KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN
PENDAHULUAN
Sebelum menguraikan pendapat Wahbah al-Zuhayli tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, terlebih dahulu akan penulis kemukakan pandangan aliran kalam rasional dan tradisional. Hal ini dimaksudkan agar mudah dilihat kemana arah kecenderungan pemikiran kalam yang terdapat dalam Tafsir al-Munnir tentang masalah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Alam semesta dengan segala isinya diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa ( Qadir ). Tidak ada suatu kekuasanpun yang menyamai, apa lagi melebihi kekuasaan Allah. Ia dapat melakukan apa saja, yang dikehendaki-Nya. Demikian pengertian secara umum tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.[1]
Walaupun demikian, dalam sejarah perkembangan ilmu kalam terdapat perbedaan pandangan tentang kakuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Perbedaan ini sebagai akibat perbedaan paham yang terdapat pada dalam aliran teologi Islam tentang kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya.[2]
Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendaknya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakekatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya tetapi sudah terbatas. Keterbatasan ini terjadi sebagai yang dikatakan golongan Mu’tazilah, oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Bagi aliran Asy’ariyah berpendapat sebaliknya, kekuasaan dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak.[3]
Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan ini, Asy’ari menulis Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dpat menentukan apa yang boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kakuasaan-Nya. Sebagaimana kata al-Dawwani, Tuhan adalah Maha Pemilik (Al-Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorangpun yang dapat mencela perbuatan-Nya. Yaitu, sungguhpun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.[4]
Dalam hal ini Asy’ariyah mengatakan bahwa kehendak Tuhan itu mutlak, karena hanya Ia sendiri yang menguasai alam ini dan bisa berbuat sekehendaknya. Berhubung dengan ini perbuatan-perbuatan Tuhan yang kelihatan menyimpang dati ketentuan akal, tidak bisa dikatakan buruk atau dzalim, seperti memberi pahala orang yang jahat dan menyiksa orang baik (orang mukmin). Dengan perkataan lain, perbuatan Tuhan tidak bisa dipersamakan dengan perbuatan manusia.[5]
Selanjutnya kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Sebagaimana terkandung dalam Nadir, kekuasaan Mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut faham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusya kekuasaan mutlak Tuhan itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut faham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh nature hukumalam (sunah Allah) yang tidak mengalami perubahan.[6]
Bahkan kaum Mu’tazilah menganut faham bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature atau hukum alam sendiri. Hal ini diperjelas dengan pendapatnya al-Jahid bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat yang menimbulkan efek tertentu menurut nature masing-masing. Lebih tegas lagi al-Khayat menerangkan bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature tertentu, dan tak dapat menghasilkan kecuali efek, misalnya api tidak bisa menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin. Efek yang titimbulkan tiap benda menurut Mu’ammar seperti gerak, diam, warna, rasa, bau, panas, dingin, basah, kering, timbul sesuai dengan nature dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai nature tertentu.[7]
AYAT-AYAT TENTANG KEKUASAAN DAN
KEHENDAK MUTLAK ALLAH
Surat Al-Baqarah Ayat 20 dan 203
يكاد البرق يخطف أبصارهم كلما أضاء لهم مشوا فيه وإذا أظلم عليهم قاموا ولو شاء الله لذهب بسمعهم وأبصارهم إن الله على كل شيء قدير(20)
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah Menghendaki, Niscaya Dia Melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Berkuasa atas segala sesuatu.[8]
تلك الرسل فضلنا بعضهم على بعض منهم من كلم الله ورفع بعضهم درجات وءاتينا عيسى ابن مريم البينات وأيدناه بروح القدس ولو شاء الله ما اقتتل الذين من بعدهم من بعد ما جاءتهم البينات ولكن اختلفوا فمنهم من ءامن ومنهم من كفر ولو شاء الله ما اقتتلوا ولكن الله يفعل ما يريد(253)
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah Berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah Meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang Dikehendaki-Nya.[9]
Surat Hud Ayat 6
وما من دابة في الأرض إلا على الله رزقها ويعلم مستقرها ومستودعها كل في كتاب مبين(6)
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).[10]
Surat Al-Haj Ayat 45
ولن يخلف الله وعده ( 47 )
Padahal Allah tidak sekali-kali tidak menyalahi janji-Nya.[11]
Surat Az-Zumar Ayat 20
لكن الذين اتقوا ربهم لهم غرف من فوقها غرف مبنية تجري من تحتها الأنهار وعد الله لا يخلف الله الميعاد(20)
Tetapi orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan-Nya mereka mendapat tempat-tempat yang tinggi, di atasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Allah telah berjanji dengan sebenar-benarnya. Allah tidak akan memungkiri janji-Nya.[12]
Surat Fatir Ayat 43
.....فهل ينظرون إلا سنة الأولين فلن تجد لسنة الله تبديلا ولن تجد لسنة الله تحويلا(43)
……Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat penggantian bagi Sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula)akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.[13]
Surat Hud Ayat 46
قال يانوح إنه ليس من أهلك إنه عمل غير صالح فلا تسألن ما ليس لك به علم إني أعظك أن تكون من الجاهلين(46)
Allah berfirman : “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan di selamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Sesungguhnya Aku memperingatkan kepada supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.[14]
Surat as-Sajadah Ayat 13
ولو شئنا لآتينا كل نفس هداها ولكن حق القول مني لأملأن جهنم من الجنة والناس أجمعين(13)
Artinya: Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripada-Ku, “ Sesungguhnya akan Aku Penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.”[15]
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG KEKUASAAN DAN
KEHENDAK MUTLAK TUHAN
Dalam surat al-Baqarah ayat 20 ini, Wahbah mengatakan bahwa, setiap mukallaf (aqil baligh) wajib mengetahui, bahwasanya Allah itu Maha Penguasa, kekuasaan-Nya Allah itu mutlak, Dia bisa mengendaki sesuatu dengan Ilmu dan Kekuasaan-Nya. Mukallaf juga harus mengetahui, bahwasanya seorang hamba diberi kekuasaan untuk berusaha, akan tetapi Allahlah yang lebih kuasa menentukannya.[16]
Kemudian di dalam ayat 25 surat al-Baqarah ini, Wahbah menjelaskan panjang lebar, akan tetapi penulis menarik kesimpulan dari uraian tersebut bahwa, Allah itu berkuasa dengan kekuasaan dan kehendak-Nya. Jika Allah menhendaki sesuatu pasti ada hikmah yang tersembunyi pada hal tersebut.[17]
Selanjutnya wahbah mengatakan bahwa , sesungguhnya Allah tidak mengingkari janji-janji-Nya di dalam menurunkan adzab.[18]
Dalam surat az-Zumar ayat 20, Allah menegaskan bahwa, janji Allah itu sungguh-sungguh benar pada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, selaku mukmin kita tidak boleh ragu pada janji-janji-Nya. Sebagaimana janji Allah kepada orang-orang kafir dengan neraka, dan Allah tidak mungkin menyimpang dari janji-janji yang telah ditetapkan.[19]
Selanjutnya dalam surat al-Faathir ayat 43 Allah menambahkan, sungguh Allah tidak akan merubah atau menggantikan pada tiap-tiap orang yang diadzab, dan tidak pula akan menempatkan rahmat pada tempat adzab, serta Allah tidak mungkin memindahkan adzab orang kepada yang lainnya.[20]
Kemudian pada surat Sajadah ayat 13 Allah menegaskan kembali bahwa jika Allah menghendaki bisa saja memenuhi neraka dengan jin dan manusia, akan tetapi manusia diberi kebebasan berkehendak.[21]
Dari uraian di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Wahbah al-Zuhayli dalam membicarakan masalah kekuasaan kehendak mutlak Tuhan lebih condong kepada teologi Mu’tazilah.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syeh Muhammad, Risalah Tauhid (terjemah), Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. ke-10
Al-Zuhayli, Wahbah, Prof, Dr., Tafsir al-Munnir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Bairut: Dar al-Fikr, 1991, Cet. ke-1, Jilid 1 - 16
Hanafi, Ahmad, M.A., Theologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. ke-12
Nasution, Harun, Prof, Dr., Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Ui Pres, 1986, Cet. ke-5
Zaini, Hasan, Tafsir Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997, Cet. ke-1
[1] Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), Cet. ke-1, h. 98
[2] Ibid.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ( Jakarta: UI-Pres, 1986 ), Cet. ke-6, h. 118
[4] Ibid.
[5] Ahmad Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Cet. ke-11, h. 141
[6] Harun Nasution, op. cit., h. 119-120
[7] Ibid.
[8]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Diponegoro, 2000), Cet. ke-10, h. 5
[9] Ibid., h. 33
[10] Ibid., h. 177
[11] Ibid., h. 270
[12] Ibid., h. 367
[13] Ibid., h. 351
[14] Ibid., h. 181
[15] Ibid., h. 332
[16] Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munnir, (Bairut: Dar al-Fikr, 1991), Cet. ke-1, Jilid 1, h. 94
[17] Ibid., Jilid 2, h. 6-10
[18] Ibid., Jilid 7, h. 242
[19] Ibid., Jilid 12, h. 282
[20] Ibid., Jilid 10, h. 283
[21] Ibid., Jilid 11, h. 199
THANK'S BANG ATAS ILMUNYA....
ReplyDelete