadang menyinggung kontroversi-kontroversi logis antara kaum Stoa dan kaum Aristotelian, sambil terus berpihak pada Aristoteles. Adalah spekulasi Boethius tentang cara eksistensi spesies dan genus yang mewarnai diskusi tentang universalia (konsep-konsep universal) abad pertengahan.

Alcuin, John Scatus Erigena, dan Abelardus semua mempunyai hubungan dengan logika antara abad-8 dan ke-12 M. Abelardus paling terkenal dari kelompok ini. Ia menyusun empat risalah tentang logika. Ia memandang verba “adalah” sebagai kopula setiap proposisi ketegoris (walaupun bukan dia yang pertama kali berpendapat demikian), dan beranggapan bahwa kopula prediket eksistensi. Ia menyatakan bahwa suatu proposisi kategoris afirmatif baru berlaku bila gatra pangkal dan gatra sebutan mengantikan hal-hal sang sama, yang mengarah pada teori suppositio terminonorum. Dia bergumul dengan problem negasi modalitas.[23] Dia mengupas argumen yang menyangkut paradoks-paradoks implikasi dengan anggapan bahwa anteseden suatu pernyataan kondisional yang berarti mesti menuntut konsekuen yang sudah ada secara intrinsic, supaya menyingkirkan kebenaran pernyataan-pernyataan kondisional seperti “jika Socrates batu, maka ia seekor keledai.” Ke dalam kaidah-kaidah argumen yang sah ia memasukkan versi-versi awal modus ponendo ponens dan modus tollendo tollens, transivitas, negasi, dan interelasi pernyataan-pernyataan modal. Ia meninggalkan pandangan logikawan Stoa bahwa disjungsi harus ditafsirkan dengan tajam.

Avicenna membedakan tanda-tanda alamiah pertama dari paham-paham abstrak pengertian kedua, dengan menganggap logika berurusan dengan tanda-tanda pengertian kedua. Ini rupanya merupakan awal diskusi mengenai intensi-intensi pertama dan kedua.

Pada abad ke-13 William dari Sherwood menghasilkan suatu manual logika. Dalam manual ini modus dan figure silogisme yang sah muncul dalam versi mnemonik (jembatan keledai) dengan nama-nama Barbara, Celarent, Cesare Felapton, etc. Dia mengkaji proposisi konjungtif, disjungtif, dan kondisional dengan istilah-istilah yang pada intinya modern. Dan sebuah karya tentang-yentang Syncategoremata, yang menganalisis “dan”, “atau”, “tidak”, “jika”, “setiap”, “kecuali”, “hanya”, dikaitkan dengan dia.

Pada awal yang sama Pertrus dari Spanyol (kemudian menjadi Paus Yohanes XXI) menyusun Summulae Logicales, sebuah buku pegangan logika yang digunakan secara luas pada penghujung Abad Pertengahan, dan hingga abad ke-17. 166 edisi buku teks ini dijelaskan dengan lebih baik oleh pengembangannya terhadap teknik versi-versi mnemonik dari pada analisis-analissnya tentang proposisi, predikabilia, katagori, silogisme, topik, kekeliruan, suposisi, relasi, ampliasi, apelasi, restriksi, dan distribusi. Sudut pandangannya mirip sekali dengan manual logika William dari Sherwood.

Roger Bacon tidak sendirian dalam menekankan pentingnya prosedur-prosedur empiris dan riset eksperimental. Sebelum dia sudah ada Robert Grosseteste.

Raymond Lull pada periode yang swama mengembangkan ide untuk menggabungkan konsep-konsep secara mekanis untuk menyediakan daftar alternatif yang lengkap. Metode ini, yang dinamakan Ars Magna, mempengaruhi perkembangan logika.

William dari Ockham menghasilkan suatu studi sistematis tentang term, proposisi, dan argumen. Pandangan William yang disebut nominalisme berasal dari ajarannya bahwa semua tanda mewakili hal-hal invidual, kendati beberapa tanda mewaliki banyak hal individual. Apa yang menurutnya tidak terpercaya ialah keyakinan bahwa ada universalia (hal-hal universal) yang berada di dalam banyak individu sekaligus. Dan meskipun prinsip yang dikenal dengan nama pisau cukur Ockham (yakni : Entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem = entitas-entitas tidak dapat dilipat gandakan melampaui keniscayaan) tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ockham, prinsip ini jelas tidak ada dalam karyanya yang diterbitkan.

Peter Ramus melawan pengaruh Aristoteles, dan mencoba mentusun suatu logika jenis lain. Dia sedemikian popular, sehingga para penulis abad ke-17 membagi para logikawan Aristolean, Ramis, dan seni-Ramis.

Novum Organum Francis Bacon, yang diterbitkan tahun 1620, juga ditulis untuk melawan Aristoteles. Tetapi Bacon, tidak seperti Ramus, mempunyai alternatif asli. Dia berpendapat bahwa logika tradisional tidak bisa menjadi alat untuk penemuan alamiah. Dan ia sendiri berusaha membangun alat seperti ini. Pengaruhnya luar biasa, tetapi tidak seberapa berhasil.

Antoine Arnauld dan Pierre Nicole menghasilkan buku La Logique ou I’Art de penser. Buku ini menganggap logika sebagai seni mengolah atau mengatur akal seseorang. Dengan menolak baik logika Abad Pertengahan maupun logika Ramus, mereka menerima Aristoteles sebagian. Dalam pilihan antara Aristoteles dan ilmu baru, mereka lebih menyukai yang disebut belakangan. Sikap ini merupakan paduan sikap kesalehan dan perhatian terhadap ilmu modern. Namun sebagai pengikut Descartes pengertian mereka tentang metode ini berasal dari geometri. Induksi, misalnya, dianggap tak dapat diandlkan. Pembedaan mereka antara komprehensi (isi) dan ekstensi (luas) term-term umum sangat terkenal. Komprehensi adalah sehimpunan atribut yang tak bisa dihilangkan tanpa menghancurkan ide tersebut. Ekstensi merupakan sehimpunan hal yang kepadanya ide itu dapat diterapkan.

Dalam semangat Descartes dan Pascal mereka menetapkan delapan kaidah metode: a) Tidak boleh ada istilah yang tidak jelas atau tidak dikenal karena tidak ada definisinya: b) Gunakan di dalam definisi hanya istilah yang sudah benar-bebar dikenal atau dijelaskan; c) gunakan sebagai aksioma-aksioma hanya hal-hal yang sungguh-sungguh eviden; d) terima sebagai eviden hanya apa yang mudah dikenal sebagai betul; e) buktikan semua proposisi yang tidak jelas dengan cara membuat definisi dulu; yang cocok dengan aksioma-aksioma dan proposisi-proposisi yang sudah dibuktikan; f) hilangkan ekuivokasi istilah-istilah dengan definisi-definisi restriktif; g) bertitik tolak sedapat mungkin dari yang paling umum dan simple, dari genus ke spesies; h) bagikan tiap genus ke dalam semua spesiesnya, tiap keseluruhan ke dalam bagian-bagiannya, tiap masalah ke dalam kasus-kasusnya.

Leibniz pantas diakui sebagai logikawan hebat. a) Seraya menghormati Aristoteles, ia berpendapat bahwa tidak semua argumen dapat dimasukkan alam bentuk silogisme. Penghargaannya terhadap logika subyek-predikat, bagaimanapun juga, mendorongnya untuk menganggap enteng pernyataan-pernataan relasional, dan membangun semacam ontologi substansi-atribut. b) Dia mengganggap ide Ars Combinatoria (“seni penemuan”) lebih funda mental daripada lagika biasa. c) dan Characteristica Universalis (bahasa Universal), dengan tata bahasa dan aturang prosedurnya yang dibangun secara filosofis membuat orang sanggup bergerak leluasa ke seluruh bidang pengetahua. d) Usaha Leibniz untuk membangun suatu kalkulus universal dimaksudakan untuk memperluas minat yang sudah disebutkan; memang kalkulus itu masih terpenggal-penggal, akan tetapi setidaknya suatu upaya sudah dilakukan untuk menghasilkan sebuah matematika abstrak.

Pada abad ke-18 Leonhard Euler membantu mengarahkan perhatian para logikus pada interpretasi luas pernyataan-prnyataan umum. Alternatif ini kembangkan oleh Georgonne pada abad ke-19. Sir William Hamilton pada abad ke-19 memperkenalkan suatu pendekatan terhadap logika di mana logika maupun subyek dikuantifikasikan. Tetapi modifikasi ini tidak mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting. John Stuart Mill amat menarik perhatian, karena karyanya System of Logic bertujuan jelas untuk mengembangkan suatu logika yang cocok dengan tradisi empiris filsafat Inggris. Dia memandang difinisi-definisi sebagia proposisiproposisi identik yang memberi informasi hanya penggunaan bahasa. Dengan demikan ia mendukung pandangan definisi-definisi nominal. Dengan lain pihak dia menganggap semua proposisi sebagai memenuhi pola memenuhi pola subyek-predikat. Namun juga beranggapan bahwa setiap silogisme memperlihatkan petitio principii.

b. Macam-Macam Logika

Pertama Logika Deduktif, yaitu: Usaha sistematis a) untuk merumuskan aturan-aturan penarikan kesimpulan yang konsisten dan lengkap dan b) untuk menerapkan pada argumen-argumen yang disajikan secara formal dan untuk c) menentukan apakah kesimpulan-kesimpulannya dapat ditarik secara sah atau tidak sah dari premis-premis. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat niscaya dari pernyataan-pernyataan yang lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang menarik. Kedua, Logika Deontik yaitu: Logika yang berurusan dengan konsep-konsep seperti: kewajiban,permisibilitas dan nonpermisibilitas, keharusan, kepatutan, kelayakan, ke dalam suatu system koheren. Beberapa prinsip dasarnya:”Jika sesuatu bersifat wajib, sesuatu itu dapat dilakukan.” “Jika sesuatu tidak diperbolehkan, maka itu tidak bersifat wajib.” “Jika sesuatu dibuat karena ia bersifat wajib, maka ia sendiri adalah sesuatu yang bersifat wajib agar hendaknya dilakukan.” “Tidak benar bahwa apa yang bersifat wajib, dilakukan secara niscaya.” “Tidak benar bahwa apa yang dilakukan, dapat diperbolehkan.” “Haruslah demikian, bahwa apa yang bersifat wajib, hendaknya dilakukan.” “Adalah hal sebenarnya bahwa agar sesuatu hal menjadi bersifat wajib, ia harus menjadikan mungkin agar ia dilakukan.” Ketiga, Logika Dialektis yaitu: Logika dialektis merupakan ajaran logika dari materialisme dialektis. Ia merupakan ilmu tentang hokum-hukumdan bentuk-bentuk refleksi mental terhadap perkembangan dunia objektif. Ia juga merupakan ilmu tentang hokum-hukum yang mengatur kognisi tentang kebenaran. Dari sudut ilmu, logika dialektis timbul sebagai bagian dari filsafat Marxis. Namun, unsure-unsur logika dialektis sudah ada dalam filsafat kuno, khususnya ajaran-ajaran dari Herakleitos, Plato, Aristoteles, dan lain-lain. Tugas utama logika dialektis ialah meneliti bagaimana cara terbaik mengungkapkan dengan konsep-konsep operasi hokum-hukum dialektika dalam benda-benda, objek-objek, dan seterusnya. Denagn ini tugas pokok dari logika dialektis bertalian, dengan penelitian terhadap perkembangan kognisi itu sendiri. Logika dialektis mengidentifikasikan hokum-hukum dan bentuk-bentuk perkembangan pikiran dalam perkembangan kognisi dan praktik social histeris. Keempa,t Logika Formal yaitu: Logika formal merupakan ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk pemikiran (konsep, putusan, kesimpulan dan pembuktian) berkenaan dengan struktur logisnya, yaitu dengan abstraksi isi konkret dari pikiran-pikiran dan menonjolkan hanya cara-cara umum yang olehnya memungkinkan bagian-bagian dari isi itu berubungan. Tugas pokok logika formal ialah merumuskan hokum-hukum dan prinsip-prinsip. Ketaatan terhadap hokum-hukum dan prinsip-prinsip ini merupakan suatu syarat untuk mencapai hasil-hasil yang sahih dalam mengejar pengetahuan dengan deduksi. Kelima, Logika Induktif yaitu: Logika induktif merupakan usaha a) untuk merumuskan aturan-aturan yang memungkinkan pernyataan-pernyataan dapat ditentukan sebagai kuat atau probablel secara empiris; b) untuk merumuskan prosedur-prosedur sistematis untuk mengemukakan penarikan-penarikan kesimpulan atau argumen-argumen nondeduktif; c) untuk menentukan derajat konfirmasi atau probabilitas bagi kesimpulan yang didasarkan atas derajat konfirmasi atau probabilitas yang mungkin untuk ditentukan bagi premis-premis; dan d) utuk menarik kesimpulan bukan dari pernyataan-pernyataan umum, melainkan dari hal-hal khusus. Kesimpulan hanya bersifat probabilitas berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah diajukan. Kaum pendukung logika induktif tradisional, misalnya, Mill melihat tugas logika induktif dalam analisis proses-proses mencapai pengetahuan teoretis general dari yang tunggal, yang empiris. Dalam sejarah logika, juga ada konsepsi lain tantang logika induktif, dengan membatasi tugas-tugasnya pada analisis kriteria logis untuk memverifikasi pernyataan-pernyataan ilmiah di dalam kerangkakerja metode hipotetis-eduktif. Konsepsi ini dirumuskan dalam abad ke-19 orang oleh W. Whawell, seorang ahli logika. Dan konsepsi ini telah tersebar luas dalm logika ilmu modern. Konsepsi ini muncul karena tak memadainya metode-metode induktif untuk mencapai proposisi-proposisi teoretis. Metode-metode induktif menuntut identifikasi isi-pikiran yang baru formasi abstraksi-abstraksi ilmiah yang baru. Kekurangan konsepsi ini terletak pada penolakannya terhadap suatu studi logis yang tidak dibenarkan terhadap proses-proses untuk memperoleh pengetahuan ilmiah pada umumnya, yaitu analisisnya sebagai proses-proses yang niscaya secara social, yang tidak tergantung dari kesadaran individual. Dan konsepsi ini ditentukan oleh isi objektif proses-proses kognitif. Logika induktif modern memperluas bidang penerapannya. Ia menguji bukan hanya kesimpulan-kesimpulan dari yang partikular ke yang general, melainkan semua hubungan0hubngan logis pada umumnya. Dan ini dikerjakan manakala nilai-kebenaran dari pengetahuan yang ingin kita verifikasikan tidak dapat dimapankan secara handal berdasarkan pe4ngetahuan yang niali-kebenarannya kita ketahui. Ini juga dikerjakan manakala kita dapat menentukan apakah kesimpulan ini dikonfirmasikan oleh pengetahuan yang disebutkan terakhir di atas. Dan jika demikian, lalu dipertanyakan, sejauh mana. Oleh karenaitu, salah satu kansep pokok logika induktif adalah derajat konfirmasi. Derajat konfirmasi ini lazimnya ditafsir sebagai probabilitas dari suatu hipotesis dengan pengetahuan empiris yang tersedia. Karenanya, logika induktif menggunakan metode-metode dari teori probabilitas dan diubah menjadi logika probabilitas. Keenam, Logika Informal yaitu: Studi tentang penarikan kesimpulan yang a) tidak mengikuti suatu bentuk logis past (dan kalau penarikan kesimpulan mengikuti bentuk logis itu, kebenarannya tidak tergantung pada bentuk semacam ini); b) didasarkan atas arti-arti dan bukan keabsahan bentuk-bentuk yang ada dalam argumen itu, dan c) dapat betul atau tidak betul tergantung pada pertimbangan-pertimbangan (seperti evidensi empiris) yang lain daripada bentuk argumennya. Ketujuh, Logika Kategoris Tradisional yaitu: Logika ini sering disebut Logika Aristotelian, Logika silogisme katagoris, Logika kelompok-kelompok, studi tentang aturan-aturab dan prosedur-prosedur yang menghubungkan istilah-istilah sebagai subjek dan predikat menuju kesimpulan-kesimpulan yang menyusul secara pasti. Kedelapan, Logika Kombinatorial yaitu: Logika kombinatorial merupakan suatu aliran dalam logika matematik yang menganalisis konsep-konsep yang diterima tanpa studi lebih lanjut dalam kerngka logika matematik klasik. Konsep-konsep seperti itu adalah konsep-konsep: variable dan fungsi. Kesembilan, Logika Konstruktif yaitu: Logika konstruktif merupakan suatu trend dalam logika matematis. Ini dididrikan oleh L. Brouwer, H. Weyl dan A. heyting. Pada dasarnya, ternd ini melarang penerapan kumpulan-kumpulan prinsip yang tidak terbatas yang benar pada kumpulan-kumpulan yang terbatas (misalnya, dalil bahwa keseluruhan lebih besar dari pada suatu bagian. Lihat juga Hukum Tiada Jalan Tengah.) Logika klasik dan logika konstruktif mempertahankan pandangan-pandangan yang berbeda atas konsep ketidakterbatasan. Yang pertama menganggap ketidakterbatasan bersifay aktual, sempurna. Sedangkan yang kedua melihatnya sebagai potensial, dalam keadaan menjadi. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip logika konstruktif, usaha-usaha dilakukan untuk merevisi hasil-hasil pokok logika mayematis dan matematyika modern. Sumbangan besar bagi perkembangan logika konstruktif telah dilakukan oleh para sarjana Soviet: A. N. Kolmogorow, A. A Markov, dan N. A. Shanin. Kesepuluh, Logika Matematis atau Simbolis yaitu: Logika matematis tampaknya merupakan hasil penerapan metode-metode matematika yang formal dalam bidang logika, penelitian logis terhadap penalaran dan bukti matematis. Logika matematis meneliti proses-proses logis melalui refleksinya dalam bahasa-bahasa yang diformalisasikan, atau kalkulus-kalkulus logis. Di samping studinya tentang struktur kalkulus-kalkulus logis yang formal logika matematis juga memeriksa hubungan antara kalkulus-kalkulus dan hubungan bidang-bidang substantif yang berguna sebagai interpretasi-interpretasi dan model-modelnya. Tugas ini menggambarkan problem-problem semantika logis. Sintaksis dan semantika logis termasuk metalogika. Metalogika merupakan teori tentang cara-cara penggambaran, premis-premis dan cir-ciri kalkalus logis. Logika matematis (atau logika logika simbolis) dapat ditafsirka secara sempit maupun secara luas. Dalam arti sempit, ia mencakup kalkulusproposisionaldan kalkulus predikat. Dalam arti luas,yang kadang-kadang disebut “logistika” ia mencakup aneka-ragam system yang berhubungan. Masing-masing arti ini memerlukan penjelasan lebih lanjut. Secara dangkal, ciri khas logika matematis (simbolis) ialah penggunaan notasi simbolis yang menyerupai aljabar. Secara lebih mendalam, ciri khasnya ialah struktur aksiomatiknya yang keabsahannya formal semata-mata. Yaitu, kesahihan itu tidak tergantung pada isi di mana hal itu bisa diterapkan. Logika, dalam arti formal ini tidak dapat dianggap sebagai aturan-aturan penalaran, kendati ia mudah digunakan sebagai alat penalaran. Kendati logika formal sebagiannya dimulai oleh Leibnizdan lain-lain, namun, sebenarnya perkembangan logika matematis mulai dengan karya A. de Morgan (1806-1871), yang mendasarkan logika pada inklusi kelimpok; dan G. Boole (1815-1864), yang mencoba menjadikan logika sebagai bagian dari matematika. Tokoh-tokoh yang sangat penting dalam perkembangan logika kontemporer ialah G. Frege (1848-1925) yang memperkenalkan kuantifikasidan formalisasi logika; A. Whitehead dan B.Russel yang dalam Principia Mathematica, karya monumentalnya (1910-1913) berupaya mengasalkan semuamatematika dari logika itu sendiri; dan K. Goedel, yang menetapkan batas-batas melekaqt yang pas bagi system luas mana saja. Logika formal yang lahir dari upaya-upaya ini dapat paling baik dipahami dalam kaitan dengan tingkat-tingkat.

Tingkat yang paling rendah ialah kalkulus proposisional (sentensial). Di sini, proposisi-proposisi diperlakukan sebagai unit-unit (satuan-satuan) yang tidak dapat direduksi lagi. Relasi-relasiyang mungkin ada antara proposisi-proposisi disistematisasi menurut kata-sambung logis, misalnya, “bukan”, tidak”, “dan”, “atau”,dan “berarti”. Kata-kata sambung ini semata-mata bergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi tersebut, dan pada maknanya. Formalisasi tipikal logika ini mendalilkan tiga aksioma dan satu aturan penarikan kesimpulan yang memungkinkan seseorang bisa memperoleh semua kebenaran logis yang cocok dengan kombinasi proposisi yang mengandung fungsi kebenaran. Kebenaran-kebenaran ini, yang dipandang dari dalam sistem tersebut, merupakan tautologi-tautologi. Hal-hal itu tidak memberikan informasi faktual tetapi bisa berfungsi sebagai sarana-sarana yang sah bagi kesimpulan. Perluasan longgar dari sistemini, yang didasarkan pada introduksi aksioma-aksioma lebih lanjut, menghasilkan kembali struktur formal logika Aristoteles.

Kalkulus predikat mengandaikan kalkulus proposisional tetapi menambahkan ide kuantifikasi. Itu berarti, kalkulus predikat dapat memperlakukan proposisi sebagai satuan yang rumit yang mempertalikan predikat pada subjek. Kalkulus predikat dikualifikasi dengan beberapa “beberapa” atau “semua”. Sistem ini dapat juga dikembangkan sedemikian rupa sehingga komplit dan konsisten. Tahap perkembangan lebihlanjut, suatu tahap yang diperlukan untuk deduksi matematis memerlukan urutan kuantifikasi yang lebih tinggi. Ini melibatkan predikat dari predikat (atau kelas dari kelas-kelas) maupun predikat urutan pertama yang diterapkan pada subjek-subjek.Logika yang diperluas ini tidak dapat dikembangkan sekian rupa sehingga lengkap maupun konsisten.

Logika dalam arti lebih luas, yang kadang-kadang disebut “logistik”, mencakup perluasan logika klasik yang diringkaskan diatas maupun logika non-klasik. Perluasan logika yang sangat penting (semiotika) memperlakukan logika formal sebagai bahasa objek yang dibicarakan dalam pelbagai metabahasa. Kalau bahasa objek dianggap sebagai serangkaian tanda yang tidak ditafsirkan, seorang bisa mengintrodusir tiga hal ini. Pertama, metabahasa sintaksis, menentukan aturan untuk merangkaian, membentuk dan mengubah tanda-tanda ini. Kedua, metabahasa semantik, membicarakanarti dan penafsiran dari tanda-tanda ini. Ketiga,metabahasa pragmatik, mencakup subjek yang menggunakan logika dan membicarakan pertanyaan-prtanyaan seperti itu sebagai bermanfaat dan dapat diterima. Seringkali ada pendapat- dan seringkali diperdebatkan- bahwa bahasa sehari-hari berfungsi sebagai bahasa metabahasa tertinggi dalam menafsirkan logika formal.

Logika non-klasik mencakup baik sistem-sistem yang tidak berkesesuaian dengan beberapa dalil logika klasik maupun system-sistem yang berupaya memperluas teknik-teknik logika pada bidang-bidang baru. Yang terpenting di antaranyaada tiga. Pertama, logika jamak-nilai (banyak-nilai). Ia menggantikan logika klasik yang atau “benar” atau “salah” dengan tiga nilai atau lebih. Kedua, logika modal. Ia mencoba merumuskan logika yang cocok dengan proposisi-proposisi yang bersifat “niscaya” atau “mungkin”. Dan ketiga, logika deotik. Ia mencoba merumuskan logika kewajiban, misalnya, dalam etika. Keabsahan dari setiap system ini sudah diperdebatkan. Kendati peranan logika dalam penjelasan seringkali terlampau ditekankan, misalnya oleh kaum positivis logis, namun terhadap bbeberapa fakta berikut ini tidak terdapat keraguan rasional. Pertama, logika kontemporer, menyajikan kemajuan tersendiri bila dibandingkan dengan logika apa pun yang mendahuluinyan. Kedua, logika modern menyediakan perangkat yang berharga, seringkali sangat diperlukan bagi perkembangan sistem-sistem formal dari pemikiran. Dan ketiga, rumusun-rumusan teknis logika modern berfungsi menjelaskan banyak masalah filosofis.

Hasil-hasil gemilang yang menentukan keadaan logika matematis sekarang ini diperoleh pada tahun 1930-an oleh goedel,Tarski, dan A. Churh. Pada masa sekarang logika matematis meneliti beranekajenis kakulus logis. Dan ia menaruh minat kepada problem-problem semantis dan metalogika pada umumnya.Logika matematis memberikan pengaruh besar pada matematika kontemporer. Ia diterapkan dalam rekayasa elektris (studi ntentang kontak-kontak relay dan sistem-sistem elektronik ); dalam komputer-komputer (pemrograman); dalam kibernetika (teori tentang alat-alat otomatis); dalam neurofisiologi, dan linguistik (linguistik dansemiotika structural) modern berfungsi menjelaskan banyak masalah filosofis. Kesebelas, Logika Modal yaitu: Logika modal merupakan suatu system logika. Ia mempelajari struktur proposisi-proposisi yang memuat modalitas-modalitas seperti “keniscayaan, kenyataan, kemungkinan,kebetulan”, dan negasi-negasinya. Usaha-usaha untuk membangun logika modal dikerjakan oleh Aristoteles, kaum Stoa, kaum Skolastik. Mereka merumuskan sejumlah definisi dan prinsipnya yang penting. Studi tentang modalitas-modalitas dengan mempergunakan logika matematis (sisbolis) dirintis oleh C. Lewis dan Lukasiewicz. Sebagian prinsip dasarnya: a) Jika sesuatu itu niscaya, maka ia harus menjadi mungkin.” b) “Jika sesuatu itu niscaya, maka ia tidak mustahil.” c) Jika sesuatu itu mustahil, maka ia secara niscaya tidak betul (salah).” d) “Jika sesuatu secara niscaya tidak betul, maka ia mustahil.” e) “Jika sesuatu diniscayakan oleh sesuatu yang secara niscaya betul, maka ia sendiri betul secara niscaya.” f) “Apa yang niscaya sungguh-sungguh aktual maupun sungguh-sungguh mungkin.” Keduabelas, Logika Probabilitas yaitu: Logika probabilitas merupakan logika yang mempelajari pernyataan-pernyataan yang bersifat probabilistik. Dan tidak menjadi soal entah probabilitas itu dianggap sebagai suatu ciri dari suatu pernyataan individual (dalam hal ini probabilitas diatributkan pada pernyataan individual itu sebagai suatu hal yang ada antara kebenaran dan kekeliruan) atau sebagai suatu penilaian terhadap hubungan antara sepasang pernyataan dua-digit (pernyataan dengan nilai kebenaran antara 0 dan 1 ) yang biasa. Berbeda dari teori probabilitas, logika probabilitas tidak menuntut agar probabilitas diungkapkan dengan suatu angka yang persis. Kerangka logis yang dibangun atas dasar nilai ini digunakan untuk mencapai suatu putusan yang tepat mengenai hipotesis bukan dengan membandingkannya dengan kenyataan melainkan melalui pernyataan-pernyataan lain yang mengungkapkan pengetahuan yang tersedia. Maka kita dapat menilai derajat probabilitas hipotesis “Besok hari akan hujan” berdasarkan kesesuaian dengan ramalan cuaca. Karena itu probabilitas suatu hipotesis merupakan fungsi dari dua argumen: hipotesis itu sendiri dan informasi yang tersedia. Probabilitas dari hipotesis-hipotesisi yang kompleks, apabila probabiliatas-probabilitas dari semua pernyataan yang termuat di dalamnya diketahui, dikalkulasikan dalam semua system logika probabilitas seturut aturan-aturan kakulasi probabilitas matematis. Karenanya, logika probabilitas merupakan salah satu interpretasi terhadap kalkulasi ini. Tampaknya penerapan yang paling berhasil dari logika probabilitas terdapat dalam logika induktif. Referensi-referensi bagi logika probabilitas di buat oleh Aristoteles dan kaum skeptis dalam zaman kuno. Tetapi Leibniz merupakan filsuf pertama yang mempunyai gagasan serius tentang pokok ini. Pemisahan logika probabilitas dari teori probabilitas mulai pada pertngahan abad ke-19, manakala perhatian terhadap yang kedua dipusatkan pada peristiwa-peristiwa. Ketigabelas, Logika Simbolik yaitu: Logika yang disajikan dalam simbolisasi abstrak yang terdiri dari unsur-unsur yang didefinisikan dengan baik seperti: a) simbol-simbol, b) tanda-tanda, c) kata-kata sambung, d) aturan-aturan penggabungan symbol, e) aturan-aturan substitusi, f) aturan-aturan penarikan kesimpulan (inferensi) dan g) aturan-aturan derivasi (mencari asal-usul kata). Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet. ke-3, h. 519-542; Lihat, Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 39-46 dan 119-139

[24] Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (ttp., tp., tth.), t.cet., h. 20

[25] Surat al-Isra’ ayat 9, yang artinya: Qur'an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus”.

[26] Al-Zarqani, Manahil al-‘Urfan fi ‘Ulum al-Qur'an, (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), t.cet., h. 14

[27] Ibid.

[28] Termasuk kalam manusia yang nafsi dengan kedua jenisnya adalah firman Allah SWT: “Maka Yusuf menyembunyikan kejengkelan itu pada dirinya dan tidak menampakkannya kepada mereka. Dia berkata (dalam hatinya): Kamu lebih buruk kedudukanmu (sifat-sifatmu). (QS. Yusuf: 77) Juga diisyaratkan dal hadis riwayat ath-Thabari dari Ummi Salamah, bahwa ia mendengar seseorang bertanya kepada Rosul saw: Sesungguhnya aku berbicara tentang sesuatu dalam hatiku, yang seandainya aku bicarakan (dalam angota badan lahir), tentu pahalaku akan lebur. Lalu Rasul saw. Bersabda : “tidak akan mengutarakan kalam itu kecuali orang yang beriman. Al-Zarqani, op. cit., h. 14

[29] Ibid., h. 15

[30] Ibid.

[31] Lihat, Ibid., h. 16; lihat, Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafut al-Falasifah, terjemah, (Yogyakarta: Futuh Printika, 2003), cet. ke-1, h. 17

[32] Lihat, Ibid.

[33] Lihat, Ibid., h. 17

[34] Lihat, Ibid. ; Lihat, Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (Bairut: Dar al-Ilm li al-Malayyin, 1988), cet. ke-17 h. 10

[35] Lihat, Ibid., h. 18; Lihat, Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr al-Arabi, tth.), h. 76

[36] Lihat, As-Shabuni, loc. cit.

[37] Az-Zarqani, op. cit., h. 18

[38] Abdul Wahhab Khalaf, op. cit., h. 23; Abu Zahrah, loc. cit

[39] Az-Zarqani, loc. cit.

[40] Al-Zarqani, op. cit., h. 6; Lihat, Abdul Wahhab Khalaf, loc.cit.; Abu Zahrah, loc. cit.

[41]Abdul Wahhab Khalaf , op. cit., h. 81

[42] Ibid., h. 25

[43] Muhammd Abu Zahrah, op. cit., h. 83

[44] Allah swt., menceritakan sikap mereka ini dengan firman Nya, artinya: Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-suingguh al-Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan”(mereka). (QS.Fushshilat : 26)

[45] Abu Bakar Aceh, Sejarah al-Qur'an, Solo: CV. Ramdani, 1989, cet. ke-6, h. 74

[46] Subhi Salih, op. cit., h. 334

[47] Ibid.

[48] Muhammd Abu Zahrah, op. cit., h. 82-89; Lihat, Abdul Wahhab Khalaf, op. cit., h. 28-31; Lihat, Subhi as-Shalah, op. cit., 340; Lihat, Manna Khalil al-Khattan, op. cit., h. 261-275

[49] Tuhan berfirman, artinya: “Katakanlah, sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, mesipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (Q. S. al-Kahfi : 109)

[50] Pernyataan ini berdasarkan teori logika formal, lebih lanjut lihat logika formal pada foot note 23

1 comment:

  1. bararagus tulisanna cak. urang hayang bisa. kumaha carana

    ReplyDelete

Mohon Diisi Dengan Kritik dan Saran Yang Membagun