Thursday, May 06, 2010

Salah Pemahaman Terhadap Kajian Tentang atau Kebodohan ?

Perang Pemikiran ataukan kebodohan ?

By : CaK Rowi

 

Pendahuluan

 

 

Berbicara masalah perang, tentunya memiliki asumsi yang sangat membahayakan keduabelah pihak.  Akan tetapi jika keduanya berperang dengan alasan dan tujuan yang positif pasti menguntungkan keduabelah pihak.  Hal ini tentunya sudah lazim terjadi di atas bumi ini, baik perang tersebut bersifat kelompok kecil maupun besar.  Bahasa perang diasumsikan melibatkan kelompok besar yang saling berseteru untuk saling mengalahkan lawan-lawannya.

Selanjutnya, berbicara tentang perang pemikiran tentu sangat berbeda dengan pengertian perang sebagaimana penjelasan di atas, sebab perang pemikiran hanya melibatkan orang-orang tertentu dan pengaruhnya pun hanya kalangan tertentu saja. Pemikiran identik dengan filsafat yang mana cara mendapatkan Pengetahuan[1] ilmu[2] itu harus berpikir (berfilsafat[3])

Anggapan tentang adanya perang pemikiran itu hanya terjadi pada saat orang kurang atau tidak bisa memahami pemikiran orang lain, sehingga ketidak pahaman seseorang dari pemikiran  orang lain inilah yang akan menimbulkan perdebatan yang cukup seriuas.  Akan tetapi semuanya akan berakhir jika perbedaan pemikiran tersebut bisa ditemukan titik terangnya, dengan cara (metode/manhaj[4]) yang seimbang dengan pokok kajian yang memjadi sebab terjadinya perseteruan tersebut.

Menanggapi permasalaha yang berhubungan dengan sebuah pertanyaan tentang perang pemikiran ini tidak akan ada solusinya bila seseorang tahu betul sejarah adanya pemikiran itu sendiri atau kapan mulainya bisa dikenal nama pemikiran  itu sendiri, berawal mulai kapan, dikembangkan oleh siapa, apa dampak dari masing-masing pemikiran yang terjadi pada waktu itu.  Oleh karena itu mari kita pahami awal mula terjadinya, ruan lingkup kajiannya, cara atau bentuk kajiannya dan manfaat atau fungsi dari hasil pemikiran itu.

Kemudian, setiap pemikiran tentu tersebut akan menghasilkan pengetahuan dan ilmu seputar obyek kajian tersebut.

 

Sejarah Awal Mula Pemikiran

     Awal mula pengetahuan bisa dikenal dan diperkenalkan oleh :[5]

1.      Thales (624-546 SM), orang miletus ini digelari Bapak Filsafat karena dialah orang pertama kali berfilsafat(berpikir).  Dia mengajukan pertanyaan tentang "apa bahan alam raya ini" dia sendiri dengan ragu menjawab "air", menurut dia air sumber segalanya.

2.      Reanaximander mencoba memberikan penjelasan yang berbeda dengan mengatakan" substansi[6] pertama adalah udara" sebab udara sumber segalanya.

3.      Heraclitus (544-484 SM) yang mana memiliki paham relativisme,[7] bahwa alam raya ini serba berubah semuanya bersifat relatif.

4.      Parmanides (450 SM) juga memiliki paham relativisme. Dia mengajukan pertanyaan tentang "Apa standar kebenaran dan apa ukuran realitas", ia menjawab "ukuranya adalah logika yang konsistena' dengan contoh rumus : Tuhan ada, tidak ada, ada dan tidak ada. Jadi kebenaran suatu pendapat harus berdasarkan atau diukur dengan logika.  Disinilah akan timbul masalah.

5.      Zeno (490 SM) ia merelatifkan kebenaran dengan teori tahapan demi tahapan.  Contohnya orang yang lomba lari sebelum finish harus start pertengahan dan baru finish.

6.      Pratagoras, Gorgias, Socrates, Plato, Aristoteles,  dan lain sebagainya.

 

Cara Mempelajari pemikiran (filsafat)

     Pemikiran (filsafat) adalah hasil dari olah pemikiran filosof, dengan mengajukan beberapa cara yang menurut mereka harus dilakukan oleh siapapun yang mau berpikir. Cara tersebut adalah, dengan menggunakan sistem yang sistematis, historis dan kritis.[8]

     Selanjutnya, cara berpikir, Pertama Tradisional, cara berpikir seperti ini tanpa didasari oleh kebiasaan atau ketradisionalan yang turun temurun dari kurun waktu dan tidak bersifat ilmiah.  Kedua Berpikir Ilmiah, cara berpikir yang didasari beberapa aturan sebagaimana di disinggung atas dan ada beberapa penambahan yaitu, berpikir dengan Metodis[9], Sistematis[10], Koheren[11], Rasional[12], Komprehensif[13], Radikal[14] dan Universal[15].

     Kemudian, harus memahami tentang ontologi[16](hakekat apa yang dikaji), Epistemologi[17] (cara mendapatkan pengetahuan yang benar), dan Aksiologi[18] (kegunaan atau manfaat ilmu itu sendiri).

     Dari beberapa penawaran cara untuk berpikir bagi yang mau berpikir, harus memahami sub cabang metode pengembangan berpikir, metode tersebut adalah : Induksi[19], Deduksi[20], Analisis[21], Sintetis[22], Kualitatif[23], kuantitatif[24] , hipotesis[25] dan masih banyak lagi yang lainnya.

 

Sejarah Pemikiran Muslim

     Setelah sedikit membicarakan seputar awal mula dan cara manusia berpikir menurut sejarah, marilah kita menengok pemikiran muslim yang  muncul pada masa-masa tertenru dan teori pemikirannya.

1.       Al-Kindi (185-246 H.) dikenal sebagai filsuf muslim keturunan arab pertama, dia tinggal dikuffah pada pemerintahan Daulah Abbasiyah.  Beliau memiliki pemikiran (Filsafatnya) pertama, Talfiq (paduan atau pencampuradukan beberapa hal yang tidak senyawa). Kedua, Metafisika[26] (ketuhanan) yang berisi seperti surat al-Ikhlas. Tuhan adalah pencipta bukan penggerak. Alam ini terdiri dari dua bagian, alam di bawah falaq bulan dan alam yang merentang tinggi sampai ke ujung kulon.  Jenis alam pertama empat unsur yaitu, air, api, udara dan tanah.  Keempat unsur ini berkapasitas dingin, panas, kering dan basah yang merupakan lambang perubahan, pertumbuhan, dan kemusnahan.  Jenis kedua dari alam yang terbentang tinggi itu tidak mengalami perubahan dan kemusnaham. Ketiga, Jiwa yang bermuatan bahwa jiwa tidak tersusun substansi roh dari substansi Tuhan, hubungan roh manusia dan Tuhan seperti cahaya dan matahari.  Roh tidak sama dengan tubuh sama halnya antara pesuruh dan yang disuruh. Jiwa berasal dari form (bentuk) yang memerlukan jasad, musnahnya jasad musnah pula jiwa.  Berbeda dengan plato yang mengatakan binasanya badan tidak membinasakan jiwa, dan jiwa berasal dari alam idea (ide).  Dalam hal asal jiwa al-Kindi tidak sependapat.  Keempat, Moral yang memiliki ruang lingkup bahwa manusia wajib menempuh hidup susila, kebijakan tidak hanya untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia (Stoa[27]).  Tabiat manusia baik ia digoda oleh nafsu, konflik itu bisa diatasi dengan pengetahuan. Manusia harus menjauhkan dari sifat serakah yang akan memberatkan jiwa, hidup harus mengutamakan stoa.[28]

2.       Al-Razi (204-395 H.) dia awalnya adalah seorang wiraswastawan dan seniman, kemudia beliau belajar berbagai ilmu pengetahuan, di antaranya filsafat, kedokteran, Ilmu Kuno, matematika, astronomi, astronomi, sastra dan kimia serta berbagai ilmu sejarah dan agama. Beliau memiliki berapa pemikiran (filsafat).  Pertama, Metafisika yang memuat LIMA KEKEKALAN yakni, a)Allah Ta'ala, b)Jiwa Universal, c)Materi Pertama, d)Ruang Absolut, e)Masa Absolut. Kedua, Moral dan Jiwa, beliau mengutuk cinta sebagai hal yang berlebihan dan ketundukan pada nafsu.  Ketiga, Kenabian yang memiliki unsur pemikiran bahwa manusia tidak perlu Nabi dan Wahyu sebab dengan akal semua akan teratasi.[29]

3.       Al-Farabi (254 H) beliau memiliki teori pemikiran yang sudah dipadukan, di antaranya: Pertama, Metafisika yang memiliki isi kajian sama dengan Aristoteles dan Neo Plotonisme bahwa Tuhan adalah al-maujud al-awwal, wajib wujud dan mumkin al-Wujud, Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam, Tuhan tidak mengetahui hal yang juz'iyyah (particular) tidak mengetahui perincian alam secara seksama.  Tuhan hanya tahu yang bersifat Kully (universal), Tuhan adalah Penggerak  alam (prima Causa) bukan pencipta (teori emanasi neo platoisme monistik), dan masih banyak lagi yang lainnya.[30]

4.       IBnu Sina, Ibnu Maskawaih, al-Ghazali, Ibnu Bajaj, al-Halaj, Ibn Rush dan lain-lain[31]

 

Pemikiran Di Dalam Tafsir Qur'an

     Pemikiran ada dan berkembang pada tafsir[32], hal itu telah dimaklumi oleh berbagai kalangan intelektual muslim, sebab tafsir itu sendiri hasil dari pemikiran- pemikiran mufasir dengan menggunakan beberapa cara (manhaj,metode, turuq[33]) dan beberapa kaidah opistemologi yang termuat di dalam Ulum al-Quran[34] yang kemudian muncul namanya tafsir al-Qur'an.  Sistematika urutan dari pemikiran itu adalah Ontologinya al-Qur'an, epistemologinya kaedah, dan aksiologinya tafsir yang berfungsi sebagai dustur untuk muslim.

     Contoh pemikiran Tasir : Qira’at  Serta Pengaruhnya  Terhadap Penafsiran dan Istinbath  Hukum dalam Jami’ al-Bayan ath-Thabari,Firman Allah :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنّ حَتّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهّرْنَ فَأْتُوهُنّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنّ اللّهَ يُحِبّ التّوّابِينَ وَيُحِبّ الْمُتَطَّرِينَ

 

Artinya:”Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘’Haid itu adalah suatu kotoran    Oleh sebab itu . hendaklah kamu menjahkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” ( Qs al-Baqara:222 ).

 

Ayat tersebut di atas merupakan larangan bagi seorang suami, dari melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang dalam keadaan haid.  Sehubungan dengan ini, para ulama telah sepakat tentang haramnya (seorang suami) melakukan hubungan seksual (bersenggama) dengan istrinya yang sedang menjalani haid. Sama halnya dengan kesepakatan mereka, tentang bolehnya melakukan istimta’  (bercumbu) bagi seorang suami dengan isterinya yang sedang mengalami menstruasi (haid).[35]

Adapun batas larangan yang disebutkan dalam ayat tersebut yaitu, sampai mereka (para isteri yang sedang mengalami haid) itu, dalam keadaan suci kembali.[36]

Sementara itu, ( dalam qira’at sab’at ) Hamzah, al-kisa’i, dan ‘ashim riwayat syu’bah, membaca kata Yathurna dengan Yattahharna. Sedangkan Ibn kasir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amr, dan ‘Ashim riwayat Hafsh, membaca Yathurna.[37]

Berdasarkan qira’at Yathurna sebagian ulama menafsirkan ayat wa laa taqrabuuhunna hatta yathurna   dengan, janganlah kamu bersetubuh dengan mereka, sampai mereka suci atau berhenti dari ke luarnya darah haid mereka.[38]

Masing-masing Pendapat ini didukung oleh sejumlah riwayat dan hadis, didalam sejumlah kitab Tafsir.  Sebagaimana at-Thabari sebutkan dalam tafsirnya, “Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyar, dari Ibnu Mahdi dan Mu’mal, dari Sufyan, Ibnu Abi Najikh, dari Mujahid, makana firman Allah Yathurna adalah hanya sebatas berhentinya darah haid.[39]

Sedangkan qira’at Yattahharna menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan ayat, wa laa taqrabuuhunna hatta yattahharna   yaitu, janganlah kamu bersengama dengan mereka, sampai mereka bersuci.[40] Dan ini merupakan pendapat yang at-Thabari pilih dalam hal persoalan ini.

 Berkaitan dengan yang demikian itu, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian at-tahhuru, sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud adalah. Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah wudhu. Sebagian lagi mengatakan, bahwa yang dimaksud at-tahhuru adalah mencuci atau membersihkan farj (kemaluan) tempat keluarnya darah haid tersebut.[41]

Sehubungan dengan ini, Imam malik, Imam syafi’i, al-Awza’i  dan al-sawri berpendapat, bahwa seorang suami haram hukumnya, bersetubuh dengan isterinya yang sedang dalam keadaan haid, sampai ia (isterinya) berhenti dari haid, dan mandi karena darah haidnya.[42]

     Dalam hal ini, Imam Syafi’i mengemukakan argumentansi sebagai berikut :[43]

1)   Bahwa qira’at  mutawatirah (dalam hal ini qira’at  sab’at) adalah dapat dijadikan hujjat secara ijma’. Oleh karena itu, apabila ada dua versi qira’at mutawatirah Yathurna dan yattahharna dan keduanya dapat digabungkan dari segi kandungan hukumnya, maka kita wajib menggabungkannya. Qira’at yathurna mengandung arti, sampai mereka suci atau berhenti  dari darah haid mereka, sementara qira’at   Yattahharna mengandung arti, sampai mereka bersuci dengan air (mandi). Kedua ketentuan hukum dalam kedua qira’at tersebut, dapat digabungkan, yaitu sampai terpenuhinya kedua ketentuan hukum tersebut. 

2)   Firman Allah faidza tatahharna fa’tuuhunna dalam rangkaian ayat tersebut  menunjukkan bahwa  seorang suami dibolehkan bersetubuh dengan isterinya yang telah menjalani haid, apabila telah memenuhi persyaratan yaitu, bersuci  dengan mandi.

Selanjutnya, al-Qasimi menyatakan sebagai berikut.   Qira’at yattahharna menunjukkan secara jelas, bahwa batas diharamkannya seorang suami menyetubuhi isterinya yang sedang haid adalah, sampai ia (isterinya) mandi karena darah haidnya.  Sementara qira’at yathurna meskipun menunjukkan, bahwa batas keharaman tersebut adalah sampai berhentinya darah haid, akan tetapi kalau dikaitkan dengan rangkaian selanjutnya dalam ayat tersebut, yaitu  faida tatahharna yang maknanya, sampai mereka bersuci dengan cara mandi, maka jadilah kedua ketentuan hukum tersebut  (berhenti dari darah haid dan bersuci dengan cara mandi) menjadi batas keharaman dalam kasus dimaksud oleh ayat.[44]

     Dalam pada itu, Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan wa laa taqrabuuhunna hatta yathurna dalam ayat tersebut yaitu, janganlah kamu bersetubuh dengan mereka, sampai mereka suci, dalam arti telah berhenti dari darah haid mereka. Dengan demikian , para suami dibolehkan bersetubuh dengan isteri mereka, setelah darah haid mereka berhenti.[45]

 

Pemikiran Di Dalam al-Hadis

Pemikiran juga ada pada hadis[46] Nabi, sebab hadis juga hasil pemikiran Nabi SAW yang bersumber dari ide dan gagasan al-Qur'an.  Yang selanjutnya, umat islam mulai pada masa setelah sepeninggalan Nabi SAW hingga sekarang apabila ingin mengebumikan hadis Nabi juga harus menggunakan beberapa pemikiran atau metode-metode tertentu yang sudah lumrah, sebab apabila seseorang memahami hadis Nabi tanpa menggunakan metode dan pemikiran dianggap orang yang sembrono di dalam agama, dan akan berdampak negatif untuk umat islam.

Apabila seseorang akan menggunakan hadis diharapkan menerapkan beberapa cara, yaitu :Takhrij[47] (di dalamnya memuat beberapa metode dan kaedah yang berkaitan dengan sanad), pemahaman tekstual, kontekstual dan temporal (ketiganya memuat pemahaman matan, serta kaedah Ilumul hadis.[48]

Contoh tentang pemikiran hadis, penulis mengutip kajian hadis yang ditawarkan oleh al-Ghazali perihal, “Apakah seorang mayit disiksa oleh Allah karena tangisan keluarganya ?”. 

     Al-Ghazali mengutip beberapa hadis yang di antaranya :

Katanya : Telah disampaikan kepada kami oleh Ibn ‘Aun dari Muhammad, katanya : Ketika Umar terluka, ia digotong dan di bawah masuk ke rumahnya.  Melihat hal itu. Shu’aib berteriak : Aduhai saudaraku !  Maka Umar berkata kepadanya :  Diamlah wahai Su’aib, tidaklah engkau mengetahui bahwa orang yang diratapi akan memperoleh siksa .

 

Katanya : “Telah disampaikan kepada kami oleh Abu ‘Aqil, ia berkata : Telah disampaikan kepada kami oleh Muhammad bin sirin, katanya : Ketika Umar ditikam, seseorang memberinya minuman, namun minumannya itu langsung keluar lagi lalu melalui lukanya.  Maka Shu’aib meratapinya dengan berkata : Aduhai Umar, saudaraku siapakah gerangan yang mampu menggantikanmu ?  Maka Umar berkata kepadanya :  Diamlah, wahai saudaraku, tidaklah engkau sadari bahwa orang yang diratapi akan memperoleh siksa ?

 

Katanya : “Telah disampaikan kepada kami oleh Ubaidullah bin ‘Amr dari ‘Abd al-Malik bin Umar dari Burdah dari Ayahnya, katanya : Ketika Umar tertikam, Shu’aib meratap dengan suara keras, sehingga Umar bertanya : “Apakah engkau menangisiku ? “Ia menjawab : Ya ! Maka Umar berkata : “Tidakkah engkau engetahui bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda : “Barangsiapa ditangisi, ia akan memperoleh siksa”.

 

     Selanjutnya al-Ghazali mengutip hadis tandingan tentang seseorang tidak akan disiksa dengan sebab diratapi.  Di anatara riwayat yang beliau sajikan adalah :

 

Berkata : Abdul Malik (si perawi): “Telah disampaikan kepadaku, oleh Musa bin Thalib bahwa ‘Aisyah mengomentari bahwa orang-orang yang memperoleh siksa sisebabkan tangisan keluarganya ialah orang-orang kafir”.

 

Yang hendak ditegaskan oleh ‘Aisyah ialah bahwa sabda Rasulullah ialah : “Sesungguhnya orang kafir akan memperoleh (tambahan) siksaan disebabkan tangis keluarganya terhadapnya”.

 

Kemudian, al-Ghazali mengutip  riwayat dari Ibn Mulaikah, bahwasanya : “Salah seorang putrid Usman meninggal dunia di Makkah.  Kami dating untuk melayat dan mensholatkan jenazahnya.  Demikian pula Ibn Umar dan Abdullah bin Abas yang masing-masing duduk disampingku.  Lalu Abdullah bin Umar berkata kepada ‘Amr, putra Usman : “Tidakkah anda mencegah wanita-wanita yang menangis itu ?  BukankahRasulullah pernah bersabda bahwa orang mati yang ditangisi oleh keluarganya akan memperoleh siksa ? “Maka berkatalah Abdullah bin Abbas.  “memang Umar pernah berkata demikian , tetapi setelah Umar wafat aku mengatakan tersebut kepada ‘Aisyah, lalu ia berkata : “Semoga Allah merahmati Umar, demi Allah, Rasulullah tidak pernah menyatakan bahwa orang mati akan memperoleh siksa disebabkan tangisan keluarganya.  Tetapi beliau bersabda :”Sesungguhnya Allah menambah azab atas diri orang kafir dengan adanya tangisan keluarganta”.  Kemudia ‘Aisyah menambahkan : “Cukup ayat al-Qur’an bagi kalian :  “Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain ……. (al-An’am : 164)

 

Dalam hal ini Abdullah bin Abbas menjelaskan tentang hal ini :”Allah lah yang membuat orang tetawa dan menangis (yakni bahwa tangisan orang yang berkenaan tentang kematian seorang anggota keluarganya adalah hal yang wajar dan sesuai dengan watak manusia.  Karena itu ia tidak berdosa apabila melakukannya)

Menurut al-Ghazali, sikap ‘Aisyah tersebut dapat dijadikan dasar untuk menguji validitas sebuah hadis yang telah berpredikat sahih, dengan nash-nash al-Qur’an, kitab suci yang tiada tersentuh oleh kebatilan dari arah manapun juga.

     Kajian hadis yang tersebut di atas sekilas tidak mengandung unsur kajian ilmu hadis, akan tetapi setelah dipahami secara jelas adanya ikhtilaf al-hadis dan jika dipahami secara mendasar dari penempatan posisi hadis di atas seakan-akan al-Ghazali menggunakan metode nasikh manshukh, baik nasakh dengan menggunakan hadis maupun al-Qur’an, sebagaimana komentar ‘Aisyah.  Serta ada unsur  tentang lemahnya kehujahan hadis ahad  sebagai istinbat hukum, walaupun berkualitas sahih. 

 

 

Pemikiran di Dalam Akidah/Tauhid

     Pemikiran agama yang berselubung pada akidah atau tauhid yang juga disebut sebagai Ilmu Kalam atau Teologi[49] memang sudah diketahui (dimaklumi) oleh kalangan sarjana islam.  Bahkan menurut komentar mereka ilmu kalam ada disebabkan atai dipengaruhi oleh pemikiran (filsafat).

     Di dalam ajaran dan hasil pemikiran Kalam inilah umat islam baru menyadari adanya nilai pemikiran (filsafat), bahwan kalangan muslim banyak yang mengatakan bahwa Ilmu kalam bukan ajaran Islam.  Yang imbasnya tidak dipelajari oleh kalangan santri baik salafi maupun modern karena akan menyesatkan mereka dan santri dianggap tidak layak perpikir (berfilsafat), mereka selalu dianjurkan tawadhu' (nurut) pada dogma dan doktrin pimpinannya (Kiayi atau ustad)

Contoh pemikiran teologi, Sifat-Sifat Tuhan :

     Berbicara tentang sifat Tuhan, pertentangan faham antara kaum Mu'tazilah dengan kaum Asy'ariah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak.  Jika Tuhan mempunai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan.  Dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tetapi banyak.  Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada faham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau multiplicity of enternals).  Dan ini selanjutnya membawa pula kepada faham syirk ataupolyheisme.  Sesuatu hal yang  tak dapat diterima dalam teologi.

Mu'tazilah mengatakan bahwa Tuhan itu tidak memiliki sifat.  Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan Asy’ari, bersifat negatif.  Tuhan tidak mempunyai pngetahuan, tidak mempunyai kekutatan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya.[50]  Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa dn sebagainya.  Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya, bukanlah sifat dalam arti sebenarnya.  Arti Tuhan mengetahui kata Abu Huzail, ialah Tuhan mengetaui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.[51]  Dengan demikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Huzail, adala Tuhan sendiri,[52]yaitu zat atau esensi Tuhan.  Arti “Tuhan mengetahui dengan esensinya, kata Juba’I, ialah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui.[53] Abu Hasyim sebaliknya berpendapat, bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui[54], tetapi sungguhpun terdapat perbedaa faham antara pemuka-pemuka Mu'tazilah tersebut, mereka sepakat mengtakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat

Kaum Asy'ariah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan faham Mu'tazilah di atas.  Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.  Menurut asy’ari sendiri, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan-Nya, disamping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya, juga menyatakan bahwa Ia mempunyai pengetahuan,kemauan dan daya.[55] Dan menurut al-Bagdadi, terdapat consensus dikalangan Asy'ariah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal.[56] Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali, tidaklah sama dengan apapun, malahan lain, esensi Tuhan, tetapi berwujud dengan esensi itu sendiri.[57] Uraian-uraian ini juga membawa banyak faham, dan untuk mengatasinya, kaum Asy'ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.[58] Karena sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepaa faham banyak kekal.

Kelihatannya faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhanlah yang mendorong kaum Asy'ariah memilih penyelesaian di atas.  “sifat” mengandung arti tetap kekal, sedang “keadaan”mengandung arti berubah.  Selanjutnya sifat mengandung arti kuat, sedang keadaan mengandung arti lemah.  Oleh karena itu, mengatakan Tuhan tidak mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai keadaan, tidaklah segaris dengan konsep kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.  Untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlah Tuhan, Tuhan mesti mempunyai sifat-sifat yang kekal.

Kaum Mu'tazilah, karena tidak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak yang betul-betul mutlak, tetapi kekuasaan dan kehendak mutlak yang mempunyai batas-batas tertentu, dapat menerima faham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.

Kaum Maturudiah golongan bukhara, karena juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat.  Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang  terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.[59]

Golongan samarkan dalam hal ini kelihatannya tidak sefaham dengan Mu'tazilah , karena Maturudi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.[60]

Karena Tuhan bersifat imateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.  Kaum Mu'tazilah yang  berpegang pada kekuatan akal, menganut faham ini.  Tuhan , kata And al-Jabar, tidak dapat mempunyai badan materi dan oleh karena itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmani.[61] Ayat-ayat al-Qur'an yang  menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interprestasi lain kekuasaan,  dengan demikian kata al-‘arsy, tahta kerajaan, diberi interprestasi kakuasaan,[62] al-‘Ain, mata, diartikan pengetahuan[63], al-Wajh muka, ialah esensi[64], dan al-yad tangan, adalah kekuasaan.[65]

Kaum Asy'ariah juga tidak menerima anthropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang samad sifat-sifat jasmani manusia.  Sungguhpun demikian mereka tetap mengatakan bahwa Tuhan sebagai di sebut dalam al-Qur'an mempunyai mata, muka, tangan dan lain sebagainya, tetapi muka, mata, tangan dan sebagainya tidak sama dy ada pada manusia.meekaberpendapat bahwa kata-kata itu tidak boleh diberi interprestasi lain.  Sebagaimana kata Asy’ari, Tuhan mempunyai dua tangan akan tetapi tidak boleh diartikan rahmat[66]atau kekuasaan Tuhan.[67] Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Tuhan hidup dengan hayat, tetapi hayat yang  tidak sama dengan hayat manusia, dan mempunai dua tangan,tetapi tangan yang tidak seperti manusia.[68] Tentu timbul peertanyaa[69]n, jika tidak sama dengan yang  ada pada manusia, maka bagaimana sifat-sifat tangan, mata, muka dan sebagainya itu ?  Jawab Asy’ari :  “Tuhan mempunyai mta dan tanan yang tak dapat diberikan gambaran atau definisi”. 

Argumen kaum Asy'ariah dalam hal ini agaknya adalah sebagai berikut:  Manusia adalah lemah dan akalnya tidak sanggup memberikan interprestasi jauh tentang sifat-sifat jasmani Tuhan yang  tersebut di dalam al-Qur'an sedemikian rupa sehingga meniadakan sifat-sifat tersebut. Tetapi sebaliknya, sungguhpun akal manusia lemah, akal tidak dapat menerima bahwa Tuhan mempunyai anggota badan seperti yang disebut kaum anthropomorphisme.  Oleh karena itu Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmanai seperti yang disebut di dalam al-Qur'an tetapi dengan tak diketahui bagaimana bentuknya (bila kaifa).  Al-Qur'an mengatakan bahwa Tuhan mempunyai tangan dan manusia harus menerima itu.  Kalau manusia tidak dapat mengetahuinya, itu adalah karena Tuhan Maha Kuasa dan dapat mempunyai bahkan juga menciptakan hal-hal yang tak dapat diselami akal manusia yang lemah.

Kaum Maturudi golongan bukhara dalam hal ini tidak sefaham dengan kaum Asy'ariah.  Tangan Tuhan menurut al-Bazdawi, adalah sifat dan bukan anggota badan Tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat-sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan.[70] Golongan samarkand, sebagai biasanya dalam hal lain, mengambil posisi Mu'tazilah’tazilah.  Maturudi mengatakan, bahwa yang  dimaksud dengan tangan, muka, mata dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.[71] Tuhan tidak mempunyai badan, sungguhpun tidak sama dengan badan jasmani.[72]  Karena badan tersusun dari substansi dan accident (jawhar dan ‘ard).[73]  Manusia berhajat pada anggota badan, karena tanpa anggota badan manusia menjadi lemah, adapun Tuhan, tanpa anggota badan, Ia tetap Maha Kuasa.[74]

 

 

Pemikiran di Dalam Fiqh

Sistem pembelajaran dan ilmu pelajaran yang lazim diajarkan kalangan tradisional (salafi) dan Modern (Khalafi) yang termuat dalam materi fiqh[75], menurut kalangan mereka suatu pelajaran yang sangat baik, tepat, menguntungkan, tidak membahayakan, dan sangat berguna secara langsung adalah pejaran fiqh islam, sehingga mereka berlomba untuk memahami materi ini.

Mereka kurang menyadari tentang adanya fiqh, padahal fiqh juga hasil pemikiran (filsafat), wajar jika mereka sering bertempur dengan sesama jenisnya untuk memperebutkan sebuah kebenaran yang semu.  Pertempuran itu hal yang lumrah, sebab fiqh adalah sebuah aksiologi (guna) dari sebuah pemikiran.  Seandainya mereka memahami ontologi, epistemologi, aksiologi, dan berapa kaedah metode pemikiran islam (yang termuat di dalam Ushul fiqh[76]) perang pemikiran tidak perlu terjadi. Contoh fiqh ad dalam keteragan tafsir dan hadis.

     Demikianlah uraian singkat tentang sejarah pemikiran yang menurut sebagian manusia bisa menyebabkan perang besar yang berkesambungan dari masa ke masa dan berakibat buruk terhadap alam raya ini khususnya manusia sebagai khalifah.

     Dari beberapa keterangan yang telah disinggung di atas, menurut penulis perang pemikiran itu tidak ada, perang pemikiran itu muncul disebabkan oleh kebodohan mereka yang tidak mau menggali ilmu pengetahuan secara mendalam.

 

الله اعلم بالصواب

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Al-Asy,ari, Abu Hasan, Al-Ibanah 'an Usul al-Diniyah, ttp.:tp.th.

Al-Bagdadi, Abu Manshur, Ushul al-Din, Bairut : Dar al-Fikr, 1981

Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafud al-Falasifah, BAirut : Dar al-Fikr, 1973

Al-Ghazali, Muhammad, as-Sunah an-Nabawiyyah Baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis, Kairo: Dar asy-Syuruq, 1989

Al-Qurtubi,  al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,  (Bairut :  Dar al-Fikr,  1998)

Amien, Miska Muhammad, Epistemologi Islam, Jakarta: UI Pres, 1983, cet. Ke-1

Amin, Ahmad, al-Akhlaq, Bairut : Dar al-Fikr, 1965

Amin, Ahmad, Farj al-Islam, Pinang: t.p., 1965

Ar-Razi,  Mafatih al-Gaib,  (Bairut :  Dar al-Fikr,  1990),  t.cet.  Jilid 5

Ash-Shabuni, at-Tibyan, Bairut: Dar al-Fikr, 1987

Ath-Thahan, Mahmud, Ushul Takhrij wa Dirasah as-Sanid, Bairut: Dar al-Fikr, 1997

At-Thabari,  Ibnu  Jarir,  Jami’ al-Bayan,  (Bairut :  Dar al-Fikr,  2001),  Jilid 2,

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, cet.ke-3

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, cet.ke-2

Beerling, DKK., Pengantar Filsafat Ilmu (terjemahan), Yogyakarta, PT Tiara Wacana, 1997, cet. Ke-4

Berrtrns, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975

Hanafi, Pengantar Teologi Isalam, Jakarta : Pustaka al-Husna Baru, 2003, cet. Ke-8

Hasanuddin, AF,  Perbedaan Qira’ah dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an,  (Jakarta :  Raja Grafindo,  1995),  h  201

Hasanuddin, AF,  Perbedaan Qira’ah dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an,  (Jakarta :  Raja Grafindo,  1995)

Ibnu Mujahid,  Kitab as-Sab’at fi al-Qira’at,  (Mesir:  Dar al-Ma’arif,  t.th.),  h. 183

Khalaf, Abd al-Wahhab, Ushul Fiqh, Bairut : Dar al-Fikr, 1998

Mahdi, Abu Muhammad, DKK., Metode Takhrij (terjemah), Semarang:Dina Utama, 1998

Mayer, Frederick, A History of Ancien & Medieval Philosophy, (New York: American Book Compony, 1960

Muhammad Abdu al-‘Adhim az-Zarqani,  Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1988),  t. cet.,  h. 146

Muhammad Makki al-Qaisi al-Qairawani al-Qartubi,  Kitab at-Tabshirah fi al-Qira’at as-Sab’,  (Badnad :  Dar as-Shahabah,  tth.),  t.cet.,  h.  166

Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Inteltual Muslim, Yogyakarta :SIPRES, 1993

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta : GMP, 1997, cet. Ke-3

Qardawi, yusuf, at-Tadharufu al-Ilmani fi Muwajahati al-Islam, Bairut : Dar al-Fikr, 1981

Sa'id, Muhammad, A Dictionary of Muslim Philosophy, Lahore: Islamic Culture, 1965

Soetari, endang, Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bakti Pres, 2000, cet.ke-2

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: RGP, 1997, cet. Ke-2

Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet.ke-13

Syarastani, Muhammad, Kitab Milal wa Nihal, Kairo:Dar asy-Syuruq, 1981

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung : Rosdakarya, 1998, cet.ke-6

Ushama, Thameem, methodologies of The Qur'anic Exegesis (terjemah), Jakarta: Jaya Pratama, 2000, cet.ke-2

Warner, The Greek Philosophy, New York: A. Mentor Book The Amirican Librarry, 1969

Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Ilm, 1997

 

 



[1] Pengetahuan dan Sumbernya

       Bagi filsafat Yunani kuno, pengetahuan (episteme) berbeda dengan opini (doxa). Pengetahuan bentuk tertinggi adalah kebijaksanaan (sophia) yang merupakan pengetahuan tentang keseluruhan (menurut Plato) dan pengetahuan tentang prinsip-prinsip pertama atau sebab-sebab pertama segala sesuatu (bagi Aristoteles). Pengetahuan pada dasarnya merupakan keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek; dengan kata lain, menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada di luar akal. Secara semantik, pengetahuan adalah apa yang dikenal atau hasil pekerjaan tahu. Hasil pekerjaan tahu itu adalah hasil dari: kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Ringkasnya, semua milik atau isi pikiran adalah pengetahuan.

       Dalam artikulasi lain disebutkan bahwa pengetahuan merupakan suatu sistem gagasan yang bersesuaian dengan sistem benda-benda dan dihubungkan oleh keyakinan. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang mesti dipenuhi dalam pengetahuan, yaitu: Satu, adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran. Dua, gagasan tersebut sesuai dengan benda-benda yang sebenarnya ada. Tiga, adanya suatu keyakinan tentang adanya persesuaian tersebut.

       Jika salah satu dari tiga unsur tersebut tidak ada, maka pengetahuan tidak mungkin mewujud. Artinya, meskipun ada gagasan dan ada benda-benda yang sesuai dengan gagasan tersebut, namun tidak ada keyakinan tentang persesuaian tersebut, maka pengetahuan tidak akan terjadi. Demikian halnya jika ada gagasan, ada keyakinan tentang persesuaian antara gagasan dan benda, tetapi benda tersebut tidak ada, maka pengetahuan juga tidak akan terjadi.       

       Selanjutnya, Sidi Gazalba mengklasifikasikan pengetahuan tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu: pengetahuan indra (knowledge), pengetahuan ilmu (science),dan pengetahuan filsafat. Pertama, pengetahuan indra yaitu melihat, mendengar, merasa, mencium segala sesuatu. Pengalaman indra ini melalui proses pemikiran langsung menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan. Kedua, pengetahuan ilmu yaitu berfikir secara sistematis, radikal dan disertai dengan riset dan eksperimen. Hasil berfikir dan berbuat dengan metode ini juga membentuk pengetahuan. Ketiga, pengetahuan filsafat, yaitu memikirkan segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sistem berfikir ini juga membentuk pengetahuan. Pada intinya, kategorisasi pengetahuan tersebut bukanlah sebuah pemisah (gap) jika mengkaji tentang sumber pengetahuan. Ketiga kategori pengetahuan tersebut akan menemukan titik temu dalam pembahasan sumber pengetahuan.

       Dari uraian di atas, sebuah pertanyaan akan mengemuka, yaitu: Dari mana pengetahuan itu diperoleh? Untuk menjawabnya, setidaknya dalam sejarah filsafat disebutkan bahwa pengetahuan diperoleh melalui salah satu dari tiga jalan, yakni: Pertama, pengetahuan yang diperoleh dari pengamatan langsung. Kedua, pengetahuan yang diperoleh dari suatu konklusi. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari kesaksian dan autoritas.  Lihat Jujun, h. 32-42, Berrling, 35-47

 

[2] Ilmu dalam bahasa Inggris disebut scince, bahasa latin disebut scientia (pengetahuan) atau scive (mengetahui).  Ilmu secara umum menandakan suatu hal tertentu.  Dalam arti sempit, pengetahuan bersifat pasti.  Ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (atau alam obyek) yang sama dan saling berkaitan secara logis.  Lihat;  Lorens Bagus,  Kamus Filsafat,  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama,  2002),  cet. ke-3,  h.307;  Lihat;    Peter Salim,  The Contemporary English-Indonesia  Dictionary,  (Jakarta:  Modern English Pres,  1996),  t.cet.,  h. 1724

 

[3] Berfilsafat memiliki arti berpikir menurut metode.  Sedangkan kata filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia, kata berangkai dari philein yang berarti mencintai dan sophia yang berarti kebijaksanaan.  Berari cinta kebijaksanaan (love of wisdom ; Inggeris, Wijsbegeerte ; Belanda, Muhibbu al-hikmah, Arab); Lihat Nasution, Filsafat Islam, h.10; Mulkhsn, Paradiqma Intelektual Muslim, h. 24; Tafsir, Filsafata Umum, h. 11; Sumantri, Filsafat Ilmu, h. 26

 

[4] Metode  berasal dari kata Method (inggris), methodus (Latin), Metodos yang dipisah Meta berarti sesudah, diatas; bodos berarti suatu jalan atau suatu cara.  Dalam Arab disebut Manhaj atau Turuq;   Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 635

 

[5] ًWarner, The Greek Philosophy, (New York: A. Mentor Book The Amirican Librarry, 1969); Mayer, A History of Ancien & Medieval Philosophy, h. 11-31

 

[6] Substansi berasal dari kata Substantia (latin) yang berarti bahan, hakekat, zat; Sub (di bawah) state (berdiri atau berada).  Lihat, Lorens, h. 1051

 

[7] Relativisme berasal dari kata relativism (Inggris), relativus (Latin) yang berarti berhubungan dengan arti umumnya relstivisme adalah suatu ajaran yang tidak ada satupun bersifat obsolut.  Lihat, Loren, 948-961; Ahmad Tafsir, h. 11-13;  Mayer, A History of Ancien & Medieval Philosophy, h. 19-21

[8] Ahmad Tafsir, h.19

[9] Metodis adalah Menurut bahasa Inggris method, Latin methodus, Yunani, methodos-meta (sesudah di atas) hodos (suatu jalan, suatu cara).  Sedangkan pengertian medode ilmiah adalah, merupakan system konseptual yang bersifat empiris, eksperimen, logikomatematis.  System ini mengatur dan mengaitkan fakta-fakta dalam suatu struktur teori-teori dan inferensi (penyimpulan), juga merupakan istilah kolektif yang menunjukkan bermacam-macam proses dan langkah-langkah yang dilalui berbagai macam ilmu dalam perkembangannya.  Dan metode itu harus sesuai prosedur.  Lebih lanjut lihat;  Lorens Bagus,  op. cit.,  h. 635-650;  Lihat, Jujun S. Suriasumantri,  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  (Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan,  2000),  cet. ke-13,  h. 119;  Lihat, Lorens Bagus,  op. cit.,  h. 1167

 

[10] Sistematis adalah adalah sistem berpikir, masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pengetahuan yang rasional.  Lihat, Sudarto, h. 29

 

[11] Koheren adalah berpikir antara uunsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan satu sama lain, namun juga memuat uraian yang lagis.  Lihat, Sudarto, h.30

 

[12] Rasional adalah berpikir mendasarkan pada kaidah berpikir yang benar.  Sudarto, h. 31

 

[13] Komprehensif adalah berpikir secara menyeluruh, artinya melihat obyek tidak hanya satu sisi/sudut pandang, melainkan secara multidimensional.  Lihat, Sudarto, h. 31

 

[14] Radikal adalah berpikir secara mendalam, sampai akar yang paling ujung, artinya sampai menyentuh akar persoalan dan esensinya.  Lihat, Sudarto, h. 31

 

[15] Universal adalah muatan kebenaran sampai ke tingkat umum, mengarah pada pandangan dunia, mengarah pada realitas hidup dan realisasi kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Lihat Sudarto, h. 32

 

[16] Ontologi berasa dari kata ontology (Inggris) on, ontos, (Yunani) yang berarti ada keberadaannya dan logos yang berarti Studi atau ilmu tentang...  Menurut istilah cabang filsafat adalah studi tentang yang ada dan dianggap ada, studi ini berlaku untuk segala hal.  Selanjutnya, lihat Lorens, h. 746

 

[17] Epistemologi berasal dari Yunani yang berbunyi episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (pengetahuan, informasi).  Yang keseluruan berarti teori pengetahuan (Rasional dan teori empiris/berdasarkan pengalaman).  Selanjutnya, lihat Lorens, h. 212

 

[18] Aksiologi menurut bahasa berasal dari axiology (Inggris), menurut bahasa Yunani berasal dari kata axios (layak, pantas) dan logos (ilmu, studi mengenai).  Lihat Lorens, h. 32

 

[19] Induktif merupakan perubahan kata dari kata induksi.  Menurut bahasa Inggris induction, dari bahasa latin in (di dalam, ke dalam) dan ducere (mengantar).  Diterjemahkan pertama kali ke dalam basa latin oleh Cicero dari istilah Aristoteles epagage.  Yang memiliki arti penalaran yang berangkat dari hal-hal yang individual ke hal-hal yang universal. Lihat;  Lorens Bagus,  op. cit.,  h. 341;  Lihat,  Sudarto,  Metodologi Penelitian filsafat,  (Jakarta:  Raja Grafindo Persada,  1997),  cet. ke2,  h. 43;  Lorens Bagus,  op. cit.,  h. 958

 

[20] Deduktif  juga merupakan perubahan kata dari kata deduksi, menurut bahasa Inggris deduction, dari bahasa latin de (dari) dan ducere (mengantar), yang berarti, penalaran yang berangkat dari hal-hal yang bersifat universal ke hal-hal yang bersifat individual. Lihat;  Lorens Bagus op. cit.,  h. 149;  Lihat,  Sudarto,  op. cit.,  h. 43;  Lorens Bagus,  op. cit.,  h. 48

 

[21] Analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap obyek yang diteliti.  Selanjutnya lihat, Sudarto, h. 59

 

[22] Sintetis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan cara mengumpulkan atau menggabungkan.  Selanjutnya lihat, Sudarto, h. 61

 

[23] Kualitatif dalam bahasa Inggris disebut qualitative (berkenaan dengan mutu) atau penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan  dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lorens Bagus,  op. cit.,  h. 1550;  Lebih lanjut lihat,  Sudarto,  op. cit.,  h. 62-76.

 

[24] Kuantitatif dalam bahasa Inggris disebut quantitative (berkenaan dengan jumlah,ukuran) atau pemeriksaan atau penelitian yang dilakukan untuk menentukan mutu informasi yang berhubungan dengan suatu keputusan dan untuk menentukan pemecahan yang matematis atas keputusan itu.  Lorens Bagus,  op. cit.,  h. 1551;  Lebih lanjut lihat,  Sudarto,  op. cit.,  h. 76-82.

 

[25] Hipotesis berasal dari bahasa Yunani, yaitu hypo (di bawah) dan thihenai (meletakkan).  Jadi fondasi atau pengadaan.  Istilah ini sering dipakai untuk menunjukkan sebuah penjelasan sementara yang tergantung pada derajat konfirmasinya, kelak dapat diterima sebagai sebuah teori atau hokum yang diterima.  Plato menjadikan hipotesis sebagai tangga kebenaran, Aristoteles mengganggap hipotesis sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan dengan demontrasi tanpa bukti, tetapi diterima dan digunakan, Descartes menganngap sebagai pernyataan yang tidak diketahui benar atau salah, tetapi titik tolak yang bagus untuk mendeduksikan kesimpulan, Latze menganggap hipotesis sebagai pengisi lubang lagis antara dalil-dalil niscaya danpengalaman, dan masih banyak lagi pendapat-pendapat yang lain.  Akan tetapi hipotesis dulu digunakan sebagai sebuah pernyatan jika-maka.  Dalam arti sempit hipotesis dimaksudkan penalaran dengan bentuk “jika p maka Q, jika Q maka r, jika p maka r.  dalam arti luas, dengan silogisme hipotesis dimaksudkan bentuk penalaran mana saja, yang premis mayornya majemuk, dan premis minornya menganfirmasi atau menegasi (menolak) salah satu bagiannya.   Lihat;  Lorens Bagus,  op. cit.,  h. 292

 

[26] Metafisika ingrris; metaphysics.  Latin; metaphysica dari Yunani meta ta physica (sesudah fisika); dari meta (setelah, melebibi) dan physhikos (menyangkut alam) atau physis (alam).  Menurut istilah adalah kajian menyeluruh tentang alam semesta ini baik dari segi ciri, realitas, identitas, keunikan, ilusi dan segala hal yang ada dan mungkin ada. Lihat Lorens, h. 621-623

 

[27] Stoa adalah serambi,tiang /aliran filsafat kuno seperti plato dan aristoteles. Lihat Lorens, h. 1036

 

[28] Nasution, h.25

[29] Mustofa, h. 107

[30] Sarastani, h. 121

[31] Nasution, h. 32-78

[32] Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan, keterangan.  Menurut istilah adalah ilmu untuk mengetahui kandungan kitab al-Qur'an untuk menjelaskan makna-maknanya serta pengambilan hukum dan hikmah-hikmahnya.  Lihar,ash-Shabuni, h. 201

[33] Metode Tafsir di antaranya Ijmali, tahlili, muqarin, dan maudhu'i, dan memiliki dua bentuk yaitu bilma'sur dan bil ro'yi.  Lihat, Ushama, h. 19; Lihat, Baidan, h. 21

[34] Ulumul Qur'an adalah

[35] Hasanuddin, AF,  Perbedaan Qira’ah dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an,  (Jakarta :  Raja Grafindo,  1995),  h  201

 

[36] Abi Muhammad Makki al-Qaisi al-Qairawani al-Qartubi,  Kitab at-Tabshirah fi al-Qira’at as-Sab’,  (Badnad :  Dar as-Shahabah,  tth.),  t.cet.,  h.  166

[37] Ibnu Mujahid,  Kitab as-Sab’at fi al-Qira’at,  (Mesir:  Dar al-Ma’arif,  t.th.),  h. 183

 

[38] At-Thabari,  Ibnu  Jarir,  Jami’ al-Bayan,  (Bairut :  Dar al-Fikr,  2001),  Jilid 2,   h. 472

 

[39] At-Thabari,  Ibnu  Jarir,  Jami’ al-Bayan,  (Bairut :  Dar al-Fikr,  2001),  Jilid 2,   h. 474

[40] At-Thabari,  Ibnu  Jarir,  Jami’ al-Bayan,  (Bairut :  Dar al-Fikr,  2001),  Jilid 1,   h. 474; Hasanuddin, AF,  Perbedaan Qira’ah dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an,  (Jakarta :  Raja Grafindo,  1995),  h  203

 

[41] Al-Qurtubi,  al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,  (Bairut :  Dar al-Fikr,  1998),  h. 72

 

[42] Hasanuddin, AF,  Perbedaan Qira’ah dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an,  (Jakarta :  Raja Grafindo,  1995),  h 203

 

[43] Ar-Razi,  Mafatih al-Gaib,  (Bairut :  Dar al-Fikr,  1990),  t.cet.  Jilid 5,  h. 82

[44] Hasanuddin, AF,  Perbedaan Qira’ah dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur'an,  (Jakarta :  Raja Grafindo,  1995),  h 203;  Muhammad Abdu al-‘Adhim az-Zarqani,  Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1988),  t. cet.,  h. 146

 

[45] Ar-Razi,  Mafatih al-Gaib,  (Bairut :  Dar al-Fikr,  1990),  t.cet.  Jilid 5,  h. 97

 

[46] Hadis adalah Hadis menurut bahasa adalah baru, ucapan, perkataan, kabar, berita, cerita, sedangkan kalau menurut istilah adalah, segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik dari segi ucapan, perbuatan, dan taqrir.  Lihat  Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar,  Kamus Kontemporer Arab Indonesia,  (Yogyakarta:  Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak,  1996),  Cet. ke-1, h.  747;  Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,  (Surabaya:  Syirkah Bankul Indah,  tth.),  t. cet.,  h. 15;  Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,  Usul al-Hadis,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1989),  t. Cet.,  h. 26-26;  Shuhudi Ismail,  Kaedah Kesahihah Sanad Hadis,  Jakarta:  Bulan Bintang,  1995),  Cet. ke-2,  h. 26-27;  Utang Ranuwijaya,  Ilmu Hadis,  (Jakarta:  Gema Media Pratama,  2001),  Cet. ke-4,  h. 1-4 

 

[47] Takhrij adalah menurut bahasa mengeluarkan, menampakkan, memperjelas.  Menurut istilah muhadis takhrij adalah mengeluarkan hadis dari guru, kitab dan lain sebagainya.  Atau Petunjuk jalan ke tempat letak hadis pada sumber-sumber yang orsinel, yang selanjutnya menyebutkan kuantitas dan kualitasnya hadis tersebut. Lihat, Mahmud At-Thohan, Ushul Tkhrij wa Dirosat as-Sanid, h. 7; Lihat, Abdul mahdi, Thurq Takhrij, h. 6

 

[48] Ilmu Hadis adalah Ilmu yang membahas tentang sanad dan matan hadis dari aspek Qaul, Fi'li, Tafrir dan sifat Nabi SAW., supaya dapat diketahui kualitas dan kuantitasnya.  Lihat, Hajaj al-Khatib, h. 17, Soetari, h. 8; Ibnu Solah, h. 5

[49] Teologi berasal dari kata theos artinya Tuhan dan logos berarti ilmu, yang memiliki keseluruhan makna ilmu tentang Tuhan.  Ini juga bermakna Ilmu Kalam.  Ilmu ini berkaitan langsung dengan filsafat (pemikiran).  Lihat, Hanafi, Teologi Islam, h. 2

[50] Maqalat, II/76

[51] Maqalat, II/78

[52] Maqalat, II/77

[53] Milal, I/122

[54] Milal, I/122

[55] Milal, I/150

[56] Ushul ad-din, 90

[57] Al-Iqtisad, 138/9

[58] Abduh, 278.

[59] Ushul ad-din, 34

[60] Al-Aqa’id, 11.  syarh, 22

[61] Al-Ushul, 216

[62] Ushul, 227

[63] Ushul, 227

[64] Ushul, 227

[65] Ushul, 228

[66] Al-Ibanah, 49

[67] Ibanah, 51

[68] Ibanah, 52

[69] Usul ad-din, 28

[70] Usul al-Din, 28

[71] Syarh, 17 dan al-‘Aqaid, 12

[72] Syarh, 16.  dan ushul ad-din, 22

[73] Syarh, 17

[74] Syarh, 17

[75] Fiqh adalah Faham, menurut Istilah yaitu, Pengetahuan tentang hukum-hukum Syara' yang praktis yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.  Atau kompilasi hukum-hukum syara' yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.  Lihat, Abdul Wahhab Khalaf, Ushul Fiqh, h. 11

 

[76] Ushul Fiqh adalah bentuk kalimat mudhof dan mudhof ilaih, ushul berarti pokok atau dasar (fundamental).  Ushul fiqh menurut istilah adalah pengetahuan tentang berbagai kaedah dan bahasan yang mendaji sarana untuk pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.  Atau, himpunan kaedah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil dalil hukum syara' yang berkaitan dengan manusia dari berbgai dalil yang terperinci. Lihat, Wahhab Khalaf, h. 12;  Lihat, Abu Zahroh, Ushul Fiqh, h. 4

No comments:

Post a Comment

Mohon Diisi Dengan Kritik dan Saran Yang Membagun