Metode penafsiran Muqâran
Oleh: Asrowi, MA.
I. Awal Kata
Tak pelak lagi bahwa al-Qur'an mempunyai peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan menentukan watak ilmu-ilmunya. Berkenaan dengan itu, jika peradaban itu ditinjau dari dimensi tertentu, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa peradaban Yunani merupakan peradaban "akal', sedangkan peradaban Arab-Islam merupakan peradaban "teks".[1] Selanjutnya, jika peradaban itu berkaitan dengan "teks", maka penafsiran menjadi satu sisi lain dari teks itu sendiri. Dengan demikian, tafsir tersebut mesti mengakomodasi perkembangan yang ada demi aktualitas al-Qur'an.
Setidaknya, metode penafsiran al-Qur'an dapat diklasifikasikan ke dalam empat macam metode, yaitu: ijmâli (global), tahlîlî (analitis), muqâran (perbandingan), dan maudhû'i (tematik).[2] Tafsîr muqâran dimulai dengan tafsir-tafsir yang menganalisis ayat-ayat al-Qur`an yang mempunyai redaksi mirip, seperti Durrât al-Tanzîl wa Ghurrât al-Ta`wîl oleh al-Khatib al-Iskâfi (w. 240 h.) dan al-Burhân fî Taujîh Mutasyâbah al-Qur`ân oleh al-Karmâni (w. 505 h).[3]
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan memaparkan sekilas tentang metode tafsir muqâran di atas dengan fokus pada pengertian, ruang lingkup, serta kelebihan dan kekurangan tafsir muqâran tersebut.
II. Pengertian
Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqâran sebagai: "Membandingkan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama."[4] Termasuk dalam obyek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur'an dangan Hadits Nabi saw. yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur'an. Bersandar pada karya Ahmad al-Sayyid al-Kûmî, al-Tafsîr al-Maudhû`î, 'Abd Al-Hayy al-Farmâwi juga mengungkapkan definisi yang senada, namun ditambahkan bahwa perbandingan juga bisa dilakukan lintas kecenderungan penafsir; seperti membandingkan penafsiran mereka yang dipengaruhi oleh semangat kesyi'ahan, ketashawwufan, kemu`tazilahan, keas`ariyahan, dan selainnya, serta kecenderungan yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang dikuasai seorang penafsir. Sebagai contohnya adalah penafsir yang menitikberatkan pembahasan pada bidang nahwu (gramatika bahasa Arab) sebagaimana al-Zamakhsyarî dalam al-Kassyâf, bidang filsafat seumpama Imam al-Fakhruddîn al-Râzy dalam al-Tafsîr al-Kabîr, atau bidang fiqih seperti al-Qurthuby dalam al-Jâmi` li al-Ahkâm al-Qur'an, dan sebagainya.[5]
Dari beberapa pengertian yang dipaparkan di atas, maka terlihat bahwa tafsir metode muqâran adalah: Satu, membandingkan teks ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi kasus yang sama. Dua, membandingkan ayat al-Qur'an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan. Tiga, membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an.[6] Metode ini diharapkan dapat melahirkan pemahaman komprehensif terhadap ayat-ayat al-Qur'an.
Membandingkan teks ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi tidak dimaksudkan dengan hanya sampai melihat perbedaan redaksinya saja, tetapi juga kandungan maknanya, latar belakang terjadinya perbedaan, konteks ketika ayat-ayat itu turun, penekanan-penekanan yang dikehendaki dengan perbedaan itu, dan sebagainya.
Secara sepintas, metode tafsir muqâran ini mirip dengan metode bi al-ma`tsur, Kalau demikian adanya, Apa yang membedakan keduanya? Untuk menjawab itu, perlu ditegaskan bahwa dalam tafsîr bi al-ma`tsûr tidak ditemukan penekanan pada kemiripan dan atau perbedaan redaksi. Terlebih lagi, di dalam metode bi al-ma`tsûr, sulit diharapkan lahirnya tawaran baru dari seorang penafsir karena kecenderungannya hanya sekedar mendeskripsikan pendapat-pendapat yang begitu banyak diriwayatkan pada waktu itu tanpa elaborasi lebih jauh terhadap makna di balik perbedaan itu. Adapun pada metode muqâran, yang lebih memainkan peran adalah nalar yang membandingkan beberapa perbedaan dan persamaan; bukan perbedaan itu sendiri atau riwayat yang menimbulkan perbedaan itu sebagaimana terlihat pada tafsîr bi al-ma`tsûr. Hal demikian juga berlaku pada perbandingan ayat al-Qur`an dengan Hadits, serta perbedaan pendapat para mufassir.
III. Ruang Lingkup
Berikut ini penulis akan menguraikan ruang lingkup dan langkah-langkah penerapan metode tafsir muqâran pada masing-masing aspek:
A. Perbandingan Ayat dengan Ayat
Quraish Shihab mempraktikkan penggunaan metode muqâran dengan membandingkan dua ayat yang mirip secara redaksional, yaitu ayat 126 Surat Ali `Imrân dengan ayat 10 Surat al-Anfâl.
وما جعله الله الا بشرى لكم ولتطمئن قلوبكم به وماالنصر الا من عند الله العزيزالحكيم[7]
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bala-bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi kamu, dan agar tenteram hati kamu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari Allah Yang Maha Perkasa labi Maha Bijaksana".
وما جعله الله الا بشرى ولتطمئن به قلوبكم وماالنصر الا من عند الله ان الله عزيزحكيم [8]
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu karenanya menjadi tenteram. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Perbedaan antara ayat pertama dan ayat kedua adalah: Pertama, dalam surat Ali 'Imrân dinyatakan بشرى لكم sedangkan dalam surat al-Anfâl tidak disebutkan kata لكم. Kedua, dalam surat Ali 'Imran dinyatakan ولتطمئن قلوبكم به yakni menempatkan kata به setelah قلوبكم sedang dalam surah al-Anfâl kata به diletakkan sebelum قلوبكم. Ketiga, surah Ali 'Imrân ditutup dengan وماالنصر الا من عند الله العزيزالحكيم tanpa menggunakan kata إن sedang surat al-Anfâl ditutup dengan menggunakan إن yang berarti "sesungguhnya", إن الله عزيز حكيم
Ayat al-Anfâl disepakati oleh ulama sebagai ayat yang berbicara tentang turunnya malaikat pada Perang Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks janji turunnya malaikat dalam Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak jadi turun karena kaum muslimin tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang ditetapkan Allah ketika menyampaikan janji itu (sebagaimana tersebut di ayat 125).
Perbedaan redaksi memberi isyarat perbedaan kondisi kejiwaan dan pikiran lawan bicara, dalam hal ini kaum muslim. Pada Perang Badar, kaum muslim sangat khawatir akibat kurangnya jumlah pasukan dan perlengkapan perang. Berbeda dengan Perang Uhud, jumlah mereka lebih banyak --sekitar 700 orang, sehingga semangat menggelora ditambah keyakinan akan turunnya bantuan malaikat sebagaimana pada Perang Badar. Tidak ditemukannya kata لكم pada ayat kedua mengisyaratkan kegembiraan yang tidak hanya dirasakan oleh pasukan Badar, tapi semua kaum muslimin karena bukankah kemenangan pada perang itu merupakan tonggak utama kemenangan Islam di masa datang? Di ayat pertama, penggunaan kata لكم mengisyaratkan bahwa berita gembira hanya ditujukan kepada yang hadir saja, itupun dengan syarat-syarat.
Didahulukannya به atas قلوبكم dalam surat al-Anfâl adalah dalam konteks mendahulukan berita yang menggembirakan untuk menunjukkan penekanan dan perhatian besar yang tercurah terhadap berita dan janji itu. Berbeda dengan surat Ali 'Imrân, konteks ayat itu tidak lagi memerlukan penekanan karena bukankah sebelumnya hal itu sudah pernah terjadi pada Perang Badar?. Itu pula sebabnya dalam surat Ali 'Imrân tidak dipakai kata إن sebagai penguat karena, sekali lagi, ia tidak diperlukan.[9]
B. Perbandingan Ayat dan Hadits
Tentunya, yang sepadan untuk dibandingkan dengan ayat al-Qur'an adalah hadits yang berkualifikasi shahîh, sehingga hadits dha`if tidak perlu dijadikan perimbangan dengan ayat al-Qur'an. Salah satu contoh adalah sabagai berikut:
a) Al-Qur'an:
فمكث غيربعيد فقال اخطت بما لم تحط به وجئتك من سباء بنباء يقين. اني وجدت امراة تملكهم واوتيت من كل شيئ ولها عرش عظيم [10]
Artinya: "Tak lama kemudian burung Hud-hud berkata kepada Nabi Sulaiman: "Saya mengetahui apa yang Baginda belum tahu, saya baru saja datang dari negeri Saba` membawa berita yang meyakinkan. Saya bertemu seorang ratu yang memimpin mereka. Seluruh penjuru negeri mendatangkan sembah kepadanya. Dia mempunyai istana besar."
لقد كان لسباء فى مسكنهم اية جنتان عن يمين و شمال كلوا من رزق ربكم واشكروا له بلدة طيبة ورب غفور[11]
Artinya: "Kaum Saba` mempunyai dua kebun yang subur di kiri kanan tempat tinggal mereka (seraya dikatakan kepada mereka), makanlah kalian dari rizki yang dianugerahkan Tuhan, dan bersyukurlah kepada-Nya. (Itulah) sebuah negeri yang aman makmur dan Tuhan Yang Maha Pengampun".
b) Al-Hadits:
ماأفلح قوم ولوا أمرهم امراة [12]
Artinya: "Tidak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyrahkan semua urusan mereka kepada wanita."
Jika diperhatikan secara sepintas, teks hadits di atas bertentangan dengan kedua ayat terdahulu karena al-Qur'an menginformasikan keberhasilan Ratu Balqis memimpin negaranya, Saba'. Sebaliknya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan ketidaksuksesan sebuah negara (manapun) yang diperintah oleh perempuan. Dengan demikian, perempuan diposisikan pada kedudukan tidak seimbang dengan laki-laki. Padahal -kecuali Balqis- sejarah dunia dan sejarah peradaban Islam mencatat tokoh-tokoh perempuan yang sukses memimpin negara, semisal Syajarat al-Durr, pendiri kerajaan Mamluk yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257 M).
Untuk mengkomparasi dan mengkompromikan kedua teks tersebut diperlukan kepastian akan kualifikasi hadits tersebut karena ayat tidak diragukan lagi keotentikannya. Setelah itu dilihat asbâb al-wurûd hadits tersebut. Pada kasus hadits ini, asbâb al-wurûd-nya adalah saat Rasulullah mendengar berita bahwa puteri Raja Persia dinobatkan menjadi ratu menggantikan ayahnya yang mangkat. Berdasarkan itu, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa perempuan tidak pas memimpin negara muncul ke permukaan. Namun jika dipakai kaidah العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب maka akan dijumpai pemahaman lain.
Melalui analisis kaidah itu terhadap hadits tersebut, maka akan ditemui bahwa kata قوم - امراة dibentuk dalam format nakirah (indefinite). Itu berarti bahwa yang dimkasud oleh kata-kata itu adalah semua kaum, semua perempuan, dan semua urusan. Jadi, terjemahan dari hadits tersebut (kira-kira) berbunyi: "Suatu bangsa tidak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)". Jika dipahami demikian, maka jelas bahwa sangat wajar kalau suatu bangsa tidak akan sukses kalau semua bidang yang ada dalam bangsa tersebut ditangani mutlak oleh perempuan tanpa sedikit pun melibatkan laki-laki karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki keterbatasan-keterbatasan yang jika digabungkan akan terjalin kerja sama yang baik.[13]
c) Perbandingan Pendapat Mufassir
Pada kesempatan lain, Quraish Shihab mempraktikkan metode muqâran dengan membandingkan pendapat beberapa mufassir seperti saat الم. Menurutnya, mayoritas ulama pada abad ketiga menafsirkannya dengan ungkapan: الله أعلم. Namun setelah itu, banyak ulama yang mencoba mengintip labih jauh maknanya. Ada yang memahaminya sebagai nama surat, atau cara yang digunakan Allah untuk menarik perhatian pendengar tentang apa yang akan dikemukakan pada ayat-ayat berikutnya. Ada lagi yang memahami huruf-huruf yang menjadi pembuka surat al-Qur'an itu sebagai tantangan kepada yang meragukan al-Qur`an. Selain itu, ia juga mengutip pandangan Sayyid Quthub yang kurang lebih mengatakan: "Perihal kemukjizatan al-Qur'an serupa dengan perihal ciptaan Allah semuanya dibandingkan dengan ciptaan manusia. Dengan bahan yang sama Allah dan manusia mencipta. Dari butir-butir tanah, Allah menciptakan kehidupan, sedangkan manusia paling tinggi hanya mampu membuat batu-bata. Demikian pula dari huruf-huruf yang sama (huruf hija`iyyah) Allah menjadikan al-Qur'an dan al-Furqân. Dari situ pula manusia membuat prosa dan puisi, tapi manakah yang labih bagus ciptaannya?"
Quraish juga menambahkan dengan mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat tentang huruf-huruf yang terbanyak dalam surat-suratnya. Dalam surat al-Baqarah, huruf terbanyak adalah alif, lam, dan mim. Pendapat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun Quraish Shihab terlihat masih meragukan kebenaran pendapat-pendapat yang dikutipnya hingga ia mengambil kesimpulan bahwa pendapat yang menafsirkan الم dengan الله أعلم masih relevan sampai saat ini.[14]
IV. Kelebihan dan Kekurangan
Sebagai sebuah metode buatan manusia, maka sangat wajar bila metode ini mengandung kekurangan di antara kelebihan-kelebihan yang dipunyainya.
A) Kelebihan
- Memberikan wawasan yang relatif lebih luas.
Mufassir yang melibatkan diri pada tafsir metode ini akan berjumpa dengan mufassir lain dengan pandangan-pandangan mereka sendiri yang bisa saja berbeda dengan yang dipahami pembanding sehingga akan memperkaya wawasannya.
- Membuka diri untuk selalu bersikap toleran.
Terbukanya wawasan penafsir otomatis akan membuatnya bisa memaklumi perbedaan hingga memunculkan sikap toleran atas perbedaan itu.
- Membuat mufassir labih berhati-hati.
Belantara penafsiran dan pendapat yang begitu luas disertai latar belakang yang beraneka warna membuat penafsir lebih berhati-hati dan obyektif dalam melakukan analisa dan menjatuhkan pilihan.[15]
B) Kekurangan
- Kurang cocok dengan pemula.
Memaksa seorang pemula untuk memasuki ruang penuh perbedaan pedapat akan berakibat bukan memperkaya dan memperluas wawasannya, tapi malah bisa membingungkannya.
- Kurang cocok untuk memecahkan masalah kontemporer.
Di masa yang serba kompleks dan membutuhkan pemecahan yang cepat dan tepat, metode muqaran kutang cocok karena ia lebih menekankan pada perbandingan hingga bisa memperlambat untuk membuka makna yang sebenarnya dan relevan dengan zaman.
- Menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufassir.
Kemampuan penafsir yang hanya sampai pada membandingkan beberapa pendapat dan tidak menampilkan pandapat yang lebih baik membuat metode ini lebih bersifat pengulangan dari pendapat-pendapat ulama klasik.[16]
V. Akhir Kata
Tafsir metode muqâran telah turut mewarnai dinamika metode penafsiran al-Qur'an. Ia adalah kreasi zamannya sebagai jawaban atas kebutuhan umat Islam pada waktu lahirnya metode ini. Penggalian khazanah penafsiran lama untuk dibandingkan dan disesuaikan dengan zaman kini kiranya merupakan usaha yang positif untuk menapak masa depan tanpa tercerabut dari akar keaslian awal.
Paling tidak, tafsir dengan metode muqâran ini dapat ditempatkan selaku metode solutif dari beberapa permasalahan dalam penafsiran al-Qur'an. Dengan itu, para mufassir yang akan terjun ke dalamnya mesti mendalami perangkat-perangkat yang kelihatannya butuh kerja keras dalam perwujudannya.
Kepustakaan
Abû Zaid, Nasr Hâmid, Mafhûm an-Nash Dirâsah fî 'Ulûm al-Qur'an, Diindonesiakan oleh Khoiron Nahdhiyin dengan judul "Tekstualitas Al-Qur'an; Kritik terhadap Ulumul Qur'an", Yogyakarta: LKiS, 2001
al-Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: CV Rajawali, 1992
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000
al-Farmawi, Abd. Hayy, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1994
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, 1996
____________, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, Ciputat, Lentera Hati, 2000
[1] Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm an-Nash Dirâsah fî 'Ulûm al-Qur'an, Diindonesiakan oleh Khoiron Nahdhiyin dengan judul "Tekstualitas Al-Qur'an; Kritik terhadap Ulumul Qur'an", (Yogyakarta: LKiS, 2001), Cet. I, h. 2
[2] Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: CV Rajawali, 1992), Cet. I, h. 40
[3] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 3
[4] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan,1996), h. 118
[5] Abd. Hayy al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 1994, h. 30-31. Bdk dengan Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994), h. 75-76.
[6] Nashruddin Baidan, Op. cit., h. 65
[7] Q.S. Ali 'Imrân: 126
[8] Q.S. Al-Anfâl: 10
[9] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 194-196
[10] Q.S. An-Naml: 22-23
[11] Q.S. Saba': 15
[12] H.R. Bukhari
[13] Nashruddin Baidan, Op. cit., h. 94-100
[14] Quraish Shihab, Op. cit., h. 83-84
[15] Nashruddin Baidan, Op. cit., h. 142-143
[16] Ibid., h. 143-144
syukron ustadz...
ReplyDelete